PADA 2009, Prof. Winarno Surakhmad, M.Sc.Ed. menerbitkan buku berjudul “Pendidikan Nasional : Strategi dan Tragedi”. Buku setebal 496 halamanitu diberikan Kata Pengantar oleh Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.Ed. disunting oleh St. Sularto diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Materi buku ini berasal dari kumpulan 16 makalah yang sebelumnya telah disampaikan dalam berbagai forum ilmiah. Sebagai editor, St. Sularto membeberkan sepak terjang Winarno pada Pedagogi Praksis Pendidikan dengan fokus pada profesi guru. Nasib guru digambarkan dengan parodi, dalam puisi yang panjang berjudul “Melahirkan Kembali Indonesia Raya” (Sebuah Litani Buat Guru Bangsa). Pada bagian 4 puisi itu dilukiskan,
Di sini… berbaring seorang guru
Semampu… membaca buku usang
Sambil belajar… menahan lapar
Hidup sebulan … dengan gaji sehari
….
Puisi yang dibacakan saat Hari Guru Nasional ke-60 di Lapangan Manahan Solo itu, membuat Wakil Presiden kala itu, Jusuf Kala marah. Namun, kemarahannya 16 tahun silam itu, nasib guru belum banyak berubah. Lebih-lebih nasib guru honorer berjumlah sekitar 700.000 guru (2024) dari berbagai daerah. Mereka mengabdi bertahun-tahun dengan gaji Rp 300.000,00 sebulan dan dibayar tiga bulan sekali. Terlambat pula. Miris. Sungguh berat tetapi sungguh mulia. Hanya mereka yang jiwa raganya sebagai pendidik mampu bertahan di tengah godaan hidup instan, materialis, hedonis. Menarik pula dicatat, guru honorer itu setia mengabdi demi tercatat di Dapodik berharap naik status menjadi guru PPPK.
Di tengah negara surplus regulasi yang mengatur dunia Pendidikan termasuk guru, sungguh berat beban dipikul guru menjelang 80 tahun Indonesia Merdeka. Belum lagi para guru berpacu mengikuti aturan terbaru, bersamaan dengan itu menyiapkan materi pembelajaran untuk disajikan kepada siswa minimal semalam sebelum berdiri di depan kelas. Sementara itu, gizi makanan ideal tidak tersedia. Gaji tidak mencukupi. Mau tak mau mereka nyambi sebagai mana layaknya petani melakukan diversifikasi. Pulang mengajar menjadi pemulung, penggojek, pedagang, peternak, petani amatir. Atau bekerja apa saja. Serabutan. Buruh. Suardana, dkk. (2011) menyebut sebagai bentuk perlawanan guru terhadap kekuasaan negara. Darmaningtyas (2005) menyebutnya sebagai Pendidikan Rusak-Rusakan. Masalah kualitas yang pelik dihadapi guru belum tertangani dengan optimal : profesionalisme, kesejahteraan, dan diskriminasi.
Lagu Iwan Fals “Guru Oemar Bakri” yang viral 1970-an tetap aktual kini di sini. Hanya syair lagu yang bermutu tinggi yang mampu merespon semangat zaman sepanjang masa. Tak terhitung karya sastra yang menggambarkan kehidupan guru yang pahit dari zaman ke zaman. Namun, guru dituntut selalu ideal dengan pendekatan deep learning melayani : berkesadaran, bermakna, bergembira dalam segala situasi di tengah aneka kekurangan yang melekat padanya.
Gambaran keprihatinan itu masih ditambah lagi beban administrasi dan tekanan psikologis politis dari tokoh tertentu yang membuat guru takut bertindak. Berlawanan dengan semangat Merdeka Belajar. Guru salah, saya pikir manusiawi. Namun, jika dipermalukan di depan murid-muridnya, di mana etikanya. Guru yang selalu berkotbah di depan muridnya tentang etika, tetapi guru diperlakukan niretika. Murid menerima panduan etika berskala ganda. Tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya dengan viralitas tanpa kualitas.
Dalam situasi demikianlah tujuan bernegara dijalankan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan adalah peta jalan membangun bangsa. Idealnya jalan halus mulus sehingga guru dan murid fokus menuju Indonesia Emas 2045. Waktu semakin dekat. Tahun Pelajaran 2025/2026 sudah dekat. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan harus segera disusun. Praksis Pendidikan masih galau menghadapi, jangan-jangan keluar aturan baru. Prof. Winarno Surakhmad menyebutnya sebagai tragedi. Strategi yang ditawarkan adalah Pendidikan yang Pancasilais dan meng-Indonesia. Keduanya makin pudar. Pada era 1980-an, saya mendapat Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Saat itu juga mendapat Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Ada pula Badan Pembina Penyenggara Pendididikan P-4 yang disebut BP-7. PMP, P-4, dan BP-7 dibubarkan memasuki Reformasi.
Setelah hampir dua dekade Reformasi, lahir lembaga sejenis yang disebut Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tanggal 19 Mei 2017. Untuk memasyarakatkan 4 Pilar Kebangsaan, setiap tahun BPIP menggelar Lomba Cerdas Cermat (LCC) antar SMA/SMK secara berjenjang dari tingkat daerah sampai nasional. Mirip LCC P-4 zaman Orde Baru.
Seiring berjalannya waktu, Kurikulum Merdeka diluncurkan (2021), lalu diperkenalkan Profil Pelajar Pancasila, dengan 6 dimensi profil lulusan. Ketika Kemendikdasmen dinahkodai Prof. Abdul Mu’ti, berubah menjadi 8 profil lulusan. Berubah begitu cepat, belum sempat diendapkan buru-buru diganti. Ironis dengan pendekatan deep learning yang diperkenalkan. Pendidikan kita hari ini seperti puncak tangga lagu pop. Bertengger di puncak tangga, tidak lebih dari sebulan. Muncul lagu baru yang tiba-tiba viral dari Pulau yang jauh dengan pusat kekuasaan, seperti Stecu Stecu dari Indonesia Timur.
Benar kata ahli sastra dalam Teori Decentring bahwa di negeri yang berbhineka ini, semua berpeluang menjadi pusat. Tidak ada pusat yang tunggal seiring dengan naik daunnya sastra pedalaman yang mendapat angin segar Otonomi Daerah. Otonomi Daerah melahirkan kebijakan politik lokal. Guru di bawah kendali Pemda Kabupaten dan Provinsi. Kabarnya, sedang muncul gagasan, guru menjadi kewenangan pusat, resentralisasi. Regulasi penarikan guru ke pusat, apakah akan mengubah nasib mereka ke arah yang lebih baik ? Lebih-lebih bagi guru honorer dengan porsi kerja yang sama dengan guru ASN. Tugasnya sama tetapi pendapatannya berbeda. Ironis dengan Pendidikan bersifat demokratis – inklusif. Bukankah ini diskriminatif ? Kasta guru dipertahankan. Kasta sekolah dirawat. Entah sampai kapan.
Di tengah situasi guru (honorer) demikian banyak, kita dihadapkan dengan ratusan anak SMP di Bali belum lancar membaca. Kasus itu tidak hanya ditemukan di Bali, tetapi juga Jawa, yang menjadi barometer Pendidikan Indonesia. Bahkan di Papua, siswa SMA juga tidak lancar membaca seperti disampaikan gurunya saat saya menjadi guru pamong PPG secara on line pada masa Pandemi Covid-19. Semua itu menjadi antogonis dengan tema Hardiknas 2025, “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”.
Dalam situasi demikian, pemerintah meluncurkan Program Sekolah Unggul Garuda (SUG) bagi anak berprestasi dan Sekolah Rakyat (SR) bagi anak miskin ekstrem dengan tetap memertahankan sekolah regular bagi anak kebanyakan. SUG di bawah Kemendikti Ristek, padahal statusnya SMA. Mirip dengan RSBI zaman SBY. Lalu, SR di bawah binaan Kemensos. Sementara itu, Sekolah Reguler di bawah kendali Kemendikdasmen. Di samping itu, juga ada jenjang Dikdasmen di bawah Kementerian Agama. Belum lagi, sekolah-sekolah kedinasan yang tersebar di berbagai kementerian. Kementerian yang menangani Pendidikan seperti siswa di dalam kelas : berdiferensiasi sesuai bakat, minat, dan kepentingan untuk tujuan yang sama : mewujudkan Pendidikan bermutu untuk semua. Makin banyak kementerian yang menangani Pendidikan menunjukan sinergitas kepedulian untuk bergerak bersama.
Ada pula program hari belajar guru yang diformalkan seminggu sekali. Padahal, sudah lama menganut prinsif belajar seumur hidup walaupun telah mengantongi ijazah yang disebut STTB dan Sertifikat Pendidik. Bahkan ketika sedang gencarnya Kurikulum Merdeka di bawah nahkoda Nadiem Makarim, sertifikat diperoleh setiap mendapat centang biru setelah menyelesaikan setiap topik di Platform Merdeka Mengajar (PMM). Banyak guru berburu centang biru seperti api kompor yang menyala berharap nasib berubah ke arah lebih baik. Begitulah tugas guru di ranah Pendidikan yang pantas direnungkan pada Hardiknas 2025 dengan program seumur jagung melalui “Bulan Pendidikan” era Anies Baswedan dan “Bulan Merdeka Belajar” era Nadiem Makarim.
Dengan tugas memandu Pendidikan anak negeri, Hari Pendidikan Nasional bukan hanya renungan buat guru, melainkan juga renungan buat seluruh anak bangsa untuk melunasi janji kemerdekaan. Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengajak kita merenung pada Hardiknas 2025.
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses membangun kepribadian yang utama , akhlak mulia, dan peradaban bangsa. Secara individu, Pendidikan adalah proses menumbuhkembangkan fitrah manusia sebagai makhluk Pendidikan (homo educandum) yang dengannya manusia menguasai ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, dan berbagai kecerdasan yang memungkinkan mereka meraih kesejahteraan dan kebahagiaan material – spiritual. Dalam konteks kebangsaan, Pendidikan adalah sarana mobilitas sosial politik yang secara vertical mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Pidato yang ideal dan normatif itu sudah sering kita dengar. “Dalam arti sebenar-benarnya, kita belum punya kekuatan Pendidikan yang dimaksud. … Pada akhir sebuah siklus persekolahan, manusia jelas menjadi tersekolah, tetapi belum tentu menjadi terdidik”, tulis Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc. Ed. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT
- BACA JUGA: