KOTA ini benar-benar sangat panas. Kaktus-kaktus tumbuh di halaman setiap rumah dan taman-taman mengganti pohonan. Mengganti bunga-bunga.
Setiap pagi yang seharusnya dingin pun justru panas. Orang-orang berkeringat sejak bangun tidur, dan orang-orang berjalan seperti meninggalkan bayangannya sendiri seperti jejak. Jalanan penuh dengan bayangan menggantikan jejak-jejak.
Selain itu, kota ini juga dibisingkan oleh suara ambulan yang tidak pernah berhenti melaju. Padahal di jalan tidak sedang terjadi pembunuhan, atau sedang terjadi kecelakaan lakalantas brutal di perempatan jalan.
Apalagi tidak terjadi pemerkosaan perempuan hingga babak belur di bagian intimnya lalu tergeletak ia di jalan, atau tidak ada laki-laki ditembak polisi dan mati di emperan toko di tepi jalan. Tidak ada kegaduhan apapun soal itu. Aman saja di jalan.
Tapi dua puluh empat jam ambulan mondar-mandir tak henti-henti. Terus melaju seakan selalu ada korban jiwa setiap harinya. Dan semua ambulan warnanya sama; hitam dan merah yang semakin membuat orang mual setiap kali melintas.
Lampunya kelap-kelip warna biru dan ungu jika melaju, dan suara sirinenya bersuara sangat kencang membuat pusing. Benar-benar terdengar seperti suara seekor gagak hitam di atas kepala semua orang yang memekik secara bersamaan.
Ambulan itu mengantarkan perempuan hamil tua hendak melahirkan dan mayat. Hanya dua jenis itu saja. Tiada yang lain. Tidak ada jenis darurat lain selain orang mati dan orang hamil tua.
Para perempuan seakan tak henti-hentinya melahirkan bayi. Tapi ketika mereka dibawa ke rumah sakit untuk persalinan, tidak ada suara bayi yang terdengar di rumah sakit, di rumah-rumah, di mana-mana. Perempuan yang keluar dari rumah sakit seperti apa wujudnya juga tidak pernah diketahui.
Perempuan itu hilang tak pernah dikenali siapanya. Bagaimana ia bisa dibawa oleh ambulan itu, juga tak ada yang tahu soal penyebab pastinya mengapa perempuan itu bisa hamil tua dan tak pernah terlihat oleh laki-laki wujud tubuhnya.
Setiap lelaki di kota ini, hanya bisa melihat satu jenis korban dan jenis kelamin apa di dalam mobil ambulan itu; orang mati, dan wajah laki-laki. Begitupun sebaliknya pada perempuan, mereka hanya bisa melihat satu korban saja di dalam ambulan hanya dua jenis saja; perempuan dan hamil.
Jika laki-laki yang melihat dalam ambulan ada mayat seorang lelaki, maka para perempuan melihat di dalamnya adalah perempuan darurat hendak melahirkan dengan air ketuban sudah pecah. Darah sudah merebah di paha di kaki.
Kota ini seakan menyimpan kerahasiaannya tersendiri soal itu. Belum satupun orang dari sepuluh ribu jiwa manusia di kota ini bisa membongkar. Rumah sakit selalu tampak ramai penuh ambulan membawa mayat, tapi tak pernah ada yang dibawa keluar untuk dikubur atau dibakar.
Seakan semua tak ada wujudnya, ke mana orang mati itu dibawa atau pergi sendiri-sendiri hidup lagi?
Semua koran hanya mengabarkan dua jenis berita yang membosankan; orang melahirkan tanpa bayi, dan orang mati tanpa sebab.
Tak pernah dikabarkan bagaimana para perempuan itu bisa hamil tua dengan singkat dan hilang bayinya ke mana atau dihamili siapa mereka sebelumnya. Yang menjadikan surat kabar itu terasa janggal lagi dan tak lengkap setiap kali terbit di hari Minggu dan Senin, kematian tak lagi dianggap penting sebagai kabar duka karena tak pernah disebutkan alasan mereka sebagai korban, jika memang sebagai korban. Tak pernah tuntas sebagai berita seakan menjadi rashasia semua itu.
***
Di sebuah lampu merah perempatan jantung kota dekat tugu monumen kuda poni, yang tentu saja ambulan itu terus bergegas melewati kaktus-kaktus tumbuh di taman jalan dekat monumen kuda poni.
Tanpa mesti lebih dulu berhenti-bersabar ketika di lampu merah, seakan mereka lewat saling tembak suara. Ramai suara ambulan itu dengan kecepatan 40km/jam.
Walaupun berlawanan arah saling terobos lampu merah kencang-kencang, tapi mereka tak pernah sekalipun tabrakan satu sama lain.
Di belakangku, orang-orang masih antre menunggu lampu hijau tinggal sepuluh menit lagi setelah lima puluh menit kami menunggu kepanasan. Semua klakson hidup, tapi kecil suaranya. Lebih nyaring suara sirine ambulan. Semua orang mengganti dengan suara seperti memaki-maki ambulan yang tak sabar itu terus menyalip dan tembak suara.
Kendaraan di belakangku seperti kuda-kuda hitam yang menantikan mati tuannya di pintu masuk giliran.
“Di mana Kau pegang obor api itu menyerangku?” kata seseorang di belakangku ngedumel pada Tuhan karena mereka merasa diri hampa.
Orang-orang tampaknya bosan dengan suasana seperti ini, tapi tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Bahkan mereka tak lagi iba pada perempuan yang melahirkan dan orang mati. Tak lagi penasaran mengapa orang bisa mati tanpa sebab.
Satu fakta yang dikabarkan surat kabar tadi pagi baru-baru ini, ruang-ruang di rumah sakit, katanya, bangsal-bangsal rumah sakit hanya dipenuhi bayangan pasien tanpa seseorang ada di sana, dan jururawat hanya menunduk kepala dengan tangan berdarah di depan bangsal.
Semua seperti dilenyapkan oleh angin. Tapi orang-orang sudah tidak lagi peduli dan penasaran soal itu. Dan orang-orang sudah meninggalkan surat kabar sejak lama. Memilih tak peduli.
Tepat di jam 12.00 siang. Matahari seperti bersinar hanya sejengkal di depan mata semua orang secara bersamaan. Panas sangat silau. Lampu itu segera menjadi hijau setelah sepuluh menit terakhir selesai. Kulitku menjadi belang, dan mereka dibelakangku juga sama belangnya warna kulit coklat hitam.
Tubuh semua orang tak terurus dengan baik. Nyaris semua punya kangker kulit yang sama di tangan dan wajah.
Dan lampu merah terlalu lama hitungannya satu jam, hanya untuk ambulan bisa lewat sebebas-bebasnya telah diatur entah oleh siapa atau dewa apa. Kota ini dipenuhi ambulan dan lampu merah yang lama berdurasi satu jam.
Sebagaimana nasib itu masing-masing, semua orang mengeluh di dalam batinnya. Mengeluh itu sendiri-sendiri.
Tak peduli ditabrak atau menabrak apa atau siapa, aku segera melaju dengan kecepatan penuh setelah lampu hijau itu menyala. Dari belakang, salah satu ambulan membersamai ke sisi kananku hendak pergi ke arah yang sama ke selatan setelah satu kilo meter tempuh.
Aku pergi hendak menemui perempuan satu-satunya yang tidak dibawa oleh ambulan manapun, yang tak pernah dilihat oleh siapapun. Entah ambulan itu mau apa ke arah yang sama, ke selatan.
Kota ini masih banyak perempuan yang lain selain perempuan yang akan aku temui, yang akan aku kencani hingga malam itu. Di kota ini, setiap laki-laki, atau perempuan hanya dianugerahi bisa melihat lawan jenisnya masing-masing.
Dan setiap lawan jenis—yang bisa dikencani berawal dari mimpi. Semacam wangsit, orang-orang menemukan pasangannya melalui mimpi tidur. Siang atau malam.
Jika tidak begitu, yang akan saling tampak dalam hidup hanya sesama jenis saja. Laki-laki dengan laki-laki, begitupun sebaliknya perempuan hanya dengan perempuan.
Dan yang paling mengutuk dari kota ini, lelaki bisa kecut kering jika hidup tak satupun bisa melihat perempuan yang diidamkan hadir dalam mimpinya, begitupun sebaliknya kepada perempuan. Bisa hambar hidup. Sehambar-hambarnya roti tawar tanpa selai.
Ambulan masih terus bergegas, dan di perjalanan yang agaknya sudah jauh melewati beberapa lampu merah, ambulan yang berbarengan denganku itu tak mau mendahuluiku pergi duluan seperti beberapa ambulan yang lain.
Ia memelankan lajunya dan mengekor dibelakangku seperti mengikuti. Agar ia bisa menyalip lebih mudah, aku memelankan laju motorku sepelan-pelannya. Tapi ambulan itu justru sama melajunya bertambah pelan. Sangat pelan. Sepelan-pelannya…
Dan suara sirinenya terdengar lebih keras dan nyaring pekiknya seperti burung gagak di atas kepala. Sampai di lampu merah yang ke lima di jam 19.30, atau tiga puluh menit lagi aku akan sampai di sebuah restoran—tempat di mana aku akan berjumpa dengan perempuanku, yang manis dan putih langsat sipit matanya.
***
Setelah sampai di sana, ambulan itu ikut berhenti. Ia berhenti di tengah jalan tanpa mau pergi ke samping jalan dekat trotoar, atau ke parkiran mengamankan diri. Ia mematung di tengah jalan dengan suara sirine masih menantang.
Tak mau aku pusing sendiri, aku melengos pergi dari parkiran restoran meninggalkan ambulan itu di sana. Aku tak ada urusan dengannya.
Di pintu masuk restoran seseorang tengah menungguku. Pria itu memberiku nomor 25 dari kertas tebal berwarna krem.
“Di sana!” kata salah seorang pelayan setelah membukakan pintu untukku. Ia menunjukkan arah di mana pujaanku itu duduk.
Aku berjalan ke arah kanan dari pintu masuk. Aku melewati bar kecil. Disambutnya aku oleh pelayan lain.
“Ini, Tuan!” kata si pelayan berwajah datar itu sembari menyodorkan sebotol wine anggur putih kepadaku.
“Di sana!” katanya lagi menunjuk arah nomor 25 dengan tegas.
Tinggal sepuluh kaki menuju nomor itu. Aku sudah melihat perempuan itu dari meja nomor 18. Ia mengenakan gaun hitam berpita merah dari kain perca dengan motif hitam putih bunga-bunga, dan motif akar seperti kilat.
Di tempat duduk yang lain, para lelaki saling berhadapan. Di atas mejanya ada satu botol anggur putih—yang bertuliskan Gravner Ribolla Gialla, dan bunga kaktus berwarna putih kemerahan nyaris mirip warna pink muda, tertancap di pot kecil indah sekali. Sama seperti di mejaku.
Sepanjang waktu lima tahun aku berjumpa dengan perempuan itu di sini. Para pelayan itu, menyambutku selalu dengan bibir tersenyum. Tapi kali ini keramahan hanya dengan cara menyambutku di depan pintu, dan memberiku wine itudengan air mukanya yang datar.
“Aku tidak tahu sampai kapan aku duduk, menemanimu setiap malam,” kata perempuan itu memulai pembicaraan.
Udara malam yang panas, rasanya mendingin di dalam tubuhku oleh kalimat itu setelah dari tenggorokkan. Dan lilin pesta di atas meja kami bergoyang-goyang tertiup angin yang merangkak masuk dari celah pintu.
“Maksudmu?” tanyaku mulai khawatir, dan tubuhku menggigil seperti ganasnya sekarat mati.
“Aku melihat sepintas lelaki lain dari mimpi tidur kemarin. Dan aku penasaran. Ia menggunakan warna baju biru, ya, di mimpi itu, ia melambaikan tangan, ia mengenakan baju biru!” katanya bersikekeh dengan mimpinya itu sebagai mimpi penasaran yang indah.
“Tentu aku harus segera mencarinya!” katanya lagi sangat yakin akan mencarinya dan pasti bertemu. Lantas ia menatapku dengan berkaca-kaca matanya seakan melempar maaf yang tak bisa terucap dengan mudah. Lalu kosong pandangnya menatapku seperti tak ada rasa apapun.
Pertemuan kami berawal dari mimpi tidur. Begitu pula dengan semua orang yang ada di kota ini, semua pertemuan dilalui lebih dulu dari mimpi tidur. Dan pertemuan kali ini tidak biasa. Wajahnya biasanya berseri dan tampak lebih hidup—seperti bunga kaktus yang mekar di musim semi— ketika tersenyum, kini tidak.
Matanya coklat. Manis jika tersenyum itu, juga kini tidak. Tampak biasa saja walaupun bibirnya merah rambutnya diikat ke belakang dengan sisa rambut masih tergerai di depan.
Dalam pertemuan ini, ia menceritakan mimpinya yang seperti aku bercerita lima tahun yang lalu tentang mimpi bertemu dengannya, dengan senyum pertamanya terpandang indah melekat manis di mimpi.
Tanpa kalimat perpisahan atau kalimat apapun untuk mengakhiri pertemuan ini dengan satu kali kecupan. Dua kali kecupan. Atau tiga kali kecupan sebagai penutup, ia justru beranjak dari kursinya dan terus pergi. Tanpa menoleh.
Melihat perempuan itu keluar pintu, jiwaku seperti pegat dari tubuh sendiri dan melayang di antara kaca-kaca jendela restoran. Dari kejauhan, perempuan itu menghilang ditelan gelap setelah lampu-lampu jalan mati beberapa saat.
Setelah lampu jalan menyala, hanya terlihat seorang lelaki berjubah hitam pergi di garis malam di jalan hendak pergi ke mana. Dua orang membawa obor kematian juga terlihat melintas tiba-tiba. Lalu sebuah ambulan melintas cepat-cepat dan orang-orang itu hilang sekejap mata.
Mejaku berubah jadi hitam. Pula wine itu di mejaku berubah menjadi hitam pekat seperti darah. Bunga kaktus berubah menjadi layu dengan batangnya yang kering. Warnanya menjadi coklat tua dengan kelopaknya yang kering. Sangat kering sebagaimana kota ini sangat kering.
O, wajahku yang pucat pasi. Hidupku dilumuri gelap. Dan, malam seperti darah menguar anyir baunya dari kanker kulit tubuhku tercium.
Aku beranjak dari kursiku.
(Di tengah jalan ambulan itu mesinnya masih setengah menderu, sirinenya masih menyala—seperti sedang menungguku keluar dari pintu.)
Dengan sikap yang menggigil patah cinta, aku menghampiri mobil itu dengan langkah tergesa-gesa. Aku banting pintu mobil tempat di mana si sopir itu duduk. Aku pukul si sopir dan aku seret ia keluar hingga terpelanting ke jalan.
Sang sopir hanya menatapku dengan mata tajam tapi tidak melawan.
O, aku injak-injak ia di jalan dengan bengis sambil tertawa. Kepalanya aku injak-injak pula. Aku sumpah serapahi ia dengan perasaan sangat kesal ketika menendang bringas wajahnya. Matanya semakin melotot dengan hidung berdarah dan pelipis matanya juga berdarah. Kepalanya juga berdarah.
Kekesalanku nyaris membunuhnya. Tapi aku tahu, aku tak mungkin membunuh si sopir yang tak melawan itu telah dibanjiri darah.
Karena aku tak mau menjadi kabar berita utama alasan seorang bisa mati di kota ini, dengan satu-satunya pelaku pembunuhan tertangkap—adalah aku. Maka, dengan benci aku pergi ke belakang mobil tempat di mana mayat itu disimpan.
Aku buka pintu belakang mobil dengan keras. Aku tarik keranda itu hingga keluar, hingga terjatuh dan terpelantinglah si mayat ke jalan. Mampus kataku!
Di garis malam, tiga orang berjalan dengan langkah kaki pelan membawa obor meninggalkan bayangannya sendiri dari depan mobil—entah muncul dari mana. Mereka mengenakan jubah hitam. Lima ekor gagak terbang dari bokong mobil sembari mengeluarkan suara pekiknya yang nyaring.
Dan lampu jalan menjadi gelap sepanjang-panjangnya jalan, dan tiga orang itu hilang. Tapi obor itu tetap menyala seperti dipegang angin. Terus menyala menciptakan bayangan hitam tiga orang tadi entah ke mana. Restoran itu pun berubah jadi padang pasir ditumbuhi kaktus-kaktus.
Dan melihatnya tubuhku ambruk. Jiwaku melayang menyatu dengan mayat dibawa pergi mobil itu entah ke mana. [T]
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole