SETIAP tahun, hari pengumuman kelulusan siswa SMA/SMK di Provinsi Bali biasanya menjadi momentum yang penuh warna. Ada wajah-wajah riang gembira, pelukan persahabatan, hingga luapan ekspresi yang mewarnai hari istimewa tersebut. Di antara berbagai bentuk ekspresi itu, beberapa siswa meluapkan kegembiraan dengan kegiatan positif seperti sembahyang bersama di sekolah atau di tempat suci, atau merayakan kelulusan secara sederhana dengan teman-teman dan guru dalam pengawasan yang terkontrol.
Namun, tak bisa dipungkiri pula, ada fenomena lain yang selalu mencuri perhatian publik: konvoi kelulusan. Pawai siswa dengan kendaraan bermotor—dihiasi atribut warna-warni, pakaian penuh coretan, rambut dicat mencolok, bahkan kendaraan yang dimodifikasi ekstrem—telah menjadi gambaran yang nyaris rutin. Mirisnya, hal ini bukan hanya menimbulkan kemacetan dan keresahan pengguna jalan lain, tetapi juga kerap mengabaikan keselamatan. Bahkan beberapa tahun terakhir, konvoi semacam ini memakan korban, mulai dari kecelakaan ringan hingga merenggut nyawa.
Yang paling menyedihkan, euforia sesaat ini kadang menutup mata siswa akan pentingnya masa depan yang tengah menanti di depan mata. Mereka merayakan kelulusan seolah segala perjuangan telah usai, padahal sejatinya, jalan panjang kehidupan baru akan dimulai.
Konvoi ini bukan hanya soal keramaian, melainkan sering kali berubah menjadi parade tanpa arah, penuh semangat yang meledak-ledak. Pakaian dicoret-coret, rambut dan wajah dicat warna-warni, motor dimodifikasi secara ekstrem tanpa kelengkapan keselamatan, bahkan sampai mengganggu lalu lintas dan membahayakan pengguna jalan lainnya. Lebih jauh lagi, setiap tahun selalu ada laporan kecelakaan lalu lintas, dan tragisnya, beberapa sampai merenggut nyawa. Kelulusan yang seharusnya menjadi momen bahagia justru berubah menjadi duka mendalam.
Salah satu tempat yang kerap menjadi tujuan arak-arakan siswa adalah Jembatan Tukad Bangkung di Pelaga, Badung. Tempat ini dikenal bukan hanya karena keindahan dan kesejukannya. Akan tetapi juga karena reputasinya akhir-akhir ini yang angker akibat sering terjadi kasus bunuh diri. Ah, bagi anak muda justru itu akhirnya mungkin dianggap lebih menarik.

Suasana Jembatan Tukad Bangkung | Foto: Dok penulis
Pada momen kelulusan di tahun-tahun sebelumnya, ratusan siswa berkumpul di Jembatan Bangkung. Mereka melakukan selebrasi tanpa pengawasan yang memadai. Aparat keamanan pun kewalahan, karena jumlah siswa jauh melampaui personel yang bertugas. Akibatnya, kegiatan di sana hanya diawasi sebatas ketertiban umum.
Namun, pemandangan itu tidak terjadi pada Senin, 5 Mei 2025, hari pengumuman kelulusan siswa SMA/SMK tahun ini. Tukad Bangkung tampak sunyi membisu. Tak terlihat adanya siswa berkerumun atau melintas dengan baju penuh coretan. Jalanan tetap lengang, dan suasana tetap damai. Apa yang sebenarnya terjadi?
Data dari Bali Express memperkuat fakta ini. Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali, IKN Boy Jayawibawa, menyampaikan bahwa sebanyak 60.110 siswa SMA/SMK di Bali menerima pengumuman kelulusan pada hari tersebut. Artinya, tidak sedikit potensi euforia massal yang bisa saja terjadi. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para siswa tetap tertib, sebagian memilih mengikuti acara perpisahan di sekolahnya masing-masing dengan damai dan tertata.
Sebagai contoh, SMKN 3 Singaraja sukses melaksanakan acara perpisahan dengan khidmat dan penuh makna. Acara ini tak hanya diisi dengan hiburan dan pelepasan siswa, tetapi juga jabat erat tangan siswa kepada guru, pesan moral kepala sekolah, dan refleksi spiritual bersama. Ini menunjukkan bahwa momen kelulusan bisa dikemas dengan elegan, tanpa kehilangan makna syukur dan kebersamaan serta dengan biaya murah.

Pelepasan Siswa Kelas XII | Foto: Dok. SMKN 3 Singaraja
Tentu banyak faktor yang memengaruhi perubahan ini. Yang paling menonjol adalah kesadaran kolektif siswa. Siswa mulai memahami bahwa kelulusan bukanlah garis akhir, melainkan titik awal perjuangan sesungguhnya. Mereka sadar bahwa dunia kerja, pendidikan lanjutan, kewirausahaan, dan realita hidup jauh lebih menantang daripada sekadar selebrasi sesaat. Mereka sadar, kecerobohan hari ini bisa berakibat fatal di hari esok.
Selain itu, peran para guru, orang tua, dan tokoh masyarakat juga sangat signifikan. Imbauan agar tidak melakukan konvoi, tidak hanya dilontarkan satu dua hari menjelang pengumuman, tetapi dilakukan secara konsisten dan terus-menerus. Bahkan, pemerintah melalui Dinas Pendidikan telah mengeluarkan surat edaran resmi yang melarang aktivitas konvoi dan perayaan yang berpotensi mengganggu ketertiban umum.
Yang tidak kalah penting adalah peran aparat kepolisian. Beberapa hari sebelum hingga hari H pengumuman kelulusan, anggota kepolisian melalui Babin Kamtibmas dan jajaran Polsek secara aktif hadir di sekolah-sekolah. Mereka tidak sekadar berjaga, tetapi juga melakukan edukasi langsung kepada para siswa, guru, dan warga sekolah. Melalui pendekatan yang humanis dan dialogis, mereka mengajak siswa untuk merayakan kelulusan dengan cara yang santun, selamat, dan bermakna. Kehadiran aparat ini menjadi langkah preventif penting yang lahir dari pembelajaran atas insiden-insiden yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Pembinaan Staf Polsek Petang | Foto: Dok. SMKN 1 Petang
Generasi siswa tahun 2025 ini menunjukkan tanda kedewasaan sosial. Mereka memilih tidak larut dalam euforia yang membahayakan, melainkan memaknainya dengan lebih reflektif dan bertanggung jawab. Mereka tak ingin kegembiraan sesaat berubah menjadi malapetaka. Ini adalah pertanda baik, bahwa pendidikan nilai, moral, dan empati telah menemukan tempatnya di hati para siswa Bali.
Siswa yang lulus di tahun 2025 ini tampaknya memahami bahwa dunia kerja, dunia kuliah, dan dunia usaha yang akan mereka hadapi jauh lebih menantang daripada sekadar merayakan kelulusan. Mereka tidak ingin kebahagiaan yang semestinya menjadi milik semua justru ternoda oleh peristiwa yang tak diinginkan. Oleh karenanya mereka memilih jalan sederhana dan lebih menunjukkan kontemplasi diri yang luar biasa.
Apa yang terjadi tahun ini adalah sinyal baik. Masyarakat patut memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada para siswa, orang tua, guru, dan semua pihak yang ikut menjaga momen kelulusan ini tetap bermartabat. Ini juga sekaligus menjadi contoh bagi angkatan-angkatan berikutnya bahwa merayakan pencapaian tidak harus dengan cara-cara yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Kelulusan tanpa konvoi bukan berarti kehilangan makna. Justru, ini pertanda kedewasaan. Perayaan bisa tetap ada, tetapi dengan cara yang lebih santun, aman, dan menginspirasi. Karena sesungguhnya, kemenangan yang sejati adalah saat kita mampu menahan diri, berpikir jauh ke depan, dan memilih langkah yang bijak.
Kelulusan kali ini menjadi catatan berharga bahwa perubahan itu mungkin. Bahwa generasi muda kita mampu membuktikan diri sebagai agen perubahan—bukan dengan teriakan di jalanan, tetapi dengan pilihan bijak yang diam, namun bergema kuat. Di tanah Bali yang menjunjung nilai tata krama, harmoni, dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan (Tri Hita Karana), kelulusan yang diisi dengan kesadaran dan ketenangan adalah cermin dari karakter sejati generasi muda Bali. Mereka tidak lagi terjebak dalam euforia sesaat, melainkan mulai memahami bahwa masa depan dibangun dengan ketenangan pikiran dan kesiapan mental. Semoga ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi awal dari tradisi baru kelulusan yang lebih beradab dan bermartabat.
Terlebih lagi, masyarakat Bali baru saja melampaui perayaan Hari Suci Galungan dan Kuningan—momen spiritual yang mengajarkan kemenangan dharma melawan adharma. Nilai-nilai itu tampaknya masih meresap dalam sanubari para siswa yang baru saja dinyatakan lulus. Semangat Galungan bukan semata dirayakan dalam upacara, tetapi juga tercermin dalam laku dan pilihan mereka: memilih keselamatan, ketertiban, dan kesadaran sebagai bentuk nyata dari kedewasaan spiritual.
Tentu semua pihak berharap, tradisi kelulusan yang lebih beradab dan bermakna ini terus terjaga, seiring dengan tumbuhnya generasi Bali yang bukan hanya cerdas, tetapi juga welas asih dan waspada terhadap nilai-nilai lokal yang diwariskan para leluhur. Sebab, sejatinya pendidikan bukan hanya mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia yang sadar diri dan sadar ruang. Dengan kelulusan tanpa konvoi, Jembatan Tukad Bangkung tetap indah berseri. [T]
Penulis: I Wayan Yudana
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis I WAYAN YUDANA