JUMAT sore hingga malam, tepat sehari sebelum umat Hindu merayakan Hari Raya Kuningan, 2 Mei 2025, Bali gelap. Blackout. Tidak ada lampu jalan yang menyala, hanya ada sorotan layar ponsel di rumah-rumah, dan lampu kendaraan di jalan-jalan.
Listrik padam. Jika ingin tahu penyebabnya, bacalah media sosial. PLN, sebuah perusahaan negara yang mengurus listrik, sudah minta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi. Salah satu penyebab yang disebutkan adalah kemungkinan ada gangguan pada kabel bawah laut yang mengalirkan listrik dari Jawa ke Bali.
Namun, PLN boleh dipuji. Lewat tengah malam, PLN berhasil menormalkan kembali listrik di Bali. Semua tempat sudah menyala.
Namun, malam ketika Bali gelap total, menimbulkan perasaan tersendiri bagi saya, seseorang yang tinggal di pinggiran kota Singaraja-Bali. Ini tentu saja bukan Nyepi. Pada Hari Nyepi, kita tak boleh menyalakan lampu sama sekali. Tapi saat Bali blackout, listrik padam di mana-mana, kita akan berusaha mencari alternatif penerangan lainnya, semisal menyalakan lampu HP.
Untuk nyala yang lebih lama, kita bisa menggunakan lilin. Tapi lilin, yang kini banyak dijual di warung-warung Madura, bisa saja habis, karena semua orang tiba-tiba membutuhkannya.
Maka, banyak orang di Bali, menyalakan lentera. Satu wadah—bisa mangkok atau piring—diisi minyak kelapa, lalu diisi kapas yang sudah dipelintir. Ujung kapas bagian bawang mencelup pada minyak, ujung kapas bagian atas dinyalakan. Api kecil pun menyinari ruangan.
Atau yang masih menyimpan lampu pompa, yang biasa disebut dengan nama Strongking, bisa menyalakan strongking. Namun, saya yakin, tak banyak yang masih menyimpan lampu paling terang di masa lalu itu. Kalau pun ada, perangkat lainnya pasti juga susah dicari, terutama minyak tanah.
Strongking, lentera kelapa atau sentir minyak tanah, adalah teman setia keluarga di Bali pada masa sebelum listrik masuks ecara merata di Bali. Dulu, sesuai cerita bapak saya, di Bali, listrik hanya ada di kota-kota. Di desa-desa gelap. Namun, akibat program Listrik Masuk Desa di zaman Soeharto, listrik secara perlahan menyala di desa-desa, dan kini sudah bisa dianggap merata.
Gelap Bukan Hal Luar Biasa
Zaman dulu, sebelum ada listrik, gelap bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tak ada berita heboh. Gelap adalah bagian dari kehidupan, dan strongking adalah solusi sederhana nan elegan.
Di dapur, ibu-ibu memasak ditemani oleh nyala kecil yang memancar dari kaca bulatnya. Anak-anak belajar di meja kayu tua, cahaya redup strongking menari-nari di atas buku tulis mereka. Dan di bale-bale, bapak-bapak duduk sambil menyeruput kopi, ditemani oleh bayangan mereka sendiri yang melengkung di dinding bambu.
Lilin punya kisahnya sendiri. Dulu, lilin bukan hanya cadangan saat strongking kehabisan minyak tanah, lilin justru menjadi simbol kehangatan. Ketika hujan turun deras dan angin kencang meniup-niup atap rumah, lilin dinyalakan. Orang-orang duduk melingkar di sekitar meja kecil, berbagi cerita sambil mendengarkan suara hujan yang mengetuk genteng. Ada rasa aman yang tidak bisa dijelaskan ketika lilin menyala di tengah kegelapan.
Namun, zaman berubah. Listrik masuk ke desa-desa, menggantikan peran strongking dan lilin, bahkan minyak tanah pun langka. Lampu neon menggantikan cahaya redup yang lembut. Kerlip bohlam menyingkirkan tarian bayangan yang dulu menjadi penghias dinding. Ketika listrik mulai mendominasi, benda-benda kecil itu perlahan-lahan tersingkir ke sudut gudang, ditinggalkan seperti kenangan masa lalu.
Romantisme Gelap
Pada Jumat ketika Bali blackout, tanpa listrik, ingatan tentang masa-masa itu tiba-tiba menyeruak. Dalam kegelapan, kita dipaksa kembali ke romantisme yang sederhana, ke masa ketika gelap bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ketika kita menyulut lilin atau mencari-cari lentera tua yang sudah berkarat, kita tak hanya mencari penerangan, tapi juga mencari rasa yang pernah hilang.
Mengingat dulu saya kecil, berkunjung ke rumah nenek di Desa Tembok, ujung timur Kabupaten Buleleng. Pada malam hari, nenek mengeluarkan lampu minyak dari lemari tua. “Ini tidak perlu listrik, Rik, cuma ya bangun-bangun hidung kita bisa hitam,” katanya.
Dulu saya tak bertanya. Tapi sekarang saya malah bertanya-tanya, kenapa hidung kita bisa hitam?
Sempat saya tanya ke Ibu. Dan Ibu menjelaskan, “Dulu, lampu kan pakai minyak tanah. Nah, asap hitam yang dihasilkan menyebabkan muka kita kadang baru bangun, hitam!”
Membayangkannya saja membuat saya tertawa.
Bapak bercerita: “Dulu di desa, justru strongking digunakan saat paum atau acara yang lama, bahan bakarnya menggunakan spritus atau minyak tanah, dan tekanan udara harus dibuat di dalam tangki minyak dengan memompa menggunakan pompa tangan. Tekanan ini akan memaksa minyak tanah keluar dari tangki!”.
Di desa-desa, lilin kembali menjadi bintang utama. Mungkin di Desa Tembok saat ini, keluarga berkumpul di ruang tamu yang diterangi oleh tiga batang lilin. Suasana seperti ini sudah jarang terjadi, karena biasanya setiap anggota keluarga sibuk dengan ponsel atau televisi masing-masing. Tapi malam ini berbeda. Dalam temaram lilin, mereka saling bercerita. Tertawa, berbagi kisah, seperti masa lalu yang mereka pikir sudah hilang.
Apa kabar nenek di rumah ya. Nenek sudah biasa hidup tanpa penerangan yang memadai, karena di rumah nenek lebih sering menggunakan lilin, dan jarang menggunakan listrik, hitung-hitung hemat energi listrik. Sebenarnya sih, karena tidak punya uang juga.
Ada sesuatu yang ajaib tentang lilin dan strongking. Keduanya bukan sekadar alat penerangan, mereka adalah pengikat kenangan. Nyala api mereka yang kecil dan lembut mengundang keintiman, menghapus jarak, dan membuat kita menghargai kebersamaan. Dalam kegelapan, kita menyadari betapa terang bukan sekadar soal cahaya, tapi juga soal rasa kebersamaan.
Pemadaman listrik ini, meski merepotkan, adalah pengingat yang manis. Kita diingatkan bahwa teknologi, betapapun canggihnya, tak akan pernah bisa menggantikan kehangatan sederhana dari lilin yang menyala di meja kayu, atau lentera minyak yang menemani obrolan malam.
Jumat malam itu, Bali seperti kembali ke masa lalu. Di luar sana, bintang-bintang tampak lebih terang karena tidak ada polusi cahaya. Anak-anak yang biasanya sibuk dengan gawai kini duduk di samping orang tua mereka, mendengarkan cerita tentang bagaimana hidup dulu tanpa listrik. Beberapa bahkan mungkin mempelajari bagaimana caranya menyalakan strongking, sebuah keterampilan yang sudah hampir punah.
Pada Jumat malam itu, saya mengunjungi beberapa warung terdekat, menanyakan lilin untuk menerangi mala mini. Hasilnya, nihil. “Sudah jarang orang menjual lilin, enggak laku, dan kebanyakan sudah hancur,” kata Ibu Mari, penjual di warung dekat gang tempat saya tinggal.
Akhrinya, belajar dari pengalaman Ibu dulu, saya diajarkan membuat lilin dadakan. Menggunakan cangkir kecil yang diisi beras dan minyak goreng, untuk sumbunya saya menggunakan benang Bali. Di satu sisi, seru juga membuat lilin, seperti membayangkan zaman dulu orang-orang pasti melakukan hal yang sama.
Di tengah semua ini, kita merenung. Apa yang sebenarnya kita cari dalam terang listrik yang begitu kita andalkan? Mungkin kita hanya lupa bagaimana caranya menikmati gelap. Dalam gelap, kita lebih dekat dengan diri sendiri, dengan keluarga, dengan cerita-cerita yang sering kita abaikan. Dalam gelap, kita diingatkan bahwa terang tidak selalu berasal dari lampu neon atau layar ponsel. Kadang, terang itu datang dari sebuah lilin kecil atau lentera tua yang menyala di sudut ruangan.
Malam itu, lilin dan strongking bukan sekadar alat penerangan. Mereka adalah jembatan menuju kenangan. Mereka mengingatkan kita pada masa-masa ketika hidup lebih sederhana, ketika kita tidak terburu-buru, ketika kita punya waktu untuk duduk bersama dan saling bercerita. Dan di tengah kegelapan malam ini, kita bersyukur bahwa kenangan itu masih bisa kita temukan, meski hanya untuk satu malam.
Gelap Bali malam itu adalah sebuah momen refleksi. Anggap saja ini sebuah undangan untuk berhenti sejenak dan mengenang. Mengenang masa lalu, mengenang strongking dan lilin, mengenang kehangatan yang pernah kita miliki sebelum cahaya listrik mengambil alih segalanya. [T]
Penulis: Arix Wahyudhi Jana Putra
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: