MENYOROTI berbagai peristiwa di Bali belakangan ini, utamanya soal kemacetan dan masalah-masalah sosial lainnya, mendapat tanggapan di media sosial yang kalau diperhatikan bisa membuat kita mengelus dada. Pasalnya, walaupun tidak semua, tapi seringkali masalah-masalah itu dikomentari dengan unsur SARA.
Pengguna Medsos, dengan latar belakang dan usia yang berbeda, dengan mudah men-judge kejadian-kejadian itu dengan mengaitkan pelaku dengan latar suku dan agama tertentu. Dan akan mendapat respon yang berbeda ketika kejadian yang kebetulan pelakunya bagian dari umat mayoritas di Bali.
Kejadian yang cukup viral terakhir, saat video Hari Raya Nyepi di kampung Loloan, Jembrana, beredar di medsos. Hujatan dan cacian memenuhi kolom-kolom komentar. Apalagi beberapa pejabat turut me-repost video tersebut dengan narasi yang agitatif dan propaganda.
Namun, terlepas dari bagaimana kejadian yang sebenarnya, menarik untuk diperhatikan respon Bupati dan Wakil Bupati Jembrana yang justru “membela” komunitas Muslim di Kampung Loloan.
Paling tidak ada dua alasan kenapa respon dari pemimpin di Jembrana itu jadi menarik.
Pertama, karena responsif sebagai Pimpinan Daerah untuk membela warganya ketika dihujat habis-habisan oleh netizen se-Bali. Pembelaan ini tentu sebagai upaya peredaman konflik yang mungkin bisa terjadi secara lebih terbuka, karena yang akan hidup sehari-hari adalah warga Jembrana, bukan mereka yang menghujat di luar Jembrana.
Bahkan hujatan netizen diarahkan ke Bupati dan Wakil Bupati sampai pada hal yang personal. Secara pribadi, saya salut dengan dua pimpinan Jembrana ini, rela menjadi tameng untuk warganya dengan tidak melihat latar agama tertentu. Membela di sini bukan membenarkan kejadian tersebut, tapi mereka berdua ingin menyelesaikan dengan kearifan lokal Jembrana.
Kedua, dua pimpinan ini yang asli putra daerah, sejak kecil bergaul dengan berbagai komunitas Muslim di Bali Barat. Mereka tahu betul bagaimana Muslim di Jembrana ini berkembang bukan baru setahun dua tahun, tapi sudah ratusan tahun.
Muslim Loloan, dan Jembrana secara umum tidak mengenal istilah Mudik saat lebaran, kenapa? Karena mereka sudah turun temurun lahir di Bali. Tindakan mereka berdua sebagai penguasa di Jembrana, juga sebagai kelanjutan dari penguasa zaman kerajaan kepada Muslim.
Bagaimana kebijakan Raja-raja di Bali dulu terhadap umat Muslim?
Nengah Bawa Atmadja dalam bukunya “Genealogi Keruntuhan Majapahit; Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali (2010), Pada Abad ke 16 dan Setelahnya”, Raja-raja di Bali menerapkan kebijakan yang disebut dengan Politik Karantinaisasi bagi penduduk Muslim.
Ada beberapa alasan dengan kebijakan ini:
Pertama untuk mencegah timbulnya konflik antara penduduk Islam dengan Hindu Bali yang disebabkan oleh latar belakang perbedaan agama dan kebudayaan.
Kedua, meminimalisir kemungkinan adanya Islamisasi yang dilakukan oleh umat Islam terhadap orang Bali.
Ketiga, memeberikan rasa aman secara sosiologis, kultural, keagamaan, dan psikologis sebab dalam perkampungan yang berpola karantinaisasi, mereka (Muslim) dapat mengembangkan identitasnya secara bebas tanpa didominasi maupun dihegemoni oleh etnik Bali.
Keempat, etnik Bali Hindu yang berada di sekitarnya bisa mempertahankan identitasnya, tanpa ada perasaan dirongrong oleh Islam.
Kebijakan kerajaan seperti ini adalah jalan tengah ketika Raja tidak bisa sepenuhnya menghadang Muslim. Sebab tenaga-tenaga Muslim bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kerajaan, seperti kontak perdagangan dengan kerajaan di luar Bali, juga sebagai pasukan utama saat terjadi peperangan. Penguasa saat itu berupaya untuk tidak tejadi benturan pada ranah kultural, tapi memiliki kesetiaan yang sama saat struktural kerajaan memanggil.
Dengan begitu, terbentuklah perkampungan Muslim seperti Loloan di Jembrana, Pegayaman di Buleleng, Kepaon dan Serangan di Denpasar, dan Gelgel di Klungkung.
Kembali pada kejadian di Kampung Loloan, mereka sudah terbiasa, sebagaimana kampung-kampung muslim lainnya di Bali, saat Hari Raya Nyepi menutup perbatasan perbatasan kampung agar warga tidak keluar ke kampung Hindu di kanan kirinya. Jadi tindakan menutup kampung ini adalah untuk menghormati saudara Hindu yang sedang beribadah.
Kenapa tidak diam di rumah? Karena di dalam kampung semuanya beragama Islam, sehingga tidak ada yang merasa diganggu ketika keluar rumah.
Kenapa baru dipermasalahkan sekarang? Sebenarnya bukan dipermasalahkan, tapi karena video yang disebar melalui medsos dengan narasi yang liar, membuat netizen turut menghujat. Karena model kampung tua seperti Loloan, tidak bisa disamakan dengan model pemukiman modern yang lintas etnik dan agama. Bagi mereka yang paham akan kesejarahan ini, tidak akan serta menghujat, karena masing masing wilayah memiliki kearifan lokal, dengan pendekatan penyelesaian secara lokal pula.
Kedepan, ancaman narasi egosentris dan propaganda berbasis SARA sepertinya masih terus mengemuka. Banyak yang mengatakan permasalahan utama sebenarnya adalah ruang ekonomi yang semakin kompetitif, sehingga isu “penduduk asli” versus “pendatang” dimunculkan, yang berarti “asli” yang berhak dan “pendatang” tidak berhak. Dan hampir semua permasalahan di Bali, kalau lihat di kolom komentar medsos, diarahkan kepada pendatang. Jika diartikan lebih khusus lagi, “asli” adalah Hindu dan “pendatang” adalah Islam.
Jika narasi seperti ini terus mengemuka, keharmonisan kedua agama yang sudah terjalin ratusan tahun, akan terkoyak oleh generasi yang tidak mengenal masa lalu. Semoga saja tidak. [T]
Penulis: Abdul Karim Abraham
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: