Di tengah hiruk-pikuk perayaan Nyepi yang setiap tahunnya ditandai oleh parade ogoh-ogoh yang semakin gemerlap dan canggih, ada satu sosok yang mencuri perhatian—bukan karena kerlap-kerlip lampu LED atau raungan mesin hidrolik yang megah, tetapi karena ia berhasil menyalakan kembali sesuatu yang hampir padam di banyak karya belakangan ini: imajinasi.
Namanya adalah Tulak Tungggul, sebuah ogoh-ogoh karya Warmaya atau Mank Egik yang pernah menjadi pemenang kompetisi ogoh-ogoh mini di GWK. Tulak Tunggul, sebuah ogoh-ogoh yang menolak untuk sekadar menjadi tontonan mekanis. Ia bukan hanya makhluk dari dunia bayangan, melainkan pancaran utuh dari pergulatan batin, tafsir spiritual, dan kejeniusan visual. Dalam banyak hal, Tulak Tungggul bukan hanya karya seni rupa. Ia adalah pernyataan.
“Tulak” dalam bahasa Bali berarti menolak atau mengusir, sementara “Tungggul” bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tertinggal, sisa, atau bahkan sesuatu yang membatu. Maka “Tulak Tungggul” dapat dibaca sebagai upaya spiritual untuk menolak sisa-sisa energi buruk yang mengendap dalam kehidupan manusia dan jagat. Ia bukan hanya ogoh-ogoh sebagai simbol butha kala, tetapi juga sebagai representasi dari pergulatan batin umat manusia melawan stagnasi, dendam lama, trauma, dan sisa-sisa energi yang belum tersucikan.

Ogoh-ogoh Tulak Tunggul | Foto: Deck Soto, Sanur, IG @deck_sotto
Secara visual, Tulak Tungggul menyuguhkan kesatuan ekspresi dan gestur yang luar biasa padu. Pose tubuh yang membungkuk ke depan, dengan satu jari tangan menelusup ke antara bibir dan gusi serta sorot mata yang penuh perhitungan, memberi kesan bahwa makhluk ini tengah merenung atau merencanakan sesuatu. Ekspresi wajahnya jauh dari tipikal ogoh-ogoh menyeramkan. Ia lebih mirip seorang pemikir tua dari dunia lain—sosok yang telah lama mengamati manusia, dan kini hendak menyampaikan pesan.
Tidak ada gerakan berlebihan. Tidak ada teatrikal yang hampa makna. Setiap lekuk tubuh, kerut wajah, hingga aksesori yang menempel di tubuh Tulak Tungggul tampaknya dirancang dengan pertimbangan mendalam. Bahkan jika ia tidak digerakkan, ia sudah cukup “hidup.” Dan ketika akhirnya ia bergerak, penonton tidak sekadar kagum pada teknologinya, tetapi terpesona oleh kesan bahwa makhluk ini benar-benar “ada.”
Menghidupkan Kembali Euforia Imajinasi
Berbeda dari banyak ogoh-ogoh masa kini yang terlalu menonjolkan kecanggihan mesin—hingga sering kali kehilangan ruh seninya—Tulak Tungggul justru jauh dari mesin yang memang sejatinya harus ditempatkan sebagai pelayan imajinasi, bukan majikan. Mesin sama sekali tidak mendikte karya yang sudah sangat kuat dari sisi visual ini.
Tangan atau kepala atau bagian tubuh Tulak Tungggul yang lainnya tidak digerakkan oleh sistem mekanis yang pada banyak ogoh-ogoh terasa seperti pertunjukan sulap. Tulak Tunggul terasa seperti menyadarkan kembali bahwa gesturnya yang tanpa sentuhan sistem mekanis merupakan perwujudan kehendak batin dari sosok tersebut. Penonton tidak berkata, “Wow, mesinnya hebat,” tetapi berkata, “Ada apa dengan makhluk ini? Apa yang ingin ia sampaikan?”
Sayangnya, banyak kreator ogoh-ogoh hari ini terjebak dalam euforia mekanika. Mereka terlalu memuja teknologi—seolah-olah gerakan hidrolik otomatis sudah cukup untuk menyihir penonton. Padahal, mesin hanyalah hasil akhir dari imajinasi yang berhenti di titik presisi. Mesin berawal dari gagasan, dari keinginan untuk mengatasi keterbatasan tubuh manusia, namun ketika ia telah selesai dirakit, ia hanya akan mengulang dan mengulang gerakan yang sama, tanpa variasi rasa atau tafsir. Sementara ogoh-ogoh, seharusnya lebih dari itu. Ia bukan sekadar perayaan presisi—melainkan perayaan imajinasi, baik bagi kreatornya maupun penontonnya.
Tulak Tungggul seolah hendak menyindir karya-karya ogoh-ogoh yang terlalu percaya pada gemerincing roda dan piston, tetapi lupa pada kekuatan diam dari gestur yang mengandung makna. Sebab, imajinasi tidak pernah mati karena diam, justru ia bisa mati karena terlalu banyak bergerak tanpa arah.
Tulak Tungggul mengembalikan euforia kreator pada substansi utama dari sebuah ogoh-ogoh: imajinasi. Sebuah kata yang kini sering kalah oleh tuntutan viralitas, kompetisi, dan pertunjukan teknologis.
Ia membuat para kreator kembali berbicara tentang ide, bukan hanya eksekusi. Ia mengajak penonton untuk menebak-nebak makna, bukan hanya mengabadikan gerakan untuk diunggah di media sosial. Dengan kata lain, Tulak Tungggul adalah perayaan tafsir, bukan hanya tontonan.
Dalam dunia yang makin cepat dan instan, Tulak Tungggul datang sebagai penyeimbang. Ia memperlambat kita. Ia membuat kita duduk dan berpikir. Ia mengajak kita menyelami—bukan hanya menonton. Ia menghidupkan kembali rasa kagum yang jujur, bukan sekadar keterpukauan teknologis.
Ogoh-Ogoh Sebagai Jalan Spiritualitas
Secara filosofis, Tulak Tungggul mengingatkan bahwa ogoh-ogoh bukan sekadar karya seni jalanan. Ia adalah bagian dari ritus penyucian jagat. Ia adalah simbol perlawanan terhadap energi negatif yang bersarang dalam tubuh sosial dan spiritual manusia.
Dengan pendekatan visual yang kuat, gerakan mekanis yang subtil namun efektif, dan nama yang penuh muatan makna, Tulak Tungggul mengingatkan kita bahwa seni bisa menjadi jalan spiritual. Bahkan lebih jauh, ia menunjukkan bahwa teknologi pun bisa menjadi alat pencerahan—asal ia dipakai dengan penuh kesadaran.
Tulak Tungggul adalah contoh terbaik dari bagaimana ogoh-ogoh masa depan seharusnya berkembang. Bukan dengan meninggalkan akar filosofis dan spiritualnya, tetapi dengan menyerap teknologi sebagai instrumen pendukung, bukan pusat perhatian.
Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara ritual dan kreasi, antara seniman dan teknisi, antara tubuh dan jiwa. Ia membuat kita percaya bahwa ogoh-ogoh bisa tetap relevan di era modern tanpa kehilangan jati dirinya.
Dan pada akhirnya, Tulak Tungggul akan dikenang bukan hanya sebagai ogoh-ogoh hebat tahun ini, tetapi sebagai pengingat bahwa dalam setiap detik yang kita habiskan untuk mencipta, ada 86.400 kemungkinan untuk menghidupkan kembali imajinasi yang nyaris terlupakan. [T]
Penulis: Agung Bawantara
Editor: Adnyana Ole
Foto: Deck Soto, Sanur. IG @deck_sott
- Artikel ini disiarkan pertama kali di bekraf.id