MONOLOG yang dipentaskan oleh Nova Aryani berjudul “Hidup Dimulai di 40”, tidak sekadar mempertunjukkan sebuah gosip dari autografi dirinya sendiri, yang isinya hanya tentang isu rumah tangga, dan tentang masa kecilnya tumbuh di kota yang sunyi dengan segala macam permasalahan. Ia mempertunjukkan sesuatu yang tak biasa bagi dirinya, barangkali tak biasa juga bagi ibu-ibu lain.
Naskah monolog itu ditulis dan sekaligus disutradarai Kadek Sonia Piscayanti, sastrawan sekaligus founder Komunitas Mahima. Naskah itu dimainkan oleh Nova dalam acara Mahima March March March di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Jumat malam, 14 Maret 2025.
Monolog ini adalah bagian dari projek Monolog 100 Perempuan yang digarap Kadek Sonia Piscayanti. Nova membawakan “Hidup Dimulai di 40” sebagai monolog yang ke-12.
Nova memainkan monolog dengan santai, nyaris tanpa hentakan, namun tetap terasa gregetnya. Sepertinya penonton menebak ia akan terjebak pada kisah romantisme perempuan ibu rumah tangga, apalagi ia seorang ibu yang belum pernah melakukan pementasan di atas panggung. Ia bukan orang teater.
Penonton barangkali mengira kisahnya akan jatuh pada curahan hati pada orang-orang mendengarkan—bahwa begitu pedih menjadi seorang perempuan sekaligus menjadi seorang ibu, yang banyak merenggut banyak waktu atau mendamparkanya pada ranah kerja yang eksploitatif terutama di ruang keluarga.
Misalnya, harus ngurus ini, ngurus itu. Di dapur atau di kamar, atau di sekolah anak-anak saat mengantarkannya pergi pagi-pagi. Atau lagi yang paling serem, mengurusi seabrek urusan adat dan ritual agama yang ketat.
Tapi tidak. Monolog itu tidak seperti itu. Memang, naskah monolog itu ditulis berdasarkan cerita personal pemainnya, namun justru cerita personal itu disulap oleh Kadek Sonia Piscayanti menjadi lebih atraktif. Lebih hidup.
Monolog itu akan terasa biasa-biasa saja jika kisahnya hanya tentang seseorang menjadi ibu dengan dua anak satu suami. Yang pandai memasak, pandai berjualan. Hidup harmonis dengan keluarga, dan sejenisnya. Kisahnya tidak sesederhana itu.
Monolog itu menceritakan tentang bagaimana seorang Nova yang hidup harmonis dengan keluarga itu memilih kegiatan lain di luar kehidupan rumah tangga. Yakni berkomunitas. Dan, ia mendapati hidupnya penuh gairah saat masuk komunitas penulis, dan itu terjadi pada usianya masuk 40 tahun.

Nova Aryani saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Jumat, 14 Maret 2025|Foto: Dok. Komunitas Mahima
Ia memulai monolognya dengan kisah pengalamannya menjadi seorang ibu, memasak di dapur untuk keluarga, untuk suami di kamar, dan mengantar anak sekolah. Pengalaman itu diperankan secara lebih liat, sehingga ia tak sekadar bercerita.
Kehidupan nyatanya berhasil diawa ke atas panggung yang luas—merupa teater.
Pengalaman-pengalaman biasa, sehari-hari, dirasakan lagi oleh Nova. Dihidupkan kembali untuk sebuah pementasan, agar semua bisa merasakan secara adil, melalui satu peran dirinya sendiri, yang seakan-akan menjadi cerita orang lain. Maksudnya, ia menyuguhi penonton seuah pementasan, bukan sebuah curhat colongan yang kering.
- BACA JUGA:
Panggung yang sempit dikuasai Nova seperti keluasan laut biru ketika monolog itu dipertunjukkan. Orang-orang tenggelam pada matanya yang berair ketika ia masuk pada cerita yang mengharukan. Malam itu senyap.
Nova seorah melintasi banyak peristiwa, menyampaikannya dengan intuisi. Para penonton berlayar di matanya yang sayu…
“Lalu di 27 tahun umurku, aku menjadi istri. Seorang laki-laki temanku di SMP dan SMA, kini menjadi suamiku. Kami bahagia dengan anak-anak yang pintar dan sehat.”
“Ciee…,” celetuk salah satu penonton, hanyut pada pembawaan Nova. Dan Nova juga hanyut pada dirinya sendiri.
“Sebagai Ibu, aku memilih menjadi ibu yang moderat. Memberi anak-anakku pilihan yang mereka inginkan tapi yang mampu aku beri panduan.
Lalu apa yang kurang? Yang kurang barangkali adalah aku dan diriku sendiri yang merasa belum menemukan makna diri. Bukan aku kurang bersyukur, tapi aku ingin menjadi diriku sendiri.”
Narasi kuat tentang hidup, setelah ruang ke tiga—yang kata Ray Oldenburg, menjadi pengaruh bagi Nova dalam menyesap makna lebih manis. Di umurnya yang masuk ke-40, hidup dijalankannya lebih asik, seperti terwujudnya soal mimpi-mimpi.
Hal itu ia rasakan setelah bergabung dengan Komunitas Mahima. Ini bukan pujian kosong, hati seorang ibu yang berbicara. Berani menggugat?
“Pertunjukan yang bagus. Bahkan saya sampai tak sadar mengucapkan ‘cie’ tadi, saya mohon maaf soal itu, tak bermaksud menagganggu, tapi memang tenggelam. Monolog yang dibawakan oleh Bu Nova ini cukup interaktif,” kata Andy Sri Wahyudi, pantomimer dan penulis buku “Sana dan Sini” di sela diskusi.

Nova Aryani saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Jumat, 14 Maret 2025|Foto: Dok. Komunitas Mahima
Andy Sri Wahyudi alias Andi Eswe juga menjelaskan pertunjukan monolog sederhana itu bisa lebih bagus ketika dapur misalnya (tempat yang tak jauh dari tempat pementasan) menjadi panggung, dan alat-alat di dapur bisa menjadi bagian dari pementasan itu untuk bisa lebih menguatkan soal peran.
Monolog “Hidup Dimulai di 40” yang diperankan oleh Nova Aryani, adalah sebuah cerita tentang dirinya yang mencoba ranah lain untuk mengusir kebosanan dan rasa suntuk di samping kesibukan-kesibukan rumah tangga.
Melalui monolog itu, melalui naskah itu, Nova melugaskan bahwa di umurnya berkepala empat bukan persoalan untuk ia kembali berurusan dengan buku, dengan menulis.
Nova, atau bernama lengkap Ni Luh Nova Aryani, adalah seorang pengagum Dee Lestari. Nyaris semua buku milik Dee dibacanya tuntas ketika umurnya masih 20. Ketika buku sudah tuntas dibaca, dibacanya kembali dan terus begitu.
Mencintai karya-karya Dee, kemudian menjadi mencintai sosok Dee setelah ia bertemu dengan si penulis melalui komunitas pada sebuah festival di Singaraja. Menurut Nova, sangat kecil kemungkinan untuk bertemu dengan si penulis selain dari karya-karyanya.
Bagian itu dibawakan oleh Nova ketika monolog tentang dirinya, membawa orang-orang yang menonton membayangkan, sekian tahun menenggrlami karya-karya si penulis, tiba-tiba ketemu secara langsung dan berbicara secara langsung. Rasanya seperti bertemu seorang kekasih yang lama tidak bertemu. Jiwa jadi kebun bunga.
Sebab lebih dari sekadar berswafoto bersama setelah bertemu, Nova mengolah kesempatan itu lebih berarti; yang positif dan panjang. Harinya menjadi ladang produktif untuk ditanami kata-kata.
“Aku menjemput Dee dan dia bicara padaku seperti dalam mimpi. Ia tak hanya ramah, dia memang seorang Dewi, yang baik hati dan peduli.”
Begitu kata Nova dalam monolognya.
Sekarang di sela ia berjualan alat-alat rumah tangga—sebagaimana biasanya, mengurus anak dan suami, atau merawat rumah tinggal beserta isinya, membaca buku tak pernah luput walaupun usia—yang katanya, agak terlambat untuk berjalan di dunia penulisan.
Tapi itu dilakukan dengan suka cita, dan bahkan, Nova menyisipkan waktu untuk mencoba menulis tentang apa saja sebagaimana Dee menulis. Ya, setidaknya untuk diri sendiri… [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: