MENJADI pemimpin tidak boleh bicara yang tidak terukur, bicara semaunya, seenaknya. Jangan bicara tanpa berpikir, jangan berbuat semena-mena. Pemimpin harus dapat mengasuh dengan kasih sayang, menolong pada yang membutuhkan dan kesusahan, mengantar pada yang takut, mampu memberikan pencerahan.
Begitu bunyi salah satu pikukuh (pedoman hidup) adat suku Baduy, yang bermukim di wilayah Banten Selatan. Saya tidak akan menginterpretasikan arti ungkapan pikukuh tersebut, dengan anggapan pembaca budiman akan lebih arif, dan bijak memaknai pikukuh itu. Saya juga percaya pembaca lebih tahu dan paham maksud dan nasihat pikukuh adat Baduy tersebut. Mari kita renungkan, karena pada dasarnya kita adalah seorang pemimpin, paling tidak untuk diri dan keluarga kita.
Pedoman itu masih dipatuhi sampai sekarang oleh orang-orang Baduy. Hal ini bertolak belakang dengan persepsi dan praktik hidup masyarakat modern, khususnya di perkotaan. Orang modern banyak bicara, semakin vokal dan keras, dianggap sebagai hal baik. Dalam pikukuh Baduy tersebut di atas jelas, pemimpin adalah figur ideal manusia sehat lahir maupun batin, dia adalah sosok yang mulia dan dimuliakan.
Pemimpin tidak berwatak menyeruduk seperti badak. Kaum badak nafsunya begitu besar sehingga semua yang diinginkannya harus diwujudkan. Metafora manusia badak adalah manusia nafsu seperti disampakain budayawan Jakob Sumardjo dalam tulisanya “Badak-Badak” pada Harian Kompas. Itulah sebabnya badak berbahaya bagi manusia. Nafsu besar itu biasanya menenggelamkan pikiran akal sehatnya.
Korupsi semakin dianggap hal lumrah, apalagi dengan alasan kekurangan. Yang lebih parah dan menyakitkan lagi; banyak orang melakukan korupsi bukan karena alasan kekurangan, melainkan untuk memenuhi nafsu kerakusan. Para koruptor yang tertangkap KPK bukan orang-orang miskin, melainkan orang-orang kaya, berpendidikan dan berjabatan tinggi.
Dalam konteks pikukuh adat Baduy, mencuri sekecil apa pun dan dengan alasan apa pun dilarang: “ulah maling papanjingan”, tidak boleh mencuri meskipun kekurangan. Perhatikan pepatah Baduy berikut ini; “Mipit kudu pamit, ngala kudu menta”. Artinya, memetik harus ijin, mengambil harus minta.
Larangan mencuri, walau kekurangan itu memiliki dimensi spiritual yang tinggi. Dalam khasanah budaya Jawa ada pitutur (nasihat) bagaimana menjadikan keadaan kekurangan atau kemiskinan justru sebagai cambuk untuk memperkuat niat dan membajakan tekad guna terus berjuang menuju kehidupan yang makmur dan bermartabat. Bahkan, menahan lapar, mengurangi tidur dan meninggalkan kesenangan justru dianjurkan sebagai laku prihatin.
Manurut Parni Hadi (2015), Anjuran itu digubah dalam bentuk tembang Kinanti. Penggalan pertama lagu itu berbunyi: “Padha gulangen ing kalbu, ing samita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, pesunen sariranira, sudanen dahar lan guling”. Artinya,mari latih dalam kalbu, agar batin lebih tajam, jangan cuma makan dan tidur, latihlah fisikmu, kurangi makan dan tidur. Dalam bentuk modern anjuran itu bisa dilakukan dengan berpuasa dan sholat malam. (Parni Hadi. 2015. Ulah Maling Papanjingan, Artikel. Seminar. Kongres Kesejahteraan Sosial VII. Padang.18-20 April.2015).
***
Pertanyaannya, mengapa agama dan ideologi modern, termasuk Pancasila, tidak berhasil menjadikan pengikutnya patuh seperti anggota Komunitas Adat Terpencil Baduy? Salah satu jawabannya, menurut Parni Hadi (2015), adalah: semakin menipisnya dimensi spiritual di tengah keriuhan ritual dalam praktik keberagamaan kita. Tentu, kita tidak harus hidup mengasingkan diri seperti suku Baduy untuk dapat mengamalkan ajaran agama dan ideologi modern secara konsekuen. Kita bisa tetap hidup secara modern dan mencapai kebahagiaan, jika kita mampu mengendalikan nafsu kita. Itulah inti dimensi spiritual ajaran agama.
Pemimpin yang Merendah
Kata orang bijak kenapa sungai besar dan lautan raya bisa menjadi tempat berkumpulnya ratusan sungai lembah. Karena sungai besar dan lautan raya berada di tempat yang lebih rendah, maka mereka bisa menjadi pemersatu ratusan sungai lembah.
Bila seorang pemimpin ingin berada di atas rakyat dia harus bicara merendah di depan rakyat. Kalau seorang pemimpin ingin berdiri di depan rakyat dia harus meletakkan kepentingan pribadinya di belakang rakyat. Kondisi itu hanya bisa dipahami oleh seorang pemimpin yang mau dan mampu berada di tengah-tengah masyarakat untuk menciptakan iklim yang kondusif, penuh optimisme, dan semangat.
Pemimpin Walk the Talk
Saya tidak perlu membahas secara panjang lebar walk the talk. Saya yakin pembaca memahami maksudnya, bahwa pemimpin tidak hanya bicara saja, tetapi juga melakukan dan menjadi teladan. Hal yang paling saya ingat tentu tauladan Nabi Muhammad SAW yang turut serta dalam membangun parit pada masa perang Tabuk.
Pemimpin harus memiliki konsep dalam membangun kepribadian bangsanya. Dan itu seharusnya dilakukan pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Sosok pemimpin semestinya mengambil alih kendali dalam membangun karakter sebuah bangsa. Bukan malah menyerahkan semuanya pada kehendak pasar, dalam artian semuanya dibiarkan berjalan begitu saja tanpa memiliki konsep yang jelas.
Pemimpin yang Mendoakan
Adakah pemimpin yang selalu mendoakan rakyat, maksudnya selalu merendah tidak berusaha membalas suatu itikad yang dianggap mengancam dari rakyatnya? Misalnya dicontohkan oleh Tauladan kita Nabi Muhammad SAW ketika beliau berdakwah di kota Tha’if, setelah mengalami jalan buntu berdakwah di kota Mekkah, tetapi dakwah Nabi ditolak oleh warga Thaif. Bahkan Rasul dilempari batu sampai berdarah-darah. Kemudian Nabi berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan kepadanya. Allah mendengar doa Nabi dan ditawarkan kepada Nabi untuk menimpakan gunung ke atas penduduk Thaif, tetapi baginda Rasul menolak.
Dari sudut pandang dan kisah ini saya tidak akan mengulas lebih jauh makna peristiwa tersebut. Saya hanya ingin mengatakan tidak perlu ada kekerasan dan dendam, ketika sekelompok orang memohon sesuatu perlindungan, unjuk rasa dan pendapat dari sebuah proses aturan dan regulasi yang akan dibuat.
Menurut Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ, menjadi pemimpin juga berarti harus mampu menjadi sosok pendengar yang baik. Malah seharusnya ia lebih banyak mendengar daripada didengar. Ia harus banyak menyerap aspirasi di setiap saat dan setiap waktu. [T]
Penulis: Ahmad Sihabudin
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis AHMAD SIHABUDIN