PEMBACA yang budiman, sesunguhnya kita telah sampai pada hari ke- 10 (sepuluh) dari bulan penuh berkah ini. Bulan Ramadhan terbagi dalam tiga fase, ketiganya adalah sepuluh hari pertama yang penuh rahmat, sepuluh hari kedua yang penuh ampunan, dan sepuluh hari ketiga dengan jaminan terbebas dari neraka. “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, sedangkan akhirnya adalah terbebas dari api neraka” (HR. Al-Baihaqi).
Dalam bulan Ramadhan ini, Antum pernah tidak menggunakan waktu sekitar lima menit saja dalam sehari untuk bermenung melakukan introspeksi, atau mencoba mencerna kejadian demi kejadian yang masuk memori Antum hari itu? Kalau belum, cobalah lakukan di bulan Ramadhan ini. Barangkali ada manfaatnya.
Dari mulai memasuki bulan Ramadhan kali ini bangsa kita sedang dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit, kesabaran anak bangsa sedang bermasalah (baca : degradasi moral),PHK massal terjadi. Sritex bangkrut, namun empunya tetap tajir, korupsi menggunung, tapi koruptor tetap kaya, laut dipagar, yang punya tetap dirangkul, semua virusnya berkembang dengan subur. Fenomena apa ini?
Kesabaran seakan menjadi barang yang amat langka. Atau karena stoknya memang terbatas dan sekarang sudah habis? Mudah-mudahan tidak. Orang sabar itu kan dikasihi oleh Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut pendapat para ulama, sabar adalah salah satu akhlak yang mulia, yang menghalangi munculnya tindakan tidak terpuji. Sabar adalah salah satu kekuatan jiwa dan dengannya segala urusan menjadi baik dan lancar.
Adalah Al-Junaid bin Muhammad, Ulama dan Sufi terkenal dari abad ke-9 Masehi lahir di Irak, membuat sebuah perumpamaan, hakikat sabar adalah laksana meneguk sesuatu yang pahit tanpa perlu merengut. Berarti mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Walaupun demikian bisa dilaksanakan kalau kita mau melaksanakannya.
Jiwa adalah kendaraan seorang hamba dan dengannya ia berjalan menuju surga atau neraka, kebaikan atau keburukan. Sedang sabar bagi jiwa adalah kendali. Jika kendali hilang, maka jiwa kehilangan arah, seperti kapal patah kemudi, senantiasa terombang-ambing dan ini merupakan makanan empuk para provokatot yang sekarang memang sedang marajalela di NKRI.
Dalam jiwa terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan mendorong dan kekuatan menolak. Maka hakekat sabar ialah mengarahkan kekuatan yang mendorong kepada apa yang bermanfaat baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang merugikannya. Ungkapan bijak seorang filsuf dan penulis Amerika Serikat E.H. Chapin (1814-1880) sangat relevan untuk direnungkan, “tidak pernah jiwa manusia tampil begitu kuat seperti saat mereka mengurungkan balas dendam dan berani memaafkan”.
***
Semakin kita sabar, semakin dapat menerima hidup ini apa adanya, bukan memaksakan hidup ini persis seperti yang kita kehendaki. Antara harapan dan kenyataan tidak selalu sama (baca : tiada materi visi-misi kampanye, tapi kemudian muncul ada program baru setelah jadi pimpinan). Manusia hanya bisa merencanakan, keputusan di tangan Allah SWT. Dalam konteks ini, sebuah musibah sebagaimana pun kecilnya adalah merupakan ujian bagi kesabaran ( baca : apa yang terjadi terkini di Negeri ini ujian bagi pimpinan yang sepertinya hanya omon-omom di panggung).
Di tengah perubahan masyarakat yang berlangsung cepat dewasa ini tanpa tingkat kesabaran yang tinggi pastilah membuat kita sangat frustrasi. Orang akan mudah marah, jengkel, terganggu, merasa tidak didudukkan pada tempatnya, dilecehkan, dan merasa disakiti. Kesabaran menambahkan suatu dimensi ketentraman dan rasa menerima dalam hidup kita.
Kesabaran juga mengharuskan kita melihat ketidakbersalahan pada diri orang lain dan memahami ketidaksempurnaan sesama manusia. Bila prinsip tersebut disadari dengan ikhlas, kita akan menjadi orang yang lebih sabar dan tenang. Dan dengan cara yang aneh, mulai menikmati saat-saat yang biasanya akan membuat kita frustrasi.
Meminjam kata bijak OG Mandino, seorang filsuf dan penulis Amarika Serikat (1923-1996), agaknya menarik untuk disimak, “ Kesabaran adalah kekuasaan. Pergunakanlah untuk memupuk semangat, meredakan kemarahan, meredam angkara murka, mengubur rasa iri, menekan kesombongan, menahan lidah, mengekang tangan, sampai tiba waktunya Anda memanen seluruh hasilnya. Berjuang meraih harta tanpa kesabaran justru akan mengamblaskan milik yang sudah ada. Berani tanpa disertai kesabaran akan membunuh Anda”.
Dalam konsep Barat, kesabaran dapat dilatih. Caranya, mulailah mengatakan pada diri Anda, “Oke, selama lima menit berikut ini aku akan membuat diriku tidak merasa terganggu oleh apa pun dan oleh siapa pun. Aku akan sabar.” Lakukan itu setiap hari dan Anda akan terkejut melihat hasilnya, ternyata Anda bisa. Coba bayangkan bila temponya diperpanjang menjadi sepuluh menit, satu jam, atau satu hari.
Umat Islam punya “password” tersendiri untuk melatih kesabaran, yaitu melalui puasa Ramadhan. Sekali setahun umat Islam diberi kesempatan untuk berkontemplasi, merenung, mengevaluasi apa yang telah dilakukan dan apa yang telah diperoleh. Bulan Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi seorang muslim untuk menambah kebaikan dan mengurangi sebab-sebab timbulnya keburukan.
Pintu-pintu kebaikan dan pintu surga terbentang lebar. Sementara pintu-pintu neraka tertutup rapat dan setan-setan terbelenggu (dipenjara). Selama puasa Ramadhan opsi kebaikan memang tersedia amat banyak sedangkan opsi keburukan sangat sedikit dan terbatas. Artinya, cukup banyak tersedia ruang untuk berbuat kebajikan. Sesungguhnya bahagia orang yang menggunakan kesempatan ini dan memilih opsi yang tepat. Diakandung maksud, jangan memilih opsi Lansia baru berbuat kebajikan.
Puasa yang baik adalah jika bukan hanya sekedar puasa menahan haus dan lapar serta puasa menahan nafsu syahwat. Tetapi lidah, mata, telinga, dan semua anggota badan harus ikut berpuasa. Kedua matamu, begitu sering diajarkan ustad, harus berpuasa memandang hal-hal yang haram. Lidahmu harus berpuasa dari dusta, caci-maki, dan adu domba.
Kalau sebulan lamanya kita berpuasa dan terlatih sabar, maka kebiasaaan ini akan berpengaruh pada perilaku hari-hari berikutnya setelah Ramadhan. Kebaikan dan keburukan sebenarnya bermula dari kebiasaan. Manusia kadangkala kurang memiliki kecerdasan emosional sehingga terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas dan konyol.
Untung ada kesabaran sebagai kendali untuk menghalanginya. Pertempuran sering meletus di antara keduanya dan medan pertempuran adalah hati seorang hamba. Wallahu a’lam bishawab! [T]
Penulis: Suradi Al Karim
Editor:Adnyana Ole