SAYA mendapatkan sebuah kesempatan. Undangan itu datang dari Samsara Living Museum, acara literasi yang mereka gelar di Bali pada tanggal 9 Maret kemarin. Mereka sudah menentukan tema untuk saya: Kearifan Lokal sebagai Inspirasi Literasi Dunia.
Saya membacanya berkali-kali. Tema yang besar, nyaris terlalu besar. Pikiran saya mulai berkelindan, mencari pegangan. Apa yang akan saya katakan? Dari mana saya harus memulai? Apa referensi yang saya butuhkan? Tapi, di antara gemuruh pertanyaan itu, saya mendapati diri saya berhenti sejenak, membiarkan pikiran saya beringsut pelan, merangkai bayangan: Bali.
Apa imaji pertama yang muncul ketika saya mendengar nama itu? Sebagai orang Bali, apa yang saya lihat? Dan apa yang orang luar lihat?
Saya mencoba melihatnya dari mata seorang pendatang. Bali adalah surga dunia, tanah eksotis, tempat di mana tubuh bisa berbaring malas di bawah matahari tropis sementara hati ditenangkan oleh tarian dan gamelan. Tempat di mana segala sesuatu tampak lebih ringan, lebih lembut, lebih indah. Begitulah yang mereka katakan.

Diskusi literasi di Samsara Living Museum | Foto: Ist
Saya menutup mata. Mengingat semua hal yang saya tahu. Mengingat sejarah. Mengingat kisah-kisah dari kakek saya tentang tanah ini. Mengingat senyum yang ditawarkan bukan karena suka cita, tetapi karena kebiasaan. Mengingat orang-orang yang bekerja di bawah terik matahari sementara yang lain datang hanya untuk berfoto. Bali, tempat yang katanya milik kita, tapi entah sejak kapan mulai terasa bukan lagi milik kita.
Di dalam buku catatan saya, saya mencoret satu kata besar: Eksotisme.
Eksotisme adalah cara dunia luar melihat kita. Melihat Bali. Tapi ada satu hal yang tak sering mereka sadari: dalam setiap eksotisme ada jarak. Jarak antara mereka yang melihat dan yang dilihat. Jarak yang menjadikan Bali bukan sebagai subjek, tetapi sebagai objek. Karena ketika sesuatu menjadi objek, ia kehilangan suara, kehilangan kendali atas bagaimana ia dikisahkan.
Bali telah lama menjadi objek dalam narasi dunia. Sejak Walter Spies memotret keindahannya dan menulis surat kepada pelancong Eropa, sejak film Eat, Pray, Love membuat lebih banyak orang datang untuk “menemukan diri sendiri”, sejak iklan pariwisata melukisnya sebagai negeri mistis yang harus dikunjungi sebelum mati.
Tapi dalam setiap lukisan itu, di manakah suara orang-orang Bali sendiri? Apakah mereka yang memilih kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan rumah mereka? Ataukah itu adalah suara orang lain—suara yang lebih kuat, lebih berpengaruh, lebih tahu cara menjual keindahan?
Di dalam buku catatan saya, saya mencoret satu kata lagi: Pasar.
Pasar bukan hanya tempat transaksi, bukan hanya sekumpulan kios dan meja kayu dengan buah-buahan tertata rapi. Pasar adalah apa yang menjadikan Bali seperti sekarang. Pasar adalah kekuatan yang membuat ritual menjadi tontonan, desa adat menjadi latar belakang Instagram, dan tarian sakral menjadi hiburan malam di hotel berbintang lima. Pasar adalah yang menentukan apa yang layak dipertahankan dan apa yang harus dilupakan.
Dan Bali? Bali mungkin kini hanyalah objek yang ditentukan oleh pasar?

Saya (penulis) sedang bericara dalam diskusi literasi di Samsara Living Museum | Foto: Ist
Acara di Samsara Living Museum telah berlalu. Saya telah berbicara, telah mendengarkan, telah berdiskusi. Dan satu hal yang terus berulang dalam pikiran saya: menulis ulang.
Mungkin itu jawabannya. Mungkin itu jalannya. Bahwa kita harus menulis ulang narasi kita sendiri. Bahwa kita harus menemukan kembali identitas kita yang selama ini lebih sering diceritakan oleh orang lain ketimbang oleh kita sendiri. Bahwa kita harus kembali menjadi subjek, bukan sekadar objek dalam cerita tentang rumah kita sendiri.
Karena mungkin hanya dengan cara itulah, literasi benar-benar bisa berfungsi. Bukan sekadar kata-kata di atas kertas, tetapi sesuatu yang hidup, yang bergerak, yang mengubah cara kita melihat diri sendiri dan cara dunia melihat kita.
Saya tidak ingin memberi jawaban. Saya tidak ingin memberi solusi. Saya hanya ingin bertanya kepada mereka yang mendengarkan: Bali itu apa? Dan apakah kita masih memilikinya? [T]
Penulis: Pranita Dewi
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: