BEBERAPA waktu lalu saya dalam perjalanan pulang dari tempat saya nyangkul, alias pulang kerja, dan terpelan oleh jalanan macet. Ternyata gabungan beberapa BEM dari universitas negeri dan swasta bergabung sedang demo.
Diam-diam saya bangga betul kepada rekan-rekan mahasiswa ini. Memang waktu itu, tagar #IndonesiaGelap bergaung di media sosial dan menyeret opini publik ke dalam suatu pusaran pertanyaan besar: apakah Indonesia benar-benar sedang berada dalam kegelapan?
Tagar ini saya kira bukan sekadar keluhan emosional tanpa dasar, melainkan sebuah sinyal dari masyarakat yang jenuh dengan serangkaian kasus yang meruntuhkan kepercayaan mereka terhadap pemerintah. Dari skandal BBM oplosan, kasus korupsi di BUMN, pemerasan oleh oknum aparat kepolisian, hingga kontroversi aturan pemilu. Semua ini tentu saja membentuk satu narasi besar krisis kredibilitas negara. Wajar to, jika mahasiswa Indonesia sebagai elemen kritis masyarakat, bergerak?
Minuman Oplosan ke BBM Oplosan: Mentalitas yang Sama?
Kira-kira adakah di antara pembaca yang budiman, yang mungkin melihat adanya sebuah ironi dalam kasus Pertamax, yang diduga dioplos dengan BBM berkualitas lebih rendah. Jika kita melihat situasi di tengah masyarakat, praktik pengoplosan sering dimuat media dan dikaitkan dengan kelompok ekonomi bawah yang mencari cara murah untuk tetap mendapatkan efek tertentu.
Kasus yang paling sering kita dengar adalah soal minuman keras hingga ngoplos bahan bakar. Namun, ketika praktik ini terjadi di level perusahaan minyak negara, tentu itu bukan lagi sekadar akal-akalan bertahan hidup karena kondisi yang mepet, melainkan bentuk kejahatan sistemik. Di mana bedanya? Satu dilakukan di gang sempit, yang lain di gedung mewah dengan dasi dan jas. Waduh, menyebut-nyebut dasi kok jadi teringat tikus berdasi yang berkerudung burung keemasan itu, ya?
Kembali lagi, skandal Pertamina ini lebih dari sekadar isu teknis soal formulasi blending kimia bahan bakar minyak, melainkan lebih ke menyoal bagaimana sebuah institusi negara, yang seharusnya menjadi tulang punggung energi nasional, malah justru terlibat dalam dugaan manipulasi produk demi keuntungan segelintir orang.
Kepercayaan publik terhadap Pertamina, yang sudah tidak terlalu tinggi karena harga BBM yang suka naik turun tanpa transparansi memadai, kini makin terpuruk. Dan jika masyarakat tidak lagi percaya pada pengelolaan energi yang mereka gunakan sehari-hari, semestinya ini jadi lampu merah bagi stabilitas negara kita.
Skandal yang Tak Kunjung Usai
Kasus-kasus besar yang mengguncang pemerintahan dalam setahun terakhir semakin memperparah krisis kepercayaan. Korupsi di Pertamina dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun, penahanan eks Menteri Perdagangan terkait impor gula, serta skandal pemerasan oleh oknum aparat kepolisian terhadap warga asing di sebuah festival musik, semuanya mau tak mau membentuk citra bahwa keadilan dan integritas, hanyalah jargon kosong dalam birokrasi Indonesia.
Ketika skandal sana-sini terus terungkap, wajar juga jika publik mulai bertanya-tanya: apakah tak ada satu pun lembaga negara yang masih bisa dipercaya? Jika institusi yang mengelola kebutuhan dasar masyarakat seperti BBM, perdagangan, dan keamanan saja sarat dengan masalah, bagaimana dengan sektor lain? Apakah pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya juga mengalami degradasi yang sama? Di titik ini, pesimisme kolektif menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi.
Kepercayaan rakyat terhadap sistem politik kita juga mengalami guncangan besar. Kemarin ramai-ramai khalayak gaduh, katanya ada upaya perubahan aturan pemilu yang didorong oleh orang-orang dekat di lingkungan pemimpin untuk menguntungkan putranya, entah sulung, entah tengah, atau yang bungsu. Hal itu sesungguhnya menjadi tamparan keras bagi demokrasi Indonesia. Meski akhirnya dibatalkan, publik sudah terlanjur melihat adanya upaya pribadi untuk memperkokoh dinasti kekuasaan.
Akibatnya, ketika publik merasa bahwa pemilu yang seharusnya menjadi mekanisme demokratis, kemudian dimanipulasi untuk kepentingan segelintir orang, maka keyakinan terhadap sistem politik, perlahan tapi pasti, niscaya runtuh. Di titik ini, mahasiswa dan kelompok-kelompok kritis lainnya melihat satu hal yang jelas; jika tidak ada intervensi dari publik, demokrasi bisa meredup dan mati perlahan.
Mengapa Mahasiswa Bergerak?
Mahasiswa bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga barometer untuk menilai indeks kesehatan demokrasi. Ketika mereka turun ke jalan, saya yakin itu bukan sekadar karena ingin viral atau mencari sensasi, melainkan nalar kritis mereka melihat ada yang salah dalam sistem kita. Mahasiswa bergerak bukan karena mereka baper, tapi karena pemerintah gagal menjelaskan banyak hal.
Sebenarnya ketidakpuasan ini bukan sekadar soal BBM atau pemilu semata, tetapi tentang akumulasi kekecewaan yang tidak mendapat respons yang memadai dari penguasa. Ketika kritik dijawab dengan serangan balik, dan protes dihadapi dengan represi, maka hanya ada satu konsekuensi logis: semakin banyak orang yang percaya bahwa negara ini sedang menuju kegelapan.
Apakah Indonesia benar-benar gelap? Jawabannya subjektif, bergantung pada perspektif masing-masing. Bagi mereka yang menikmati fasilitas kekuasaan, Indonesia masih cerah terang-benderang dengan peluang ekonomi dan investasi. Namun, bagi masyarakat yang menghadapi harga BBM yang terus naik, dihimpit kebijakan yang hanya menguntungkan elite, digencet aparat yang korup, gelap bukan lagi sekadar metafora, tetapi benar-benar nyata memang terlihat gelap. Suram.
Ada satu pernyataan dari petinggi negara sekaligus Penasihat Presiden: “Bukan Indonesia yang gelap, tapi kau yang gelap.” Pernyataan ini justru memperkuat kenyataan bahwa, betul memang rakyatlah yang gelap, masyarakat memang merasa sedang berada dalam kegelapan. Alih-alih meredam keresahan, pernyataan ini justru semakin menegaskan bahwa memang ada jarak besar antara perspektif elite dan realitas yang dirasakan rakyat.
Yang jelas, tagar #IndonesiaGelap bukan sekadar keluhan di media sosial. Ia adalah alarm peringatan bahwa kepercayaan publik sedang berada di titik kritis. Pemerintah sebaiknya tidak sekadar membantah atau menepis keresahan rakyat ini dengan kata-kata tajam. Justru, yang dibutuhkan adalah ruang berekspresi bagi mahasiswa dan masyarakat, karena ini adalah bentuk kepedulian mereka terhadap negeri ini.
Mahasiswa tidak sekadar turun ke jalan demi kepentingan pribadi, mereka sedang belajar mengurus negara sesuai panggilan nuraninya. Dan tugas pemerintah bukanlah membungkam, melainkan memberi ruang, sembari terus berbenah diri. Di tengah gelombang kritik, tentu ada juga kebijakan yang dapat dilihat sebagai niat baik. Salah satunya adalah keterlibatan pemerintah dalam penyelamatan PT Sritex, perusahaan tekstil besar yang mengalami krisis finansial.
Upaya ini memang menunjukkan perhatian pemerintah terhadap industri nasional dan lapangan kerja ribuan buruh. Jika ditangani dengan transparan dan profesional, langkah ini bisa menjadi sinyal harapan bahwa pemerintah masih memiliki kepedulian terhadap sektor industri dan pekerja. Namun, jika modus penyelamatannya tidak disertai dengan reformasi tata kelola perusahaan, kembali lagi, upaya ini bisa saja hanya menyelamatkan segelintir elite bisnis. Gelap lagi, para pambaca yang budiman.
Menyalakan Harapan
Adanya tagar #IndonesiaGelap menunjukkan bahwa Indonesia sedang menghadapi lagi ujian kepercayaan yang serius. Namun, di tengah kegelapan, tentu harus ada semangat untuk menyalakan kembali cahaya. Harapan masih ada jika pemerintah mau lebih transparan, lebih akuntabel, dan lebih terbuka terhadap kritik.
Reformasi birokrasi yang serius, penegakan hukum tanpa tebang pilih, disertai keterbukaan terhadap aspirasi masyarakat, itulah kunci mengembalikan kepercayaan publik. Bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, peran sebagai pengawas demokrasi tetap harus terus dijaga. Kritik yang tajam, protes yang konstruktif, dan keterlibatan aktif dalam proses demokrasi adalah bagian dari solusi.
Jika Indonesia terlihat gelap, ya emang tugas kita bersama untuk menemukan cara, apapun itu, untuk menyalakan kembali cahaya bagi Indonesia tercinta. Sembari mendengar lagi alunan lagu Iwan Fals, masih soal tikus:
Kisah usang tikus-tikus kantor
Yang suka berenang di sungai yang kotor
Kisah usang tikus-tikus berdasi
Yang suka ingkar janji, lalu sembunyi
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI