LELAKI tua berjubah putih yang pertama menatapku tajam. Sorot matanya seolah memintaku membaca lembaran-lembaran kertas yang dibawanya. Sebelumnya aku hanya terdiam membisu, seperti terhipnotis. Kemudian kuberanikan maju menuju arahnya. Diletakkannya lembaran itu di atas batu yang mirip sabak, di samping batu penanda. Telunjuk tangannya mengisyaratkanku untuk duduk di depan batu datar itu. Langkahku terhenti. Lelaki berjubah putih yang kedua menepuk pundakku. Lelaki itu berjalan memutar mengelilingiku. Tanpa sepatah kata pun terucap. Setelah tiga kali mengelilingiku, kuperhatikan tangan kanannya membuat gerakan memutar tepat di depan dadaku. Gerakan itu diulang-ulang seperti gerakan ruqyah pada umumnya. Gerakan berikutnya seperti menarik telapak tangannya menjauh-mendekat dari dadaku. Kuhitung kurang lebih tujuh kali diulang.
Lelaki berjubah putih yang kedua mempersilahkanku melangkah menuju lelaki berjubah putih yang pertama. Kemudian aku duduk, bersiap membaca lembaran yang ditunjukkan. Suasana kembali hening, lelaki itu menyuruhku mulai membaca. Tetapi aku tidak bisa membacanya. Akhirnya lelaki itu membacakannya untukku. Baris terakhir yang kudengar diulangnya tiga kali.
Dibisikkan lirih ke telinga kananku, “Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi rapuh.”
Dan aku terguncang.
***
Demikian sebuah penggalan cerita pendek yang berjudul “Dua Lelaki Berserban Putih dan Seekor Naga”, cerpen yang saya tulis dan terbit di Kaltim Post (15/10/2023). Cerpen tersebut menarasikan mimpi yang dialami seorang remaja bernama Jagatsena. Di dalam mimpinya, ia bertemu dengan dua lelaki berserban putih yang misterius di sebuah cungkup tua yang terkesan wingit, sepi, dan bahkan sakral. Sesaat setelah bangun dari tidurnya, ia bercerita tentang mimpinya itu kepada pamannya, Rahman atau sering disebut Paman Berjanggut dan Mbah Karto, pemilik warung wedangan. Dalam obrolan itu, Paman Berjanggut dan Mbah Karto menafsirkan simbol atas ritual-ritual yang dilakukan dua lelaki berserban putih kepada Jagatsena. Mereka mengkaitkan segala hal yang dialaminya dalam mimpi dengan tetirah yang sering dilakukannya di komplek pemakaman Mangkunegara I. Ia selalu membaca surat Yasin dan tahlil saat berziarah, hal ini ia lakukan terus-menerus setiap tujuh kali malam Jumat.
Mereka berdua mencoba menafsirkan mimpi Jagatsena dengan seksama. Di dalam tafsirnya, mereka menyampaikan bahwa sebuah perjalanan untuk membersihkan dan memurnikan jiwa diperlukan pembimbing batin. Seorang pemula belum atau sama sekali tidak memiliki keserasian dengan Allah swt. dan Rasullullah, sehingga tidak bisa tidak, ia harus mempunyai seorang pembimbing. Karena pembimbing mempunyai kesetaraan dengan pemula dari sisi kemanusiaannya, sebagaimana dua lelaki berserban putih yang ada di dalam mimpi itu ditafsirkan sebagai pembimbing batin. Keduanya mengajarkan ritual membersihkan batin dari keduniawian yang menghijab dan menundukkan keakuan dari tuhan-tuhan ego yang selama ini disembah.
Pemula bisa meraih pemahaman itu melalui latihan rohani yang bisa mengalahkan nafsu yang menjadi sumber kegelapan. Karena pemahaman hanya dapat dicapai dengan cahaya, bukan kegelapan. Jalan menuju cahaya hanya bisa ditempuh dengan dibukakannya pengetahuan hakikat kebenaran sejati. Cahaya tidak mungkin datang ke suatu tempat, kecuali tempat itu memang dekat dan berpendar. Itulah sebabnya seorang pemula belum memiliki keselarasan dengan cahaya itu. Bisa jadi mimpi adalah pendar cahaya yang Allah swt. kirimkan ke seseorang yang hati, jiwa, dan pikirannya tenggelam di lautan keheningan terdalam. Dan sesungguhnya di balik semua itu terdapat rahasia besar yang hanya diketahui seorang ahli hikmah.
Umar Khayyam (1048-1131 M) adalah salah satu di antara ahli hikmah. Nama lengkapnya adalah Ghiyats ad-Din Abulfatah ‘Umar bin Ibrahim Khayyami an-Naisaburi. Ia mencapai pengetahuan metafisiknya dengan cara mempelajari hikmah dari berbagai sumber pada masanya dan mewariskan metode ilmiah dan sastra yang berpengaruh besar di dunia, sehingga diberi julukan “Hujjatul Haq” (pembela kebenaran). Ia sejatinya adalah seorang penyair besar dan ilmuwan muslim yang menguasai matematika, filsafat, dan astronomi.
Di dalam kata pengantar buku “Kitab Tafsir Mimpi” yang merupakan terjemahan dari kitab Ta’bir al-Manam, DR. Abdul Mun’im al-Hifni, seorang penulis dan akademisi Mesir yang bergelar doktor dalam bidang filsafat, dan sekaligus penyalin kitab tersebut, menuliskan pandangan Umar Khayyam tentang mimpi. Mimpi merupakan perekam kepribadian seseorang , sehingga tafsir mimpi bisa digunakan sebagai alat untuk menyingkap kepribadian tersebut. Jadi mimpi bisa dijadikan alat penelitian diri manusia lebih mendalam.
Dengan perhatian besarnya pada bahasa mimpi, maka tidak mengherankan jika ia selalu berbicara menggunakan simbol-simbol dalam tafsir mimpinya. Umar Khayyam merupakan salah satu ilmuwan di masa itu yang selalu melihat mimpi sebagain penegasan keberadaan ruh, karena mimpi tidak akan terjadi, kecuali saat seseorang sedang tidur. Saat kesadaran seseorang nyaris hilang sama sekali, jiwanya mengembara ke luasnya alam semesta – alam non fisik, tempat ruh-ruh menyampaikan rahasia sesuatu yang berada dalam kegaiban. Berdasarkan hal itu, Umar Khayyam menyatakan dalam syairnya:
Sebelum pasukan gelap terkalahkan
Suara gaib panggil para penyesal yang tidur
Wahai orang-orang lalai lekaslah bangun!
Reguk lalu ucapkan perpisahan pada hari-hari
Jika filsafat adalah ilmu yang mendeskripsikan sebuah jawaban tentang begitu banyak alasan, tujuan, dan maksud sebuah penciptaan, studi tentang mimpi adalah bagian dari ilmu-ilmu hikmah yang berkelindan dengan temuan tentang hakikat sesuatu. Sisi terpenting dari kitab Ta’bir al-Manam adalah perhatian besar Umar Khayyam pada hal-hal gaib, khususnya tentang kematian. Tidur menurutnya adalah “kematian kedua”. Hal ini mempunyai makna yang penting dalam hidup seseorang jika digali dengan benar. Pemikirannya mengeksplorasi jiwa manusia dengan merujuk pada mimpi-mimpinya dan menjelajahi kehidupan batinnya untuk lebih memahami perilaku, ketuhanan, tujuan hidup, dan hal yang terkait dengan akhirat. Pemikiran-pemikiran itu merupakan kajiannya pada sisi tersembunyi batiniah.
Pembahasan-pembahasan di atas merujuk pada mimpi yang dialami seseorang saat sedang tidur, seseorang yang hidup di alam mimpi, bukan di alam kehidupan dunia. Itulah kondisi kematian kecil. Sebagian filsuf mengatakan bahwa orang tidur sama sekali berbeda dari orang terjaga. Orang yang tidur terhubung dengan alam semesta, sedangkan orang yang terjaga terhubung dengan dunia ini. Lalu apakah ada definisi mengenai mimpi dan tafsirnya bagi seseorang yang terjaga? Yaitu saat seseorang merasakan dimensi waktu di mana ia berada dan dimensi waktu yang berjalan di sekitarnya. Waktu seseorang berada adalah waktu biologis, sedangkan waktu yang berjalan di dekatnya adalah waktu geografis. Ia merasakan dimensi tempat di berada.
Kita tentu mencermati tagar yang paling viral di berbagai media pada sebulan terakhir ini. #KaburAjaDulu. Ya, sebuah tagar yang bisa merepresentasikan sebuah mimpi yang ditafsirkan sebagai simbol keputusasaan warga atas kondisi ideal sosial, ekonomi, dan hukum di sekitarnya. Mimpi-mimpi itu seolah kabur begitu saja di tengah ketidakpedulian kaum elit politik terhadap kesulitan warga negara. Mereka sibuk tawar-menawar dan berbagi peran di dalam kekuasaan. Lagi-lagi ini adalah tentang harta dengan segala bentuk manifestasinya.
Seperti yang disampaikan oleh Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia di Kompas (22/2/2025), dengan kondisi itulah sebagian warga negara – lebih tepatnya kelas menengah yang bangkit kesadaran dan kepercayaan dirinya di lingkungan global. Kelas menengah ini juga mempunyai keyakinan mampu berprestasi dengan standar internasional dan bisa memperoleh kesetaraan dalam hal kesejahteraan seperti teman-teman seprofesinya di negara-negara lain. Adapun tafsir lain atas #KaburAjaDulu adalah keberhasilan pendidikan yang diimpikan oleh warga negara tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan negara terhadap warga negaranya.
Mungkin mimpi-mimpinya itu bisa diwujudkan dengan berpindah negara, berganti kewarganegaraan. Meskipun bekerja ke negara lain tidak mudah dalam hal finansial, birokratis ataupun kultural. Jika mayorita kelas menengah tidak kabur, mungkin karena kondisi mereka yang tidak sejelek yang dialami kaum jelata. Jika tidak kabur dari negaranya, mereka bisa pasrah pada kondisi, atau berjuang memperbaiki kondisi itu. Jika dipaksa keadaan, manusia sering memperlihatkan kemampuan luar biasa untuk mengatasi masalahnya. Benarkah negara memperhatikan segala bakat, dedikasi, dan segala kebutuhan untuk mewujudkan mimpi tersebut? Kita tentu akan menafsirkannya sesuai dengan perspektif masing-masing. Mimpi aja dulu tafsir kemudian. [T]
Penulis: Chris Triwarseno
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisCHRIS TRIWARSENO