“Kita tidak hanya menampilkan artefak, tetapi juga ingin menghadirkan museum sebagai ruang edukasi, literasi, rekreasi, ruang publik, dan bahkan pusat seni,” begitulah Fadli Zon (Menteri Kebudayaan RI) menyerukannya.
Kini, Gedong Arca telah resmi beralih status menjadi Museum Sarkofagus. Peralihan tersebut ditandai dengan acara peresmian dan aktivasi museum sarkofagus, yang dilaksanakan di wantilan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Gianyar, Bali. Kamis, (27/2).
Jika menilik ke belakang lagi, museum Gedong Arca pada mulanya didirikan dengan tujuan menyelamatkan, memamerkan, ataupun memajang benda-benda cagar budaya dari hasil kegiatan pelestarian di lapangan, yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3, sekarang BPK).
Pembangunannya dirintis pada tahun 1958-1959, yang diprakarsai oleh Dr. R.P Soejono (saat itu menjabat Kepala Kantor Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Cabang II Gianyar). Sebagai awal realisasi pendirian museum ini, mula-mula didirikan beberapa bangunan dengan atap ijuk yang terletak di halaman dalam. Bangunan ini dipergunakan untuk menyimpan benda-benda hasil penyelamatan di lapangan, seperti beberapa sarkofagus.
Sebetulnya tak ada hal yang istimewa dari peralihan status tersebut, fungsinya tetap sama saja, yaitu sebagai tempat penyimpanan dan memamerkan benda-benda prasejarah. Tetapi, dengan dinamakan Museum Sarkofagus, menjadikannya lebih terfokus pada satu benda prasejarah yang memang mendominasi tempat itu. Dan kini, Museum Sarkofagus dikemas menjadi lebih fresh, lebih terbuka, dan tentunya relevan dengan perkembangan zaman.
Museum Sarkofagus kini dirancang lebih imersif dan edukatif. Dalam pengembangannya juga turut melibatkan digitalisasi dan penggunaan multimedia interaktif, yang bekerja sama dengan Universitas Udayana dan Asosiasi Museum Indonesia (AMI).

Beberapa koleksi sarkofagus di Museum Sarkofagus Gianyar, Bali | Foto: tatkala.co/Dede
Museum Sarkofagus di Gianyar, Bali menampilkan 33 koleksi sarkofagus yang berasal dari berbagai daerah di Bali, yang pertama kali dikumpulkan oleh arkeolog senior Indonesia R.P. Soejono sejak tahun 1958. Museum ini menjadi peninggalan penting untuk memahami lebih dalam tentang keyakinan, norma, dan struktur masyarakat prasejarah.
Wikipedia menulis, sarkofagus adalah sebuah wadah pemakaman yang umumnya terbuat dari batu dan terletak di atas tanah, meskipun mungkin juga dikubur di bawah tanah. Kata sarkofagus berasal dari bahasa Yunani ‘sarx’ yang berarti ‘daging’ dan ‘fagein’ berarti ‘makan’, maka ‘sarkofagus’ kurang lebih berarti ‘pemakan daging’, dari frasa lithos sarkofagos, ‘batu pemakan daging’. Kata tersebut juga merujuk pada jenis batu kapur tertentu yang dianggap mempercepat penguraian daging (mayat) yang terkandung di dalamnya, karena sifat kimia batu kapur itu sendiri.
“Jika menyebut Gedong Arca, ya menurut saya Bali ini adalah gedong arca. Karena di setiap tempat di Bali pasti menyimpan arca-arca, semua tempat ada arcanya. Tetapi, yang unik dari tempat ini adalah sarkofagus. Jadi saya kira memang keunikan itu yang perlu kita tonjolkan supaya ada fokusnya,” ucap Fadli Zon dalam sambutannya.
Fadli Zon juga mengatakan, museum sarkofagus ini akan menjadi tempat yang mumpuni sebagai ruang edukasi, literasi, rekreasi, ruang publik, dan ruang bekreativitas dalam kesenian. Selain itu, dengan adanya museum sarkofagus ini, akan memberikan suatu kesadaran bagi masyarakat seberapa pentingnya menjaga aset peninggalan masa lampau sebagai bahan kajian dan pembelajaran bagi generasi mendatang.
“Peresmian dan aktivasi ini menjadi langkah besar dalam pelestarian dan penguatan kajian warisan megalitik, menegaskan kembali narasi Indonesia sebagai salah satu pusat peradaban tertua di dunia,” tegasnya.

Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon melihat koleksi sarkofagus di Museum Sarkofagus, Gianyar, Bali | Foto: tatkala.co/Dede
Dalam sambutannya, Fadli Zon juga mengungkapkan keberadaan sarkofagus dalam berbagai kebudayaan, mulai dari Mesir Kuno, Yunani, dan Romawi. Sarkofagus digunakan sebagai bagian dari kepercayaan terhadap transisi ke kehidupan berikutnya. Dalam berbagai kepercayaan, kematian bukanlah sebuah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru.
Menurutnya, sarkofagus yang ditemukan di Bali ini lebih primitif sehingga bisa jadi lebih tua, dengan berbagai motif ukiran yang masih menjadi misteri. “Selanjutnya, kita akan dorong kajian dan penelitian lanjutan terhadap temuan-temuan ini, untuk mengungkap lebih banyak informasi dan tata hidup masyarakat prasejarah,” ujarnya.
Selain peresmian dan aktivasi museum, kegiatan ini juga terdapat simulasi penggunaan informasi multimedia interaktif, yang akan dikembangkan lebih lanjut untuk kepentingan dan keberlangsungan museum. Dengan adanya media tersebut, pengunjung dapat mengetahui informasi ataupun data-data dari benda prasejarah yang ada di museum tersebut.


Simulasi Penggunaan Informasi Multimedia Interaktif | Foto: tatkala.co/Dede
I Gusti Agung Gede Artanegara selaku Plt. Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV mengatakan, aktivasi museum ini bukan hanya sekadar membuka kembali ruang pamer, tetapi juga menghidupkan kembali narasi yang telah lama tersimpan.
“Upaya ini tentu belum sempurna, tantangan besar yang kita hadapi adalah rendahnya kesadaran akan pentingnya keberadaan sarkofagus dan sejarahnya, terutama di kalangan masyarakat Bali. Selain itu, keberadaan museum seringkali belum menjadi destinasi utama bagi wisatawan,” keluhnya.
“Ke depan, kami berkomitmen untuk menyusun ulang narasi museum agar lebih relevan dan dekat dengan masyarakat. Kemudian, kami juga telah mengembangkan teknologi digital interaktif untuk menghadirkan pengalaman edukatif bagi para pengunjung museum, yang bekerja sama dengan berbagai institusi termasuk Universitas Udayana dalam hal pengembangan multimedia interaktif dan Asosiasi Museum Indonesia (AMI),” tandas Artanegara. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole