“KEMARIN aku baru saja mendampingi petani di Mander untuk menuntut hak-haknya, Jas,” ujarnya kepada saya sesaat setelah ia mengisap dalam-dalam rokok putihan yang terselip di jarinya. Siang itu kami nongkrong di warung ala kafe di pinggiran tambang pabrik semen di perbatasan Sumberarum, Kerek. Saya datang telat. “Kasus dugaan penggelapan pupuk subsidi,” sambungnya, dengan gayanya yang khas, blak-blakan—seingat saya tak berubah dari dulu.
Kami seumuran, memang, tapi soal jam terbang di dunia profesional dan keberanian, jelas saya tertinggal jauh darinya. Bukan saja karena dia sudah menikah—dia sudah memiliki keluarga kecilnya sendiri—tapi juga soal idealisme, keberpihakannya terhadap kaum mustadh’afin (kelompok orang yang lemah, tertindas) yang ia lakukan tanpa pamrih, membuat pemuda tanggung macam saya ini semakin tahu diri. Banyak omong (tanpa aksi) soal penindasan, ketidakadilan di depannya sama saja dengan menggarami lautan. Ahmad Imam Santoso, namanya, teman saya semasa SMA, kini telah menjelma menjadi pengacara muda pembela orang-orang terpinggirkan—walaupun ia tak mau dianggap si paling idealis.
Pengacara adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jasa advokat berupa konsultasi, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (jasa hukum). Dan Imam paham betul soal ini.
“Itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawabku sebagai pengacara [manusia],” Imam menegaskan bahwa apa yang ia lakukan merupakan sebuah kewajiban profesi, tak lebih. Meski saya menganggap dia berkata seperti itu supaya tidak dianggap sebagai aksi heroik (kepahlawanan) yang perlu diglorifikasi.
Tetapi, mendengar perkataannya mengingatkan saya pada guru kemanusiaan terbesar abad ini, Abdul Sattar Edhi, saat mengenang langkah-langkah awalnya membuka toko obat kecil di samping rumahnya di Pakistan, yang menawarkan obat-obatan sederhana, berapa pun bayarannya. Edhi berkata, “Saya kira itu kewajiban saya sebagai manusia. Saya dapat pastikan bahwa pemerintahan kami [Pakistan] tidak akan mengurusi layanan-layanan sosial seperti itu.”
Imam lahir di Tuban, 7 Juli 1996. Ia belajar ilmu hukum konsentrasi hukum ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan melanjutkan magister hukum ekonomi di Universitas Indonesia. Ia menyelesaikan studi S1-nya pada tahun 2019 dan S2 tahun 2022 dengan nilai yang baik.

Imam Santoso dengan gaya nyentriknya | Foto: Dok. Imam
Saya tahu betul, Imam merupakan tipikal pemuda yang lahap membaca buku dan berdiskusi. Dan saya memang nyaman ngobrol dengan mereka yang memiliki minat membaca yang tinggi—dan mereka hampir semuanya mempunyai kelebihan di atas rata-rata; lebih bijak, wawasan luas, toleransi tinggi, kaya diksi, dan tentu memiliki persediaan rokok dan bubuk kopi melimpah.
Selama menambang ilmu di Jakarta, Imam aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciputat dan sering duduk melingkar bersama intelektual-intelektual pilih tanding di lingkungan UIN. Sebut saja sosok intelektual semacam Fahmi Muhammad Ahmadi, misalnya. “Dia mentor saya,” ujar Imam. Dari dunia bacaan, Imam bahkan terinspirasi dari kisah Raskolnikov—sosok rekaan penulis Rusia, Fyodor Dostoyevsky, dalam novel Kejahatan dan Hukuman.
Awal mula berkiprah menjadi pengacara di Tuban, yang notabene, katakanlah, “organik”—tanpa adanya relasi, mentor, dan modal pendukung lainnya—ia mengaku berjuang cukup keras untuk bisa beradaptasi dengan dunia per-advokat-an di Tuban. “Aku berangkat dari nol, Jas. Modalku hanya pengetahuan dan keberanian—pun mental yang kuat,” akunya, percaya diri.
Imam tak takut apa pun selama ia bekerja sesuai dengan prosedur yang benar. Sebagai seorang pengacara yang lahir dari rahim intelektual, jelas, segala tindakan-keputusan yang ia tempuh-ambil selalu berdasar pada prosedur-aturan hukum yang berlaku. Bahkan, pada banyak kasus ia pernah dicap sebagai pengacara yang terlalu prosedural.
“Itu prinsipku. Aku bekerja sesuai aturan hukum; aku tidak bisa—dan tidak mau—disetir oleh siapa pun,” tegasnya. Ia mengatakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh.
Namun, meski bekerja sesuai prosedur, dalam situasi tertentu, ia tetap menggunakan nurani. Di situlah kadang ia merasa dilema. Di satu sisi ingin mengungkap kebenaran—dan memperjuangkannya; tapi di sisi lain tak jarang nuraninya mengarahkannya pada permakluman-permakluman. Tetapi, bukankah di situlah letak manusiawinya?
Imam, tentu saja, bukan seorang suci atau nabi atau pahlawan yang berdiri pada satu posisi, lalu fight secara total—seperti seniornya, Munir. Ia memilih menjadi manusia biasa, seperti kata budayawan Prie GS, “Kepada kita tak dibebankan kualitas seorang suci”, maka “mari kembali pada kewajaran hidup”. Dan dalam kasus tertentu, Imam melakukannya. Ia memilih menjadi pribadi “sehari-hari”.

Imam Santoso saat mendampingi petani di Desa Mander | Foto: Dok. Imam
Sampai di sini, kita tahu, selain banyak mengandung risiko, profesi advokat juga dekat dengan godaan yang menggoyahkan. Jual beli pasal (konstitusi), suap-menyuap, sogok-menyogok, manipulasi, konspirasi, bias kepentingan, dll, adalah keniscayaan yang harus Imam hadapi. Tak jarang ia dihadapkan dengan tawaran-tawaran menggiurkan. Tapi Imam tak meresponnya. Ia tak pernah mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Ini prinsip yang langka di dunia yang semakin materialistik.
“Kaya itu ada waktunya, Jas—itu given,” katanya, bijak, seperti nasihat seorang santo kepada murid-muridnya. Oh, dalam namanya memang mengandung kata “santo”.
Pada era 50an-70an, hidup seorang advokat yang memiliki predikat sebagai minoritas tiga lapis: seorang Cina, seorang Kristen, dan seorang yang jujur sekaligus berani di Indonesia. Namanya Yap Thiam Hien (1913-1989), pengacara yang membenci penindasan dan kesewenang-wenangan. Meskipun keteguhan hati Yap adalah hal yang sulit diimitasi, tetap saja seorang advokat harus berusaha menunjukkan ketegasannya dalam memperjuangkan kebenaran, bahkan ketika berhadapan dengan oposisi besar dan risiko pribadi yang tinggi sekalipun. Dan Imam tahu itu.
Menjadi Pengacara Rakyat
Pada 2024, Imam resmi mendirikan lembaga bantuan hukum advokasi-nya sendiri di Tuban. Namanya Lembaga Bantuan Hukum Advokasi Bintang Kejora. Dengan LBH ini, sudah banyak warga rentan yang ia bantu.
“Aku membuat LBH ini untuk membantu para petani, orang-orang kecil yang diperlakukan semena-menena di depan hukum dan aparat, dan orang-orang ‘lemah’ lainnya—dan semua itu gratis,” Imam menegaskan garis perjuangannya. Untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarga kecilnya di pelosok desa di Kecamatan Kerek sana, Imam dapat dari sebuah firma hukum di Jakarta—hasil dari pendampingan kasus-kasus besar macam pailit, dll. “Aku punya bos di Jakarta,” katanya, enteng saja.
Saya percaya ia tidak sedang membual. Ceritanya soal ketidakadilan jatah pupuk subsidi petani di Desa Mander, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban, kemarin, misalnya, jelas bukan omong kosong.
Ia bercerita, di Mander ada seorang petani yang bertahun-tahun tak mendapat pupuk subsidi—yang sudah menjadi haknya. Maka melaporlah petani tersebut ke rumahnya. (Mengingat, profesinya sebagai “pengacara gratisan” (pro bono) telah menyebar ke seantero Tuban, khususnya di kawasan tempat tinggalnya di Desa Gemulung, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban.)
Sebagai pengacara muda, mendapat laporan semacam itu membuatnya terpacu, segera ia menawarkan diri untuk mendampingi kasus tersebut. Bersama petani itu, menggugatlah ia ke polisi atas tuduhan penggelapan pupuk subsidi.
Syahdan, polemik petani versus kios pupuk subdisi di Mander mencuat ke publik. Banyak media memberitakannya. Distributor pupuk subsidi dari Surabaya sampai turun tangan. Bahkan, pada Selasa (18/2/2025) siang, distributor itu menggelar mediasi di Balai Desa Mander yang dihadiri Forkompimcam, PPL/pendamping desa, dan perwakilan petani setempat. Pada ending cerita, sebagai pengacara, ia puas sebab petani yang didampinginnya kembali mendapat haknya. “Korupsi, pungli, ada di mana-mana. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di desa-desa di sekitar kita,” ujar Imam kemudian.
Ya, kita tahu, masalah Indonesia, termasuk dunia peradilan, sudah terlalu berurat akar. Ibarat kanker, sel-sel perusaknya sudah menjalar hingga ke setiap inci organ tubuh. Parahnya, banyak sinyalmen dalam masyarakat tentang dunia peradilan yang telah terjerat oleh jaringan penyimpangan dan manipulasi hukum yang terorganisasi—memimjam bahasa Nurcholis Madjid—“semacam organized crime”. Sehingga, seolah-olah, negara hukum (rechtsstaat) yang dicita-citakan para pendiri negara berubah menjadi negara kekuasaan (machtsstaat).
Siang itu, Imam tak hanya bercerita soal petani Mander. Ia juga mengisahkan kepada saya kasus tukang becak di Desa Sumurgung, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, yang diperlakukan semena-mena oleh polisi. Kisahnya, tukang becak itu tertangkap basah sedang mencuri besi penutup drainase milik Pemkab Tuban. Ia benar mencuri, memang, tapi hanya tiga besi. Sedangkan oknum polisi memaksanya mengakui pencurian besi yang jumlahnya ratusan. Imam pasang badan, membela tukang becak yang menjadi korban kebrutalan aparat. Sebuah ironi di Dunia Ketiga.
“Dia memang salah karena mencuri. Tapi dia tetap tak bisa dihukum melebihi apa yang ia perbuat,” Imam menjelaskan. Saya seperti mendapat penyuluhan peradilan. Dan saya paham, Imam membela tersangka, atau pencuri seperti ini, tidak berarti dia membela perbuatannya, tapi ikut dalam proses mengadili seseorang secara fair.
Pertengahan 2024, Imam mengajukan gugatan atas pengangkatan Kasatreskrim Polres Tuban. Ia menganggap pengangkatan tersebut tidak sah menurut hukum, sehingga segala kebijakan administratif, keuangan, dan tata kerja yang dilakukan oleh Kasatreskrim Polres Tuban dianggap batal. Tapi saya tak bertanya lebih dalam mengenai hal ini.
Mendengar cerita Imam yang heroik, mengingatkan saya pada tokoh dalam film-film Tamil di India Selatan. Dalam Jai Bhim (2021) karya T. J. Gnanavel, misalnya, Anda akan melihat bagaimana advokat macam Chandru adalah sosok idaman di tengah ketidakberdayaan rakyat kecil di depan hukum dan aparat. Sebagaimana Chandru, Imam tak merasa takut melawan ketidakadilan, kekerasan negara, bias kasta (kaya-miskin), dan kebrutalan polisi. Tak banyak advokat seperti Imam di Tuban, apalagi yang memilih hidup di desa terpencil seperti Gemulung.
Imam adalah angry young man (muda, menggambarkan perjuangan kelas/masyarakat tertindas) dalam film India tahun ‘70-an hingga pertengahan ‘90-an. Dia pemuda yang “muak” dengan ketidakbecusan birokrasi—dari tingkat desa sampai pusat—dan aparat-penegak hukum dalam menjalankan tanggung jawabnya. Dan ia merasa perlu menemani, menjadi pendamping—bahkan Sinterklas bagi petani di Mader dan tukang becak di Sumurgung yang kecil—rakyat akar rumput (kelompok yang rentan) sebagaimana yang pernah dilakukan para pendahulunya (advokat-advokat rakyat Indonesia yang tercatat dalam sejarah). Jika agak berlebihan, Imam bisa kita sebut sebagai “penyambung lidah rakyat”.
Bantuan Hukum Adalah Hak
Apa yang dilakukan Imam jelas memiliki kedudukan penting dalam setiap peradilan. Secara umum dapat dikatakan bahwa bantuan hukum—seperti yang dilakukan Imam—mempunyai tujuan yang terarah pada bermacam-macam kategori sosial, yaitu (1) menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan; (2) mewujudkan hak konstitusional setiap warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di mata hukum; (3) menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata; dan (4) mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Imam Santoso berada di tengah-tengah forum mediasi kasus dugaan penggelapan pupuk bersubsidi di Desa Mander | Foto: Dok. Imam
Pemberian bantuan hukum sudah seharusnya diberikan kepada semua orang tanpa membedakan status sosialnya. Hal tersebut adalah keniscayaan negara hukum (rechtsstaat) di mana negara mengakui dan melindungi hak asasi setiap individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”—walaupun pada kenyataannya masih banyak warga akar rumput (petani, nelayan, buruh) yang kelojotan setiap kali berurusan dengan hukum. Sampai istilah “hukum tajam ke bawah tumpul ke atas” sudah menjadi hal yang biasa.
Selama ini, kaum miskin selalu kesulitan mengakses keadilan (access to justice), terutama bagi mereka yang sedang berhadapan atau bermasalah dengan hukum. Padahal, sebagaimana telah disampaikan di atas, setiap orang berhak mendapatkan keadilan, tak peduli dia kaya atau miskin. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Secara umum, bantuan hukum bisa diartikan sebagai pemberian jasa hukum kepada orang yang tidak mampu, biasanya diukur secara ekonomi. Ini juga bisa diartikan, penyediaan bantuan pendanaan bagi orang yang tidak mampu membayar biaya proses hukum. Karena bantuan hukum itu melekat sebagai sebuah hak, maka ada dua esensi dari bantuan hukum, yakni rights to legal representation dan access to justice.
The rights to legal representation bermakna hak seseorang untuk diwakili atau didampingi oleh advokat selama peradilan. Access to justice berdimensi lebih luas lagi, tidak hanya diartikan sebagai pemenuhan akses seseorang terhadap pengadilan atau legal representation, pun harus memberikan jaminan bahwa hukum dan hasil akhirnya layak—dan berkeadilan.
Mengenai access to justice di Indonesia, nama Adnan Buyung Nasution adalah legenda. Pikiran-pikiran dan penghormatannya terhadap hak asasi manusia, khususnya bagi fakir miskin dan orang tidak berdaya, selalu konsisten. Buyung Nasution pernah menyatakan bahwa keadilan erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Dan keadilan itu hanya bisa diperoleh jika ada fair trial, yaitu hak untuk diadili oleh pengadilan yang kompeten, jujur, dan terbuka. Namun, kenyataanya, fair trial di Indonesia masih jauh panggang dari api, belum sepenuhnya bisa dijalankan, khususnya bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan terpinggirkan.
Sampai di sini, sebagai lembaga bantuan hukum advokasi, Bintang Kejora yang didirikan Imam jelas bukan sekadar untuk kepentingan social self. Lebih dari itu, sebagaimana pikiran Adnan Buyung Nasution, bahwa bantuan hukum tak lagi sekadar amal atau charity, melainkan tanggung jawab moral orang-orang yang mengerti hukum dan mesti diberikan sebaik-baiknya kepada setiap warga negara, terutama masyarakat miskin dan tak mampu—mereka yang jadi korban dari kepentingan ekonomi, sosial, politik, serta mereka yang hak asasinya direbut.
Ya, pada akhirnya, jika Anda di Tuban dan merasa tak mendapat keadilan sama sekali, telpon saja Imam! Bukan begitu, Mam?[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA