POHON ASAM JAWA itu dikenal sebagai pohon yang angker oleh penduduk sekitar. Tak seorang pun manusia yang nekad lewat di bawahnya pada tengah malam. Apalagi ketika malam purnama kedua belas sampai kelima belas. Konon ada yang pernah bilang kalau ada penjual bakso keliling, Pak Paijo namanya. Malam itu, Pak Paijo baru mau pulang habis dari menjajakan dagangan baksonya. Tapi, pas lewat di bawah pohon itu, ia mendengar ada seseorang yang memanggilnya.
“Pak Jo, baksonya, Pak Jo!” suara seorang perempuan.
Pak Paijo yang malam itu dagangan baksonya masih tinggal separo pun berhenti karena ada orang yang mau membeli. Hati laki-laki paro baya itu girang tak kepalang. Paling tidak malam ini harus balik modal. Sebab akan banyak tagihan yang harus ia lunasi bulan ini. Lalu laki-laki itu menghentikan gerobak dorongnya tepat di bawah pohon tersebut. Tak lama setelah itu, ada seorang gadis yang sangat cuantik berbaju putih panjang sampai mata kaki dan rambutnya juga panjang. Gadis itu menghampiri Pak Paijo sambil membawa mangkuk beling. Tanpa merasa curiga, pedagang bakso itu melayani gadis itu. Padahal kondisi jalan kampung malam itu sepi sekali. Tak ada seorang pun penarik becak yang standby di dekat simpang jalan tersebut.
“Wangi banget, Mbak,” ramah Pak Paijo mengajak gadis itu ngobrol untuk menikam sepi.
“Iya, Pak, baru pulang dari pesta pernikahan,” jawab itu gadis ramah pula.
Pak Paijo yang habis meletakkan cilok daging, siomay goreng, mi bulat, saus, kecap asin dan sayur seledri di mangkuk, lantas menuangkan kuah kaldu yang diambil dari dandang besar yang menguapkan asap.
“Dari tadi saya sudah menunggu Pak Jo lewat. Saya mencoba menunggu tukang bakso yang lain, tapi nggak ada yang lewat sini.”
“Mereka lewatnya muter, Mbak.”
“Oh ya? Kenapa, Pak?”
“Katanya mereka habis diganggu sama Kuntilanak yang nungguin pohon ini,” jawab Pak Jo.
“Benarkah? Mana ada kuntilanak di sini, Pak. Buktinya saya sama sekali nggak takut keluar rumah sendirian ke sini.”
“Oh iya, kayaknya saya baru pertama kali melihat mbak. Mbak warga baru ya? Tapi kok kenal sama saya?”
“Saya sudah lama tahu kalau Pak Jo jualan bakso keliling,” ujar gadis itu.
“Oh ya? Memangnya mbaknya tinggal di mana?” Pak Jo menyerahkan mangkuk pada gadis itu.
“Di sini.”
“Di mana?”
“Di atas pohon asam ini.”
“Berarti mbak kun… kuntil… kuntilanak!”
“Iya. Hihihihihihihi… Hihihihihihi.” Kuntilanak itu terkikik-kikik. Dan Pak Paijo yang melihat kuntilanak itu terbang ke atas pohon, langsung kabur terbirit-birit meninggalkan gerobak baksonya.
Sejak itulah kuntilanak penunggu pohon asam jawa itu terkenal sehingga membuat ‘rumah’nya menjadi angker dan tak ada seorang pun yang berani lewat.
Selain dihuni oleh sosok kuntilanak cantik, pohon tersebut juga dihuni oleh sosok pocong yang sering berdiri di tengah jalan. Kadang ia keluar pada jam-jam sekitar pukul dua dini hari. Adalah Mbah Supik manusia yang sering melihatnya. Pocong tersebut tidak loncat-loncat macam di film bioskop, atau ngesot melainkan terbang. Setelah terbang ia akan berdiri di tengah jalan untuk menakut-nakuti orang yang menuju pasar. Tapi sejak seringnya pocong meneror warga, jadi tukang becak yang mengantar penjual sayur atau buah ke pasar memilih jalan memutar.
Sejak pamornya naik daun sebagai pohon paling angker di kampung, pohon asam tersebut pun mengalahkan tempat-tempat paling keramat lainnya. Konon lagi, pohon tersebut memang angker dari dulu pada masa penjajahan Belanda. Penghuninya lagi, selain kedua penghuni di depan tadi juga ada Bujuk Parseh. Bujuk Parseh adalah sosok jin yang memiliki tubuh setinggi 20 meter dan bisa menyusut sampai sekecil batang korek api. Ia memiliki mata merah, berbulu lebat, sepasang tanduk, dan taring yang runcing. Ia sering muncul pas malam Jumat Legi. Dan untuk membujuk Bujuk Parseh tak mengamuk, kadang ada warga kampung yang meletakkan sesaji di bawah pohon tersebut.
“Apa ini?” kata Rido, anak Pak Paijo saat melihat aneka tujuh macam jenis jajanan pasar, nasi putih dan telur rebus serta kemenyan.
***
Malam harinya, Rido menjerit-jerit sambil kejang-kejang. Ayahnya, Pak Paijo dan istrinya tampak ketakutan disertai kepanikan melihat anaknya macam kerasukan setan. Oleh Pak RT, sebaiknya Rido dibawa ke rumahnya Mbah Sudadi.
“Saya yakin kalau Rido itu ketempelan Bujuk Parseh, Pak Jo,” ujar Pak RT berpendapat.
“Benarkah, Pak RT?” Pak Paijo agak ragu.
“Coba saja sampeyan bawa berobat ke rumahnya Mbah Sudadi. Siapa tahu benar ketempelan,” kata Pak RT lagi berspekulasi.
Mbah Sudadi atau orang-orang kampung sering memanggilnya Ki Sudadi adalah seorang dukun terkenal. Konon, dulu, ia pernah mendapat hadiah dari Bujuk Parseh berupa keris keramat seukuran jari telunjuk. Ia juga pernah mendapat batu akik kecubung hijau saat sedang tirakat dekat pohon asam itu. Pernah juga ia telah berhasil mengambil tali pocong dari pocong penghuni pohon, dan bulu milik kuntilanak (entah bulu bagian mana). Kepada orang-orang ia mengatakan bahwa pohon asam jawa peninggalan Belanda itu sangat angker karena dihuni oleh berbagai macam makhluk halus yang diketuai oleh Bujuk Parseh. Karena Ki Sudadi telah dianggap memiliki penerawangan yang bisa menembus alam setan dan jin, maka mereka pun mengimaninya bahkan sering minta tolong pada laki-laki tua tersebut.
“Assalamualaikum.” Ki Sudadi mengucap salam pada makhluk yang merasuki tubuh Rido.
Tak ada jawaban. Rido malah mengamuk dan meronta-ronta mau melepaskan diri.
“Kenapa dengan anak saya, Ki?”
“Anak Pak Jo kerasukan rohnya Bujuk Parseh.”
Istri Pak Jo menangis.
“Apakah anak saya bisa disembuhkan, Ki?”
“Bisa. Tapi, kata Bujuk, beliau akan meninggalkan tubuh Rido asal sampeyan mau memberinya sesajen.”
Pak Jo pun menyetujui permintaan Bujuk Parseh. Sajennya antara lain, ayam panggang utuh, sayurannya urap-urap, telur rebus tujuh butir, nasi putih satu tampah, kopi, dua pak rokok cap Koboy atau tembakau dua tampang, dan dupa cap Dewa-Dewi. Lantas sajen tersebut diserahkan ke Ki Sudadi.
Entah percaya apa tidak, setelah dupanya dibakar oleh dukun berkedok ustadz itu, Rido pun sembuh. Dan sejak itu, orang-orang semakin mengeramatkan pohon asam jawa tersebut, dan juga kepada Ki Sudadi sebagai perantaranya.
Setelah sembuh, Rido mengajak temannya ke rumah Ki Sudadi untuk meminta tolong agar menemukan dompetnya yang hilang.
“Dompetnya warna apa, Nak?” tanya dukun yang katanya bisa menembus alam Nasut itu, tapi tidak tahu warna dompet yang hilang. Dunia ini memang aneh.
“Hitam, Mbah,” jawab Rido.
“Oh, dompetmu sudah ditemukan oleh orang lain, tapi diambilnya.”
Setelah minta tolong, kedua remaja itu pulang. Dan ketika sudah agak jauh dari rumah dukun kampung itu, Rido mengajak temannya duduk di pos ronda.
“Lha wong dompetku tidak hilang dibilang diambil orang.” Ia mengeluarkan dompet warna cokelat dari saku celananya.
“Jadi…”
“Iya. Jadi, dukun tadi bohong. Dia telah menipu banyak orang. Kenapa? Karena rata-rata orang Islam kampung ini pengetahuan agamanya dangkal. Dan rata-rata mereka banyak yang tidak sekolah.”
Terjadi keributan yang luar biasa saat ada orang dari kota hendak menumbangkan pohon asam jawa itu, karena rencananya mau menjadikan halaman rumah tua tersebut sebagai taman. Adalah Ki Sudadi yang memberinya peringatan agar jangan memotongnya sembarangan.
“Pohon ini adalah rumahnya Bujuk Parseh.”
“Siapa Bujuk Parseh, Pak?”
“Sosok yang diutus untuk menjaga kampung ini. Dia bilang kalau sampeyan nekad mau menebangnya, maka dia akan memberikan bala.”
“Allah saja tidak memberikan bala kepada manusia apalagi Bujuk, Pak.”
“Dasar sampeyan Salafi! Wahabi sampeyan kalau tidak percaya pada Bujuk Parseh!”
“Otoritasnya Bujuk Parseh itu setingkat apa, Pak? Nabi Muhammad?”
Mendidih kepala Ki Sudadi.
“Di atasnya Nabi Muhammad ada seorang utusan yang lebih tinggi lagi. Namanya Khalifatul fil ardhi.”
“Bukankah Khalifatul fil ardhi itu Nabi Muhammad, Pak? Jangan ngarang-ngarang, Pak.”
Muntab Ki Sudadi dengan orang itu.
Lalu, orang tersebut memanggil alat-alat berat untuk menggusur para makhluk antah-berantah yang menghuni pohon asam jawa itu tanpa izin.
***
Tapi apa yang terjadi?
Kampung kami tidak apa-apa. Tidak ada bala dari Bujuk Parseh yang katanya sangat marah karena ‘rumah’nya mau digusur. Tidak ada protes baik dari kuntilanak maupun pocong yang juga tidak memiliki surat izin tinggal di bumi. Setelah selesai ditebang hingga ke akar-akarnya, di tanah bekas pohon tua macam pohon gotik itu dibangun sebuah taman yang indah. Bahkan rumah gedong bekas peninggalan Belanda tersebut juga direnovasi hingga tak ada kesan seram lagi.
Bahkan setelah itu, jalan kampung kembali mulai dilewati oleh warga. Tidak hanya siang hari, juga ketika larut malam. Kenapa begitu? Sebab soal kuntilanak itu hanyalah karangan Pak Paijo. Begitu juga dengan pocong. Tak ketinggalan pula dengan Bujuk Parseh yang hanya tokoh fiktif karangan Ki Sudadi yang sejak dulu memang sering bujuk’i (mengibuli/ menipu dengan cara licik, Jawa) para warga yang tak berpendidikan, juga menghilang begitu saja.
Sementara Mbah Sudadi sendiri, sejak itu sudah mulai sepi tamu. Siang-malam ia membebat kepalanya dengan seutas kain. Karena makin sepi job, lelaki tua itu pun ditemukan di pinggir rel kereta api dalam keadaan tak bernyawa.
Lalu, apakah benar Rido telah kesurupan Bujuk Parseh? Ternyata tidak. Ia memang memiliki penyakit aneh macam orang ayan, dan ia akan kejang-kejang dalam waktu lima menit apabila penyakitnya kumat. [T]
2024
Penulis: Khairul A. El Maliky
Editor: Adnyana Ole