BBB yang saya maksud adalah Bulan Bahasa Bali. Setiap tahun, tepat dari awal hingga akhir bulan Februari dilaksanakan acara tersebut. Acara yang dilaksanakan dari tingkat desa adat, kabupaten hingga provinsi itu, diharapkan dapat memupuk bahasa Bali di tengah era modernisasi saat ini. Namun, apakah ‘pemupukannya’ sudah tepat? Atau sekadar tuai saja?
Menyambung dari pertanyaan tersebut, banyak lomba yang dilaksanakan. Di tingkat desa adat, diwajibkan untuk melaksanakan beberapa lomba. Seperti ngwacen lontar, masatua bali, sambrama wacana, pidarta, nyurat aksara bali, dan beberapa lomba tambahan sesuai dengan kreativitas masing-masing desa adat. Dari sekian banyak lomba yang dilaksanakan saya mencoba untuk menyoroti satu cabang lomba, yakni ngwacen lontar.
Ngwacen lontar merupakan perlombaan membaca lontar yang tentu menggunakan aksara bali. Perlombaan ini biasanya diikuti oleh peserta yang masuk dalam kategori remaja atau daa teruna/i yang berumur kisaran 13-25 tahun. Namun tahun 2025 kategori untuk perlombaan tersebut diubah menjadi kategori SMA/K. Teknis perlombaan ini akan dimulai dari tingkat desa adat. Di tingkat desa adat mereka akan bersaing dengan peserta perwakilan masing-masing banjar adat. Setelah berlomba, siapa pun yang mendapatkan juara 1 di desa adat akan berangkat mewakili desa adatnya berlomba di tingkat kabupaten.
Di tingkat kabupaten mereka akan bersaing dengan seluruh duta desa adat, di kabupaten yang bersangkutan. Setelah mendapatkan juara 1 di kabupaten, peserta yang bersangkutan akan kembali berlomba di tingkat provinsi. Perjuangan panjang mereka akan berakhir di tingkat provinsi sebagai duta dari masing-masing kabupaten/kota di Bali. Selain teknis lomba hal yang penting menjadi sorotan adalah materi yang akan dibaca oleh peserta.
Lontar sebagai media uji dari semua peserta memiliki beragam jenis. Di tingkat desa adat mereka mendapatkan materi satua Bali. Tentunya materi ini cukup untuk pemula, karena satua Bali menggunakan bahasa Bali yang dominan dapat dipahami oleh peserta. Namun di tingkat kabupaten mereka biasanya akan mendapatkan materi yang lebih sulit. Seperti lomba ngwacen lontar di Kabupaten Badung. Para peserta yang berjumlah lebih dari 15 orang tersebut diuji dengan lontar berjenis Tutur.
Tutur merupakan salah satu klasifikasi lontar yang didalamnya membahas mengenai beragam aspek kehidupan. Dalam menarasikan isinya, tutur lebih cenderung menggunakan bahasa Kawi-Bali, atau bahasa Jawa Kuno. Sehingga dengan kriteria peserta yang masih SMA cukup menyulitkan mereka saat membaca. Hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman mereka mengenai bahasa kawi-bali.
Hal serupa tidak hanya terjadi di tingkat kabupaten, bahkan saat saya menjadi pembina di desa adat, beberapa peserta sangat minim yang mengetahui aksara Bali. Padahal, aksara Bali adalah modal utama membaca lontar. Sehingga walaupun diberikan lontar satua Bali mereka tetap ditempuh kesulitan. Setelah ditelaah perlahan ternyata mereka masih sulit menulis bahkan membaca aksara Bali. Hal ini disebabkan karena mereka jarang menggunakan bahkan memelajari aksara Bali. Mereka akan membaca apabila guru mereka di sekolah memberikan materi mengenai aksara. Namun itupun hanya bertahan beberapa pertemuan di kelas. Setelahnya mereka akan melupakan aksara Bali.
Pemikiran generasi muda mengenai pentingnya memelajari aksara Bali harus di pupuk sejak dini. Di Bali, pulau yang dilandasi dengan nilai religius dari agama hindu, mempergunakan aksara Bali, hampir pada setiap aspek kehidupan. Umpana tatkala suatu bangunan selesai digarap, maka salah satu piranti uparengga yang digunakan dalam upacara melaspas adalah ulap-ulap.
Ulap-ulap dibuat menggunakan secarik kain dan ditulis aksara modre sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya. Selain itu, tatkala ajal telah tiba masyarakat Hindu Bali akan mempergunakan kain putih sepanjang kurang lebih 1-2 meter yang disebut dengan kajang. Kajang pun dituliskan aksara Bali berjenis Modre. Dua hal tersebut hanya contoh kecil dari manfaat dan fungsi aksara Bali di masyarakat Hindu Bali.
Namun, bagi generasi muda aksara Bali memiliki manfaat yang tidak kalah pentingnya. Saat menyemai pengetahuan dari SD hingga SMA/K jika masih berada di Bali, maka mereka akan tetap bertemu dengan aksara Bali, termasuk bahasa dan sastranya. Tentu jika memiliki pengetahuan menulis dan membaca aksara Bali yang cukup akan memermudah mereka dalam mengikuti materi yang diberikan. Selain itu hidup di lingkungan keluarga, membuatnya mau tidak mau harus membantu adik atau saudara sepupu disaat mendapatkan tugas mengenai aksara Bali. Jika kita tidak tau sama sekali mengenai aksara Bali, wajarkah?
Bulan Bahasa Bali yang dilaksanakan sebulan penuh merupakan suatu langkah yang amat baik dari Pemerintah Provinsi Bali. Mereka mengajak kita sebagai generasi dan krama Bali untuk menoleh kebelakang, bahwasannya setiap pengetahuan yang dititipkan oleh para leluhur sangat baik digunakan sebagai penuntun kehidupan.
Ungkapan ateken sastra sangat baik untuk digaungkan. Selain ngwacen lontar satua-satua bali seperti Cupak Grantang, Ketimun Mas, Sigir Jlema Tuah Asibak dan satua bali lainnya menyimpan kasanah moral yang baik bagi anak-anak, sehingga lomba masatua Bali diikuti oleh krama PKK.
Kemampuan berbahasa Bali yang baik perlu dijaga dan terus dipelajari, sehingga lomba sambrama wacana diperuntukkan bagi mereka para lelaki yang akan pertama kali menjadi pemimpin di lingkungan keluarga. Kemampuan menulis aksara Bali dengan baik sesuai dengan uger-uger pasang aksara Bali pun amat penting. Maka lomba nyurat lontar, dan nyurat aksara Bali di kertas diperuntukkan bagi siswa SMP dan SD. Selain lomba yang bersifat tradisional, jenis lomba inovasi pengembangan bahasa, aksara, dan sastra Bali setiap tahun selalu bervariasi dilaksanakan.
Namun, apakah cukup hanya sebulan untuk menghargai ibu dalam bentuk bahasa? Kasih seorang ibu kepada anaknya sepanjang hanyat, sama seperti kesetiaan pertiwi kepada alam semesta beserta isinya. kesetiaan ibu dalam bentuk bahasa pun begitu mulia kepada para penuturnya. Ia memberikan identias yang dikenal dan memiliki kekhasan pada setiap bahasa ibu yang ada. Sudah selayaknya bahasa Bali sebagai bahasa ibu masyarakat Pulau Bali terus dihargai. Setidaknya ia digunakan di lingkungan keluarga.
Pembelajaran mengenai aksara Bali sebagai simbol dari bunyi bahasa Bali pun selayaknya terus dipelajari. Bukan sebulan, dua bulan atau pada hari kamis saja, tetapi dua belas bulan. Agar bulan Bahasa Bali tidak hanya sekedar menjadi formalitas belaka. Aliran yang berhulu di Februari semoga terus mengalir ke bulan seterusnya. Yang kita inginkan adalah rutinitas bukan sekedar formalitas. [T]
Penulis: IGP Weda Adi Wangsa
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: