- Lanjutan esai Dendam pada Musuh Imaginer
Apa yang terjadi saat seseorang mengenakan kaca mata berlensa hitam? Semua yang terlihat akan relatif berwarna hitam walaupun objek yang diindera berwarna lain. Hal yang sama terjadi pada cara pandang seseorang terhadap dunia. Cara pandang tersebut sangat bergantung pada pengalaman tumbuh kembang yang akhirnya membentuk warna dari lensa kaca mata yang digunakan.
Cara pandang jelas memiliki konsekuensi, entah baik atau buruk. Seseorang bisa saja beranggapan bahwa mayoritas kejadian yang hadir di hidupnya bersifat positif dan menghasilkan situasi yang nyaman. Dengan realita yang sama, seseorang juga dapat berpikir bahwa mayoritas kejadian yang ditemui bersifat negatif dan membuat hidup berjalan kacau. Konsekuensi dari cara pandang ini pada akhirnya menjadi penyebab dari konsekuensi turunan lainnya yang terus berkelanjutan.
Untuk lebih jelas, mari kita bahas dengan menggunakan contoh cerita imajinasi yang terinspirasi dari banyak pasien yang saya temui. Berbagai pasien tersebut memiliki pola serupa walau datang dari latar belakang yang berbeda dan menghasilkan tokoh imajinasi yang bernama “Mita”. Perempuan berusia empat puluh tahunan yang memiliki masalah dalam relasi interpersonalnya.
Mita adalah seorang perempuan yang memiliki trauma terhadap peran ayah yang bermasalah. Di masa lalu, ayah bersifat pasif dan berjarak dengan anak-anaknya. Komunikasi di antara mereka sangatlah kurang. Tidak ada rasa sayang yang diungkapkan secara eksplisif dari ayah ke anak.
Mita merasa tidak memiliki ayah karena figur tersebut antara ada dan tiada. Terlepas dari hubungan ayah dan anak yang berjarak, komunikasi antara ayah dan ibu juga sangat buruk. Ayah hanya berkomunikasi dengan ibu saat ada masalah. Komunikasi itu pun lebih didominasi kata-kata kasar dan menusuk. Ayah juga tidak membela ibu saat ibu memiliki masalah dengan orang lain. Ibu tampak berdiri sendiri tanpa ada pegangan untuk bersandar.
Mita juga marah kepada ibu karena ibu tidak bisa membela diri dari tindakan negatif ayah. Seharusnya ibu bisa bertindak sehingga keselarasan bisa muncul. Walaupun kemarahan pada ibu cukup besar, kemarahan lebih besar tetap tertuju pada ayah sebagai sumber masalah utama.
Sikap orang tua mengubah cara pandang Mita dalam melihat dunia. Ia menjadi keras, dapat berdiri di kaki sendiri tanpa perlu bantuan laki-laki, dan sukar menyampaikan perasaannya secara terbuka walaupun terhadap orang terdekatnya. Tampaknya sifat yang terbentuk merupakan kebalikan dari ibu; Mita seolah ingin membuktikan bahwa dunia bisa berjalan dengan baik jika kesalahan-kesalahan orang tua tidak diulanginya.
Walaupun demikian, pola yang sama terulang. Mita menjadi persis seperti ibunya. Mita tetap memilih pasangan yang memiliki sifat buruk seperti ayahnya. Kesalahan tetap terjadi walaupun sejak awal memilih pasangan, Mita selalu menjauhi berbagai laki-laki yang mirip dengan ayah.
Munculnya sifat buruk pada pasangan yang mirip dengan keburukan ayah bukanlah tanpa sebab. Saat memilih pasangan, alam bawah sadar sudah mendeteksi dan memilih calon pasangan yang memiliki gestur tersembunyi yang serupa dengan figur ayah. Hal tersebut tetap terjadi walaupun secara kasat mata, calon pasangan tersebut menampilkan gelagat yang berkebalikan. Bahkan, saat pasangan yang dipilih benar-benar memiliki sifat yang berbeda dengan figur ayah, Mita akan tetap memancing agar pasangan tersebut mengeluarkan berbagai tindakan yang serupa dengan perilaku negatif ayah.
Setelah menikah, konflik semakin sering terjadi antara Mita dan suaminya. Setiap muncul konflik, yang paling sering terlintas di benak Mita adalah bayangan ayah yang sangat ia benci. Kebencian yang dipendam seperti mencari jalan untuk melampiaskan ledakan-ledakan melalui pasangan. Kebencian terselubung ini semakin disadari saat ayah Mita meninggal.
Berbagai pertanyaan mulai menghantui di masa berkabung. Bingung sekaligus kesal muncul bersamaan. Awalnya Mita merasa tidak akan ada yang hilang karena sejak kecil ia sudah mandiri tanpa figur ayah. Tetapi kondisi yang terjadi malah berkebalikan: ia merasa sangat marah sekaligus menyesal akibat tidak sempat berdamai dengan dendam saat ayah masih hidup. Kehilangan tersebut membuat trauma semakin kuat tertancap dalam sanubari.
Kehilangan dan trauma yang bercampur menjadi satu membuat konflik antara Mita dan suami semakin sering terjadi. Kesalahan remeh yang dilakukan oleh suami dapat membuat barang – barang di rumah terlempar tak beraturan. Mita selalu menuduh suaminya tidak paham akan apa yang dirasakan Mita saat suami tersebut salah berbicara. Hal tersebut membuat suami Mita lebih banyak diam.
Saat suami lebih sering diam, kemarahan Mita semakin memiliki alasan: pasangan akhirnya memperlihatkan gelagat yang sama persis dengan ayah yang selalu menghindari konflik. Mita semakin marah dan berkata bahwa semua laki-laki sama saja. Sama seperti ayahnya yang tidak bisa memahami perasaan, lebih banyak diam, dan menyelamatkan diri sendiri saat masalah datang.
Apakah yang sebenarnya terjadi pada Mita? Akar masalah sepertinya ada di ayah Mita. Tetapi, jika dianalisis lebih jauh, yang terjadi sebenarnya bukan konflik antar dua individu. Bukan antara Mita dengan ayahnya. Apa lagi antara Mita dengan pasangannya.
Seperti yang pernah saya tulis dalam esai yang berjudul Dendam Pada Musuh Imaginer di tatkala.co, konflik sejatinya hanya terjadi pada diri sendiri. Diri membentuk musuh imaginer yang akan tetap ada terlepas dari apapun yang terjadi pada realita sebenarnya. Bahkan, seandainya ayah yang pernah berlaku buruk pada akhirnya meminta maaf, dendam di dalam diri akan tetap menyala selama musuh imaginer tersebut masih terpelihara.
Ada banyak cara yang pernah dilakukan oleh berbagai pasien untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan diri di posisi lawan dan membayangkan fenomena yang mungkin terjadi pada posisi tersebut. Cara yang juga sering dipakai pada psikoterapi gestalt.
Dengan menggunakan cerita yang sama, Mita bisa membayangkan kondisi yang terjadi pada tumbuh kembang ayah. Hanya sebatas membayangkan karena Mita tidak mungkin bisa sepenuhnya menjadi ayah yang mengalami sendiri fenomenanya. Bahan-bahan yang digunakan untuk membayangkan cukup didapat dari apa yang diketahui Mita, baik dari cerita kakek-nenek, ibu, keluarga besar, dan semua orang yang mengenal ayah.
Misalkan saja, Mita mengetahui bahwa kedua orang tua dari ayah sudah meninggal akibat tragedi PKI sejak ayah Mita berusia lima tahun. Hal tersebut membuat ayah tidak memiliki figur laki-laki yang dapat dijadikan panutan. Ayah lebih sering menghindari konflik karena trauma atas tragedi pembersihan PKI di saat ia kecil.
Hal itu menyebabkan ayah terbiasa memendam masalah dan menggunakan istrinya sebagai tempat sampah pelampiasan amarah saat ia memiliki masalah dengan orang lain. Ketakutan terhadap konflik juga terjadi sehingga ia lebih sering bersembunyi saat ada masalah menimpa anggota keluarganya. Singkatnya, ayah Mita menjadi tidak memiliki figur kepala keluarga yang dapat diandalkan.
Dengan mengetahui alasan tersebut, semua orang yang berada di posisi ayah kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama. Bahkan, bisa lebih buruk. Jika ayah memiliki sedikit saja kemudahan, seperti situasi politik yang aman dan informasi mengenai kesehatan mental yang mudah didapat seperti di masa sekarang, mungkin saja ayah bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Tetapi, kejadian itu terjadi di masa lalu dengan segala keterbatasannya. Kembali lagi, bahkan jika seandainya Mita yang berada di posisi ayah di masa itu, hal yang sama—atau bahkan lebih buruk—kemungkinan besar bisa terjadi.
Melihat dari sisi yang lebih luas dapat memperbaiki situasi. Ayah kemungkinan besar juga merasa sangat tersiksa akibat perbuatan di masa lalu. Bahkan, ayah bisa saja lebih sukar memaafkan dirinya sendiri dari pada orang lain. Apa lagi sampai tidak sempat meminta maaf pada keluarga yang pernah disakiti. Dengan pemahaman ini, bukankah akan muncul rasa kasih yang lebih besar dari pada dendam itu sendiri?
Kasih yang besar dapat mengobati luka. Walaupun demikian, pandangan keliru terhadap kasih kadang berujung pada tindakan menyalahkan diri sendiri. Hal itu terjadi karena adanya pandangan hitam-putih yang berujung pada keyakinan bahwa harus ada yang salah saat terjadi konflik: jika dia tidak salah akibat ketiadaan pilihan, artinya aku yang salah karena tidak bisa memaafkan orang yang seharusnya dikasihani. Konflik batin belum mencapai titik akhir.
Konflik terjadi karena pandangan hitam-putih yang tidak mempersilahkan rentang warna di antaranya. Padahal ada spektrum warna tak terbatas di antara dua warna hitam-putih. Dalam konteks siapa yang salah, ada kemungkinan di mana semuanya sama-sama salah jika dipandang dari sudut masing – masing. Kedua belah pihak juga sama-sama benar karena ketiadaan pilihan. Dengan kemungkinan tersebut, bagaimana jika mengambil kesimpulan bahwa tidak ada yang salah? Lebih tepatnya, tidak ada yang perlu disalahkan. Bukankah itu lebih melegakan?
Lagi pula, konflik tetap berada di masa lalu. Terlalu fokus memandang masa lalu akan menghabiskan energi dan membahayakan. Seperti terlalu fokus melihat kaca spion saat berkendara: kecelakaan sangat mungkin terjadi karena kewaspadaan akan posisi saat ini dan pandangan ke depan menjadi berantakan. Fungsi utama dari kaca spion hanyalah sebagai pengingat bahwa ada sesuatu yang sudah terlewati dan bisa dijadikan bahan belajar, bukan untuk hidup di masa lalu yang semu. [T]
Penulis: Krisna Aji
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis KRISNA AJI