KUMPULAN puisi berbahasa Bali Renganis (Renganis) karya Komang Sujana ditetapkan sebagai buku sastra Bali modern yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2025.
Buku karya penulis kelahiran Tajun, Buleleng, Bali Utara, 28 Desember 1990 ini diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali.
Berikut adalah ulasan atas karya-karya sastra Bali yang terbit sepanjang tahun 2024 yang menjadi nominasi untuk hadiah Rancage 2025.
Pengumuman pemenang Hadiah Sastra Rancage disampaikan panitia di Bandung, 31 Januari 2025. Selain untuk sastra Bali, juga diumumkan pemenang untuk sastra berbahasa Sunda, Jawa, Lampung, dan Batak.
Pemenang Hadiah Rancage 2025
Jumlah Buku Terbit
Jumlah buku sastra Bali yang terbit pada tahun 2024 adalah 15 judul, meningkat tiga judul dibandingkan tahun sebelumnya, 2023, yang berjumlah 12 judul. Dari 15 judul itu, ada satu buku esai sastra yang mengkaji karya sastra Bali modern, tidak masuk dalam penilaian karena berupa kumpulan esei dan ditulis dalam bahasa Indonesia.
Ke-14 karya sastra Bali modern yang terbit sepanjang 2024 dicantumkan dalam tabel di bagian akhir tulisan ini di bawah.
Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, buku-buku yang terbit tahun 2024 ini pun sebagian besar diterbitkan oleh penerbit Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali. Dari buku yang terbit itu, 11 judul diterbitkan Pustaka Ekspresi, sisanya tiga judul oleh penerbit Mahima (Singaraja).
Ini penting dicatat karena di satu pihak menunjukkan komitmen Pustaka Ekspresi dalam menjaga kehidupan sastra Bali modern, di lain pihak menunjukkan terbatasnya penerbit yang memperhatikan kehidupan sastra Bali modern.
Yang istimewa dan patut dicatat adalah, tahun 2024, untuk pertama kalinya penerbitan buku sastra Bali mendapat bantuan dari dana LPDP, yakni sebanyak lima judul.
Selain lewat buku, karya sastra Bali juga muncul di media massa (cetak dan daring), seperti rubrik Angripta Rum (koran Nusa Bali), rubrik Media Swari (koran Pos Bali), Ajeg Bali (koran Media Bali), dan Suara Saking Bali, sebuah majalah daring berbahasa Bali. Majalah berbahasa Bali yang baru, yaitu Sentir (Suluh/ Lampu), tahun 2023 juga terbit untuk Vol. 2 (Oktober-Desember 2023), keberkalaannya tiga bulan sekali. Majalah ini memuat puisi, cerita pendek, dan profil sastrawan.
Semua media massa ini mendukung kehidupan sastra Bali modern. Banyak karya yang terbit di rubrik-rubrik sastra media massa tersebut yang kemudian dikumpulkan penulisnya untuk diterbitkan menjadi antologi puisi atau cerita pendek sehingga terbuka akses pembaca untuk menikmati karya-karya tersebut.
Nominasi
Dari 14 judul buku, 10 buku yang dinilai, terdiri dari 1 buku drama, 5 antologi cerpen, 4 antologi puisi. Antologi karya bersama tidak masuk dalam nominasi penerima penghargaan.
Drama
Antologi drama Suluh karya IB Anom Ranuara adalah satu-satunya buku drama yang terbit tahun ini. Buku drama memang jarang ditulis. Satu-satunya sastrawan Bali modern yang menulis drama adalah I Nyoman Manda, namun lebih dari lima tahun berjalan, karya drama absen dalam percaturan sastra Bali modern.
Drama Suluh berisi lima drama (90 hlm) yang dominan melukiskan romantika kehidupan remaja dalam konteks keluarga yang dibalut dengan perasaan dasar manusia yaitu rindu dendam atau konflik keluarga bertetangga. Ditulis oleh penulis dan sutradara drama yang berpengalaman panjang, cerita-cerita drama dalam Suluh ini enak dibaca, bahasa lugas, sebab-akibat jelas.
Drama-drama di sini memiliki alur yang kuat ditandai dengan konflik yang sambung sinambung. Konflik tidak saja tampak dalam dialog antar-tokoh, tetapi juga narasi bertentangan antara kata dan perbuatan tokoh cerita. Cerita “Luh Sita Bajang Kota”, misalnya, mengisahkan larangan tokoh Paman yang tidak mengizinkan keponakannya berpacaran dengan seorang gadis karena dendam Paman kepada ibu si gadis yang gagal dinikahi.
Cerita “Bibi Ayu” mirip dengan ini. Bedanya adalah yang melarang pernikahan bukan si Paman tetapi si Bibi. Cerita “Phala Karma” melukiskan konflik kehidupan bertetangga yang penuh curiga sampai harus dilaporkan ke kepolisian.
Alur cerita dan konflik membuat drama-drama dalam antologi ini enak dibaca, apalagi kalau dipentaskan. Unsur hiburan drama Suluh lebih dominan dari amanat dan aspek cerita lainnya.
Kisah-kisah drama dalam antologi ini relatif singkat, berisi antara 98 sampai 153 nomor dialog. Penomoran dialog ini memudahkan pemain yang hendak mementaskan naskah ini. Dalam latihan-latihan, mereka mudah merujuk ke nomor dialog. Jika dilihat latar, drama ini banyak dikisahkan terjadi pertengahan 1980-an, ketika di Denpasar masih ada transportasi publik berupa bemo atau kehadiran stasiun TVRI Denpasar yang membuat siapa saja tampil cepat dikenal orang, sesuatu yang tidak terjadi lagi di era digital.
Cerpen
Dari enam antologi cerpen, ada satu kumpulan cerpen yang tidak dinilai, yaitu Wayang Kardus (Wayang Kardus) karya Komang Berata dkk. Lima yang masuk nominasi adalah Muncuk Yeh (Ujung Air) karya IBW Widiasa Keniten, Anak Muani Ane Tusing Kena Iusan Pakibeh Jagat (Lelaki yang Tak Kena Keadaan Zaman) karya Made Suar Timuhun, antologi Ngetelang Getih Kaang Putih (Meneteskan Darah Karang Putih) karya Ni Putu Ayu Suaningsih, Isin Gumi (Isi Dunia) karya I Kadek Ruminten, dan Turis Balinesia (Turis Berbahasa Indonesia-Bali) oleh I Wayan Nuryana.
Antologi Muncuk Yeh (Ujung Air) karya IBW Widiasa Keniten berisi 13 cerpen (65 hlm) yang umumnya mengangkat tema mitos-mitos dalam kehidupan masyarakat Bali agraris di perdesaan. Cerpen “Muncuk Yeh” (Ujung Air) yang menjadi judul antologi ini mengisahkan kehidupan anak-anak desa yang berebut mencari ‘ujung air’ karena ada mitos yang meyakini bahwa ujung air berguna untuk memanjangkan rambut. Anak-anak yang rambutnya pendek entah karena digundul oleh atau ingin rambutnya cepat panjang biasanya percaya itu terjadi jika rambutnya dioleskan dengan ‘ujung air’. Cerpen ini melukiskan anak-anak mengempang parit untuk menangkap ikan yang terkapar karena air terkuras, setelah air dialirkan kembali, anak-anak itu akan mengejar ujung air. Cerpen ini melukiskan keriangan anak-anak, bukan masalah apakah mitos ‘ujung air’ itu manjur untuk memperpanjang rambut atau tidak, yang penting mitos itu dituturkan.
Cerpen-cerpen lainnya yang ditulis dengan sangat efektif lewat kalimat-kalimat pendek yang indah dan lugas, membahas tentang petani yang mimpi bertemu bulan yang jatuh cinta kepadanya (Ulungin Bulan), petani sembahyang dan merasakan jiwanya mesat meninggalkan raganya (Kunang-Kunang di tengah Lemeng), dan legenda mitos Lubdhaka (tokoh cerita seorang pemburu yang bermalam di hutan karena takut pulang dalam kegelapan, takut dimangsa binatang buas) (Ngalih Lubdhaka). Dalam cerpen ini, Lubdhaka dihadirkan secara misterius. Bukan pembuktian mitos itu yang menjadi tujuan pengarang menulis, namun lebih untuk memperkenalkan bahwa mitos-mitos itu ada dan perlu dilestarikan dalam kehidupan sastra dan kepercayaan di Bali.
Antologi Anak Muani Ane Tusing Kena Iusan Pakibeh Jagat (Lelaki yang Tak Kena Pengaruh Zaman) karya Made Suar Timuhun berisi 11 cerita pendek, tebal 91 halaman. Pengarang Made Suar Timuhun sangat kreatif dalam mengangkat hal-hal kecil dalam wacana publik menjadi tema atau subtema cerita yang menarik. Sebagian besar cerpen dalam antologi ini mempertanyakan mitos atau hal-hal kecil yang sering dipertanyakan di masyarakat yang jawabannya bersifat relatif.
Cerpen pertama dalam antologi ini “Anak Muani Ane Mebok Lantang” (Lelaki yang Berambut Panjang) membahas mitos laki-laki berambut panjang dari berbagai sudut pandang. Mitos ini bertolak dari kebiasaan bahwa laki-laki berambut pendek, perempuan berambut panjang. Kalau lelaki yang berambut panjang apalagi bertato identik dengan preman, kesannya negatif.
Namun, kalau yang berambut panjang adalah laki-laki yang berprofesi penari maka citranya positif karena dengan memiliki rambut panjang sang penari tidak memerlukan rambut palsu kalau pentas, begitu juga orang suci yang jika berambut panjang akan tampak lebih berwibawa. Laki-laki yang memiliki istri yang sedang hamil, membiarkan rambut panjang adalah kepatuhan pada mitos, karena kalau rambutnya dipotong rapi, konon bisa mengganggu keadaan jabang bayi.
Makna logisnya adalah rambut panjang tidak boleh dipotong, sebab kalau dirapikan sang suami itu akan menjadi lebih tampan dan mudah memikat gadis lain. Tapi, bagi karyawan hotel, berambut panjang tidak dibenarkan, karyawan harus tampil rapi. Cerpen mengisahkan bagaimana dia ketika bekerja di hotel tidak dibenarkan berambut panjang.
Cerpen “Puun” (Terbakar) juga bertema mitos tentang hari Senin sebagai hari tidak baik untuk berbelanja atau nyervis dan mengganti spare parts motor karena akan cepat rusak (terbakar). Namun, seperti dalam cerpen lainnya, dalam cerpen “Puun” pun pengarang dengan narasi jenaka dan agak bercanda menunjukkan relativitas mitos, semisal di kota orang tidak menghindari Senin berbelanja yang penting ada waktu dan uang.
Cerpen-cerpen tersebut dan yang lain seperti “Patakon Ane Keweh Baan Tiang Nyautin” juga bersubtema mitos bahwa setiap orang harus menikah, kalau tidak akan menjadi sasaran pertanyaan tiada henti. Cita rasa humor terasa dalam cerpen yang menjadi judul antologi ini yaitu “Anak Muani Ane Tusing Kena Iusan Pakibeh Jagat” yang mengangkat mitos baru pada masa pandemi, yaitu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) terbebas dari serangan Covid-19.
Antologi Ngetelang Getih Kaang Putih karya Ni Putu Ayu Suaningsih memuat 9 cerita pendek dalam 66 halaman. Judul antologi ini tidak diambil dari salah satu cerpen yang dimuat, tetapi refleksi dari keseluruhan isi cerpen tentang kepedihan dan paradoks dalam kehidupan. Kata ‘getih’ dan ‘putih’ indah bersyair, tapi juga ekspresi paradoks karena tidak ada darah berwarna putih. Karang putih meneteskan darah adalah kemustahilan.
Kekhasan cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah penggunaan bahasa dialek Nusa Penida, ditandai dengan glosarium karena banyak kosa kata yang perlu diberikan artinya dalam bahasa Bali. Latar cerita juga Nusa Penida sehingga bahasa dan latar harmonis melukiskan warna lokal.
Selain memperkuat warna lokal, bahasa cerpen-cerpen dalam antologi sangat khas karena menggunakan aneka gaya bahasa seperti pepatah, perumpamaan, bladbadan, seperti ini batis meling padi (betisnya bagai bunting batang padi), acekel gondo layu (langsing seperti seikat sayur gonda layu), dan alisne madon intaran (alisnya lengkung seindah daun intaran).Salah satu tema yang muncul berulang dalam antologi cerpen in adalah ketidakharmonisan hubungan manusia dengan manusia (pawongan) akibat hadirnya orang-orang yang culas, dendam, iri hati, penipu.
Cerpen “Kulit Tipat” melukiskan tragedi remaja miskin yang ambisius belajar/ bekerja ke luar negeri ditipu temannya sampai jutaan rupiah. Ambruk hati ibu si gadis yang hidup dari menjual ‘kulit ketupat’. Motif penipuan sesama kawan itu, juga muncul dalam cerpen “Kala, Kali, Kalu” (Zaman Edan). Bedanya, penipuan sesama teman itu bermotif mengajak teman berinvestasi. Seorang laki-laki yang bodoh atau ingin cepat kaya, mau disuruh untuk mencuri uang di ATM ayahnya yang sebetulnya merupakan uang komunitas. Si bodoh itu bukannya kaya dapat bunga uang, tetapi masuk penjara. Hancurnya hubungan harmonis antar-sesama akibat dendam juga tampil sebagai tema cerpen “Punyan Pule” (Pohon Pule), seorang nenek (perawan tua) yang kerjanya marah-marah saja, mengecam anak-anak muda yang hendak menjadi warga yang baik penerus tradisi mau belajar merangkai janur atau membuat sarana upacara lainnya. Sifat amarah itu adalah dendam dari hidupnya yang dulu selalu dilarang oleh ibunya dalam mencari pacar, sampai akhirnya tidak ada yang mau menikahinya, menjadi perawan tua. Kini, dia melakukan hal yang sama, sok menasehati atau mengejek orang lain, sementara pura-pura tidak tahu bahwa dirinya sendiri hina-dina (seperti pohon pule, mencoba bermanfaat bagi orang lain, tapi sia-sia bagi diri sendiri).
Keseluruhan cerita pendek dalam antologi ini merupakan contoh dari kehidupan manusia di dunia ini tak ubahnya memikul sengsara (idupe mula mondong sengsara), sangat jauh dari sejahtera yang diajarkan filosofi Tri Hita Karana (tiga sumber kesejahteraan). Paradoks dalam cerpen ini menjadi cermin yang baik bagi pembaca untuk selalu eling lan waspada (sadar dan waspada) agar tidak menjadi korban keculasan diri atau orang lain.
Antologi Isin Gumi karya I Kadek Ruminten memuat 13 cerita pendek, total dalam 59 halaman. Cerita-cerita dalam antologi ini menyerupai dongeng dalam tradisi lisan, seperti “Satua I Tetani Teken I Beduda” (Cerita Tetani dan Beduda), “Bojog Madagang Cengkeh” (Bojog Jual Cengkeh), “Satua Kekawa” (Cerita Laba-laba).
Pengarang memiliki kemampuan yang baik dalam menuturkan kembali dongeng-dongeng yang pernah ada di masyarakat. Bukan saja isi dan tema cerita identik dengan dongeng, gaya bertutur dan pilihan kata juga menunjukkan ciri cerita lisan yang kuat, seperti ungkapan “ada tuturan satua…” (Ada sebuah kisah…).
Seperti umumnya dongeng, kisah dalam cerpen ini pun cukup menarik terutama yang tersaji dalam bentuk fabel (cerita binatang). Buku ini baik untuk bacaan pendukung anak-anak belajar sastra dan bahasa Bali di sekolah (SD-SMA) karena dapat membangun imajinasi mereka tentang kehidupan. Walaupun ceritanya menampilkan tokoh binatang, tetapi narasinya penuh dengan pelajaran akan nilai kesetiaan, kejujuran, ketelitian, dan kepercayaan akan hukum karma.
Antologi Turis Balinesia karya I Wayan Nuryana memuat 12 cerita setebal 92 halaman. Secara umum, antologi ini mengangkat tema aktual di masyarakat yang berkaitan dengan dunia digital. Cerita-cerita yang dimuat banyak berkaitan dengan HP, judi online, pinjaman online, dan tentu juga kecanduan remaja menggunakan gawai atau bermain sosial media.
Meski mengangkat hal-hal yang serius, pengarang cerpen tetap mencoba menuturkan kisah-kisahan dengan ringan sehingga substansi hiburannya lebih kuat daripada pesan atau amanat. Cerpen “Turis Balinesia” yang menjadi judul antologi ini mengisahkan dengan jenaka bagaimana seorang wisatawan menggunakan bahasa campuran (Indonesia, Bali, Inggris) dan mengaku itu terjadi karena dia belajar dari orang Bali.
Cerpen “Bangkrut” menggunakan trik mengaku bangkrut bagi orang tua sehingga bisa mengirim anaknya untuk tinggal dan bersekolah di desa, karena saat sekolah di kota dia banyak bermain sosial media. Setelah si gadis biasa hidup sederhana di desa dan matang secara psikologis, dia kembali sekolah di kota dan tinggal bersama orang tuanya. Pendidikan kadang memerlukan trik untuk mencapai tujuan, semisal mengurangi anak-anak tergantung pada gawai.
Mirip dengan cerpen “Turis Balinesia”, cerpen “Montor Tua” (Motor Tua), dan “Baronge Atugel” (Barong Sepotong) juga memiliki unsur surprise dalam alur cerita untuk memberikan kejutan. Membaca cerpen-cerpen dalam antologi ini, pembaca akan merasakan bagaimana dampak kemajuan teknologi terhadap masyarakat, amanat penting yang perlu dihayati untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Puisi
Untuk antologi puisi, ada tiga antologi karya bersama, termasuk: Eling (Sadar) karya Ni Wayan Sariani dkk., Enten (Terjaga) karya Ni Wayan Sariani dkk., dan Lebian (Lebih) karya Made Suar Timuhun dkk.
Dengan demikian, hanya empat antologi puisi yang dinilai untuk nominasi yaitu Titi Mamah Titi Manah (Titi Setapak Titi Hati) karya Made Nurjaya PM, Nangluk (Ritual Nangluk) karya Ki Tahun (I Wayan Warsa), Gita Rasmi Sancaya (Gita Rasmi Sancaya) karya I Putu Wahyu Santosa, dan Renganis (Renganis) karya Komang Sujana,
Antologi puisi Titi Mamah Titi Manah (Titi Setapak Titi Hati) karya Made Nurjaya PM memuat 50 puisi, setebal 60 halaman. Setidaknya ada tiga hal menarik dalam antologi puisi ini. Pertama, puisi ditulis secara naratif, contohnya dimulai dengan ungkapan yang lumrah dalam dongeng (‘ini ada cerita tentang….’).
Ciri puisi naratif juga tampak dari penyajian puisi dengan dialog, dari tokoh utama orang pertama (tiang ‘aku’) atau ketiga yang bertukar-tutur dengan tokoh kedua (anak dan ibu; kakek dan cucu). Ciri naratif ini sekaligus menampilkan orisinalitas puisi Made Nurjaya. Pilihan katanya segar, iramanya terjaga.
Kedua, tema-tema yang diangkat umumnya refleksi dari filosofi Tri Hita Karana, yakni parahyangan (Ketuhanan) pawongan (kemanusiaan), palemahan (lingkungan). Ketiga aspek Tri Hita Karana itu sering muncul secara kombinasi sebagai tema, misalnya puisi “Tamblingan” (nama Danau) yang mengartikulasikan aspek lingkungan (sayong kelewat sayang) dan ketuhanan (nyakup hredaya ri Hyang Batari, p. 51). Ketiga, puisi dalam antologi ini banyak mengekspresikan tentang identitas Bali.
Selain yang tampak pada puisi-puisi yang bertema Tri Hita Karana, juga pada puisi yang eksplisit mengungkapkan nasehat agar geenrasi muda Bali menjaga (identitas) Bali (Apang sajaan cening dadi bala patitis kesenian natah Baline, p. 34).
Diperlukan kajian berlapis dalam memahami puisi-puisi dalam antologi, yang kadang terkait dengan mitos, tradisi, kepercayaan, bahasa simbol, permainan kata dan rima. Contohnya adalah puisi yang menjadi judul antologi ini “Titi Mamah Titi Manah” yang berarti pengorbanan tulus seorang Ibu menyediakan jembatan (titi) bagi anak-anak dalam mendalami sastra (kantos sisu cening nyastra).
Antologi Nangluk (Ritual Nangluk) karya Ki Tahun (I Wayan Warsa), memuat 55 puisi yang diciptakan dalam rentang waktu lama, tahun 2002-2021, tersaji dalam 78 halaman. Di sini termuat puisi tentang Bom Bali dan upacara korban suci “Karipubaya” (p. 62). Ciri khas antologi ini bisa dilihat dalam tiga hal.
Pertama, puisi dalam antologi ini tampak mengutamakan rima akhir, baik dalam bentuk pantun maupun syair. Ada banyak puisi yang tampil dengan bentuk syair sepenuhnya, seperti puisi “Mangu Sastra” terdiri dari 5 bait dan “Tangis Hyang Ibu” terdiri dari 9 bait semua berbentuk syair. Satu-dua puisi ada juga yang mengambil bentuk pantun. Lainnya bentuk bebas tetapi rima tetap dijaga sama. Kekhasan ini membuat puisi-puisi dalam antologi ini indah dirasa saat dibaca.
Kedua, puisi banyak mengungkapkan tutur (nasehat), ada yang disampaikan secara gamblang atau diselipkan dalam ungkapan indah, seperti puisi “Bangsung” (kurungan dari bambu untuk menggotong babi) digunakan penyair untuk menyampaikan tutur pentingnya kita ‘mengurung enam sifat buruk’ (sad ripu). Amanat tutur juga bisa dibaca dalam puisi “Suluh” dan “Tutur”.
Meski puisi dalam antologi ini banyak menyajikan tutur tidak membuatnya menjadi sastra bertendens atau propaganda. Ketiga, antologi in juga mengangkat tema perubahan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti kritik halusnya terhadap situasi pariwisata Kuta (Kuta tan Pasuara, p. 76) dan propagandanya terhadap calon bupati dan wakil Bupati Badung “GiriAsa” dalam Pilkada 2019. Secara keseluruhan, antologi Nangluk tampak kuat menjadikan sastra sebagai medium untuk menyampaikan nasehat (tutur) dan kepedulian sosial.
Antologi puisi Gita Rasmi Sancaya (Kidung Keindahan) karya I Putu Wahyu Santosa memuat 51 judul puisi, dalam 51 halaman. Jumlah puisi dan halaman yang sama menunjukkan puisi pendek, tak sampai ada yang lebih dari satu halaman per judul.
Berbeda dari antologi puisi lainnya, antologi ini tidak menyertakan tahun atau waktu penciptaan. Judul antologi ini mengingatkan pada “Kidung Rasmi Sancaya” yang diyakini karya Dang Hyang Nirartha pada abad ke-16 yang melukiskan keindahan samudera dalam tirta yatranya di pesisir Bali Selatan. Karakteristik antologi ini terlihat dalam tiga hal berikut.
Pertama, tujuh puisi pertama dibuat berseri dari “Satwa Kawiswara 1″ sampai dengan ” Satwa Kawiswara 7″. Tidak ada kata Dang Hyang Nirartha disebutkan dalam ketujuh puisi tersebut, tetapi ketujuh puisi tersebut memberikan asosiasi kaut kepada beliau, ditandai dengan ungkapan kebesaran beliau sebagai pengarang (Sang Kawiswara) dan sumber inspirasi puisi beliau yaitu keindahan pesisir (Ri kala gemuruh swaran ombake/ Kagurit dados puisi ring pasisi). Ketujuh puisi memuja-muji kerja keras Sang Kawiswara menciptakan aneka perasaan seperti pangling, sedih, klangen, kehilangan cinta, atau hati yang tertimpa duka-lara.
Kedua, dominan puisi sebagai media perenungan atau refleksi, bukan memberi nasehat. Kalau pun itu berupa nasehat, itu lebih nasehat kepada diri sendiri. Seperti bisa disimak daari puisi “Rasmi Sancaya Puisi” (yang menjadi judul antologi ini) yang menghargai tentang sepi sebagai tempat yang baik untuk merenung (rasa suwung/ Ngruruh rasmi sancaya nirbana kung/ Sujati luih kalintang puyung/..) atau puisi “Kalawangan” lewat kutipan agar puisinya ini menjadi cermin saat hati sepi (Dados sasuluh ri kala kesehe suwung). Sinonim yang muncul berulang adalah ‘suwung, puyung, mamung, sepi‘, semuanya menegaskan indahnya sepi.
Spirit menyanjung suwung ini identik dengan spirit dari Kidung Rasmi Sancaya yang menjadi sumber inspirasinya. Ketiga, amanat selain yang tersurat dan tersirat dari tema dominan adalah tentang pentingnya menjaga sastra sebagai dasar dari identitas Bali, seperti tercermin lewat puisi “Tresnane ring Sastra Bali” (Cinta pada Sastra Bali, p.35) dan “Ngiring Ajegang Sastra Baline” (Mari Bersama Ajegkan Sastra Bali, p. 44). Ajakan untuk mengenal sastra dan bahasa Bali karena ciri sebagai identitas Bali; jangan lupa akan sastra Bali karena menjadi orang Bali (p.44). Antologi ini seakan berpesan bahwa pentingnya menjaga sastra dan bahasa Bali bukan saja demi identitas tetapi media di mana keindahan adalah keniscayaan.
Antologi puisi Renganis (Renganis) karya Komang Sujana memuat 66 puisi dalam 90 halaman. Ada puisi pendek satu bait terdiri dari 8 kata atau 12 kata dipecah ke dalam tiga bait; ada juga yang agak panjang sampai dua halaman. Kekhasan dari antologi ini terletak pada orisinalitas bentuk, isi, dan ekspresi (disi).
Pertama, dari segi bentuk, puisi-puisi dalam antologi Renganis bervariasi, tetapi umumnya pendek, dengan menggunakan rima yang terjaga indah tetapi bukan syair atau pantun. Variasi bentuk ini membuat selera baca bebas dari kemonotonan. Selang-seling puisi agak panjang dan pendek juga membuat proses baca dan penyimakan jadi bervariasi.
Kedua, dari segi isi dan juga amanat, puisi-puisi Renganis yang berjumlah 66 judul ini hadir dengan tema yang heterogen, serba ada namun tidak berlebihan. Ada teman tentang panggilan untuk pelestarian kesenian seperti puisi “Renganis” seri 1-3 dan “Kanti Sastra”; tema kritik sosial seperti puisi “Punyah” (Mabuk) dan “Pesta kembang Api” yang dengan halus simbolik mengritik pejabat pesta pora dan lupa membantu rakyat kecil yang kotor dan homeless (tak punya rumah); dan tema ritual atau hari suci seperti hari raya “Galungan”, “Kuningan”, “Segehan” (sesajen), dan “Upacara Kedasa” (Ritual Purnama ke-10).
Ada juga empat puisi obituari, masing-masing dua judul untuk peneliti sastra Bali “I Gde Gita Purnama” dan sastrawan “I Dewa Raka Kusuma” atas keikhlasan dan bakatnya mengembangkan sastra dan sastrawan Bali modern (ngardi sastrane setata makalangan, p. 44).
Ketiga, dari segi ekspresi atau diksi, puisi-puisi Renganis tampil dengan pilihan kata yang orisinal, banyak metafora, dan kosa-kata simbolik dengan pluralitas makna yang menggairahkan keindahan puisi. Judul Renganis sendiri bisa berarti ‘irama [reng] manis’, ‘irama nis [kala atau magis] tak terlihat alias sepi’. Selain berarti ‘irama’, ‘reng’ juga berarti ‘dengarkan’, jadi renganis berarti mendengarkan (irama) yang manis atau yang nis atau magis, yang damai, yang santi.
Ketiga seri puisi Renganis sangat indah karena diksi, dan juga padat akan amanat, pentingnya melestarikan seni tembang yang bisa dikombinasi dengan karawitan dan pertunjukan berlakon.
Seni tembang khas Bali Utara ini dengan indah dilukiskan sebagai: renganis/ matembang dandang gendis/ suara nis// renganis suara sunia/ saking langit utara/ ngambara kalangkung/ katanggung ulangun/ sampunang kapandung//. Kedamaian magis yang diciptakan tembang renganis ini melampaui keriangan. Pesan penyair jangan sampai seni tradisi lisan ini (hilang) tercuri (kapandung).
Secara keseluruhan, antologi Renganis ini menyampaikan berbagai rasa berbeda (memuji atau mengritik) dengan indah dan santun tetapi amanat di dalamnya tetap kuat, tajam, dan menyayat.
*) Karya bersama, tidak dinilai
**) Esei berbahasa Indonesia hasil lomba kajian atas karya-karya sastra Bali modern, tidak dinilai