ASNAWI adalah salah satu anak muda yang tetap bertahan di desa. Dengan hanya menggenggam ijazah tsanawiyah, dia tidak memiliki banyak pilihan.
Anak muda yang berhasil meraih gelar sarjana tidak banyak yang bersedia bertahan di desa. Mereka tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ada yang bekerja di BUMN, perusahaan partikelir, atau menjadi ASN.
Bagi mereka yang tidak kuliah, ada yang menjadi TKI atau buruh pabrik dengan gaji UMK. Bekerja di bidang pertanian kurang begitu diminati oleh anak-anak muda itu.
“Orang tua saya buruh tani. Saya bersyukur bisa sekolah hingga lulus tsanawiyah. Kakak saya malah hanya sampai kelas 5 SD,” ujar Asnawi, anak muda yang tinggal di Ponggok, Blitar itu.
Setelah lulus sekolah, Asnawi tidak tahu hendak bekerja di mana. Usianya 15 tahun saat itu. Dia hanya berpikir untuk mulai mencari uang sendiri. Sebab dia tidak mau membebani bapaknya.
Beberapa kawan sebaya dengan pendidikan setara dirinya ada yang merantau ke Malang, Surabaya dan bahkan Jakarta. Tapi Asnawi bergeming. Dia memilih tinggal di desa.
“Saya tidak punya keberanian untuk merantau. Apalagi bekerja di luar negeri, selain juga butuh biaya cukup banyak,” ujarnya datar.
Anak muda berusia 23 tahun itu kemudian menawarkan jasa kepada salah satu tetangga, untuk memelihara kambing dengan sistem paron.
“Jika kambing dijual, saya mendapatkan bagian 50 persen.”
Suatu ketika Asnawi membeli molen di salah satu pedagang kaki lima di Srengat. Rupanya kudapan murah itu memikat lidahnya. Dia ingin tahu bagaimana cara membuat molen, sehingga bisa begitu lezat.
“Saya menawarkan diri untuk menjadi pembantu pedagang tersebut. Saya rela dibayar berapa pun.”
Gayung bersambut, esoknya Asnawi disilakan mulai bekerja. Anak muda itu girang. Selain bisa bekerja dan mendapatkan upah sekadarnya, dia juga bisa belajar membuat molen. Selepas bekerja, dia mencari rumput untuk kambing-kambing yang dipelihara di rumahnya.
Semula Asnawi hanya diminta untuk mengaduk adonan. Sampai akhirnya dia dipercaya untuk meracik adonan hingga menggoreng.
“Saat itu saya sudah menguasai bagaimana meracik komposisi tepung terigu, tepung kanji, gula, vanili dan garam. Untuk molen isi pisang biasanya menggunakan pisang tanduk.”
Asnawi ingin punya usaha sendiri. Setelah bekerja lebih dari lima tahun, dia pamit keluar dari pekerjaannya. Anak muda itu merasa sudah memiliki kecakapan untuk membuat molen.
“Saya ingin membuat usaha sendiri. Setelah saya berhasil mengumpulkan uang dari memelihara kambing dan menyisihkan gaji.”
Tiga bulan lalu Asnawi berhasil memujudkan mimpinya. Dengan modal awal Rp 6 juta, dia membeli gerobak dorong, peralatan masak dan berbagai bahan yang dibutuhkan.
Dia membuka usaha di depan rumah yang terletak di pinggir jalan yang menghubungkan Kota Blitar dengan Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung. Tempat usahanya memang cukup strategis.
“Saya tidak menyewa lahan, hanya minta ijin ke pemilik rumah. Ternyata saya mendapat ijin. Tapi saya harus menjaga kebersihan di sekitar tempat usaha.”
Usaha Anwari berkembang cukup pesat. Meskipun baru seumur jagung, kelezatan molen buatannya mendatangkan banyak pelanggan.
“Alhamdulillah, saya bisa menabung agar bisa segera mengembalikan modal usaha,” pungkasnya. [T]
Penulis: Made Wirya
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisMADE WIRYA