TUJUH hari berada di Malaysia, 24 -31 Desember 2024, saya punya banyak cerita. Tiga hari main-main di Kuala Lumpur, empat hari di Melaka. Ini adalah cara menutup dan membuka kembali bagaimana perjalanan, bagi saya, selalu menjadi kelas belajar.
Ini kelima kalinya saya berkunjung ke Malaysia, negara serumpun yang sangat identik dengan kartun fenomenal Upin Ipin. Dan saya selalu menemukan hal-hal baik untuk bisa dipelajari. Yang buruk-buruk, biasanya saya abaikan.
Malaysia tak sekadar Kuala Lumpur dengan Petronas Tower. Tak hanya KLCC Aquria, kuliner di Jalan Alor, Genting, bahkan tak juga hanya Cameron Highland.
Ada Kinabalu, Kuching dan masih banyak tempat dengan suasana alam yang bisa membuat kita takjub. Landskap alamnya tak jauh berbeda seperti Indonesia. Tapi itu pasti karena kita serumpun, yaitu Melayu.
Potret Melaka | Foto: Nyoman Nadiana
Tidak elok jika kita selalu membandingkan mana yang lebih maju, mana yang lebih baik dan seterusnya. Tetapi penting juga belajar dan mengetahui bagaimana mereka melestarikan, mem-branding dan menarik pengunjung ke negara Upin-Ipin itu.
Di Melaka misalnya, kita bisa belajar tentang bagaimana mengurus kota tua, tapi tidak terkesan rapuh.
Melaka adalah sebuah daerah yang paling tua di Malaysia. Perjalanan dari Kuala Lumpur saya tempuh dengan menaiki bus kurang lebih 4 jam. Perjalanan dimulai dari Terminal Bersepadu Selatan menuju Melaka Sentral station. Dan dalam perjalanan, hamparan bukit, kebun sawit dan parit-parit irigasi menandakan negara ini adalah salah satu penghasil sawit terbesar, sama seperti indonesia.
Menariknya, bukan sawit yang selalu kita ingat ketika menyebut Malaysia. Yang kita ingat adalah durian. Ini menarik.
Branding yang menjadi trend dan patron Malaysia adalah “durian”. Jika menyebut durian, kita akrab dengan nama-nama jenis dari buah itu, semisal musang king dan black thorn.
Saya tidak akan membahas sawit dan juga durian. Toh juga sama-sama pohon, penghasil oksigen. Haha.
Penulis di Melaka | Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Pertama kali menngunjungi Melaka, hawa gerah menyapa. Daerah ini dikelilingi laut, begitu kesan saya ketika sampai di daerah itu. Saya mengingat lagu dengan lirik Di Selat Malaka, sehingga saya teringat juga bahwa daerah ini dekat dengan kepulauan di wilayah Sumatra. Ya, memang. Melaka berbatasan dengan Provinsi Riau.
Kita dapat menyebrang dari Pelabuhan Dumai menuju Melaka, begitu kata sopir yang mengantarkan saya ke tempat menginap.
Potret Melaka | Foto: Nyoman Nadiana
Bangunan bercorak Portugis dan Eropa serta corak China menjadi daya tarik tersendiri bagi Melaka. Menjelang petang, saya berjalan kaki menuju pusat wisata dan kuliner “Jonker Street”. Ini jalan yang merupakan situs warisan budaya bangunan tua dan bersejarah yang dibelah oleh sungai di Melaka.
Dari kuliner khas Melaka, penjual souvenir, sampai restaurant dan kafe-kafe, semua menawarkan spesialisasi tersendiri. Aktifitas menaiki perahu keliling sungai menjadi aktifitas wisata yang sangat menarik, terlebih di malam hari dengan cahaya lampu kerlap-kerlip menambah romantisme suasana di sepanjang bangunan lawas tepi sungai.
Penulis di Melaka | Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Setiap keluar dan melakukan perjalanan, sungai , laut dan bangunan tua adalah pusat dan kemewahan dan sekaligus sumber sejarah bagi destinasi tersebut. Di setiap sudut, mulai dari gereja, museum dan benteng bersejarah semua berdiri megah dan dijaga di tepi sungai. Sungai adalah tuan rumah dan sekelilingnya ada penumpang yang harus mengikuti aturan tuan rumah.
Dan uniknya lagi untuk menarik orang yang datang, terkadang kita menemukan banyak gambar tentang keindahan alam beserta isinya. Gambar ini untuk dijadikan latar berswafoto. Unik, menggelitik dan kadang-kadang di luar nalar.
Oleh-oleh dari Melaka | Foto: Nyoman Nadiana
Membayangkan Melaka, terutama Jonker Street, saya membayangkan Pelabuhan Buleleng di Singaraja dengan pantainya, dengan sungainya. Ada juga bangunan tua, juga Klenteng, juga Masjid dan Pura.
Atau membayangkan Jalan Gajah Mada di Denpasar dengan sungai dan pasarnya.
Ah, tidak enak membandingkan Melaka dengan Buleleng atau Denpasar, toh tiket pesawat ke Malaysia lebih murah ketimbang dalam negeri. Tapi apakah kita terus membiarkan orang ke Melaka, padahal di negeri kita juga ada tempat seperti di Melaka. [T]
Penulis: Nyoman Nadiana
Editor: Adnyana Ole