TEORI struktur naratif menjelaskan susunan cerita dalam novel atau puisi yang panjang. Teori ini penting bagi pembaca ketika ia harus memahami bagian-bagian suatu cerita yang bersambung atau sangat panjang. Demikian pula bagi penulis, struktur naratif akan menjadi “denah” atau “peta perjalanan” ceritanya sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau pengulangan yang tidak disengaja.
Struktur naratif yang paling umum berupa bagian-bagian dalam cerita seperti dikenal istilah episode, bab, bagian, babak, atau apapun namanya yang digunakan dengan pertimbangan tertentu oleh pengarang. Epos Mahabharata misalnya dibagi menjadi 18 parwa dan epos Ramayana dibagi menjadi 7 kanda. Pada sastra cetak tanda-tanda susunan cerita sangat banyak variannya, misalnya pergantian bab menggunakan ilustrasi, judul bab dan sub bab. Ada yang menggunakan angka romawi atau angka arab. Umum pula menggunakan tanda * (bintang).
Yang dibicarakan dalam esai ini adalah tanda struktur naratif dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Di samping menggunakan “Bagian Pertama’, “Bagian Kedua”, “Bagian Ketiga’, “Bagian Keempat”, dan “Bagian Kelima” Ronggeng Dukuh Paruk juga menggunakan tanda *.
Ahmad Tohari menggunaka dua varian *, yaitu * (bintang 1) dan *** (Bintang 3). Kalau tidak dibaca dengan cermat tanda Bintang tersebut tidak bermakna apa-apa karena pembaca tetap berada di dalam suasana cerita atau alam Dukuh Paruk (kemiskinan, kebodohan, daya tahan, kemelaratan, prostitusi, kekayaan alam, kendali kekuatan roh Ki Secamenggala, perubahan sosial, dan pembangunan instalasi irigasi yang mangkrak sejak zaman Jepang oleh Orde Baru).
Setelah dicermati ternyata kedua jenis tanda * dalam Robggeng Dukuh Paruk yaitu * dan bintang *** memiliki fungsi yang sangat jelas. Memang Ahmad Tohari tidak hanya mengandalkan *. Untuk menyusun cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk ternyata Ahmad Tohari juga menggunakan penanda struktur naratif berupa “bagian”. Ronggeng Dukuh Paruk jilid pertama pertama adalah Ronggeng Dukuh Paruk dengan judul tambahan yaitu Catatan buat Emak terdiri atas empat bagian, lalu Lintang Kemukus Dini Hari terdiri atas lima bagian, dan Jantera Bianglala terdiri atas empat bagian. Seluruh trilogi terdiri atas 13 bagian.
Teori naratif juga menjelaskan teknik pengarang dalam menyampaikan kisahnya. Secara umum ada dua, teknik aku dan teknik orang ketiga. Ahmad Tohari menggunakan teknik orang ketiga. Namun karena sesuatu pertimbangan, yaitu pertimbangan keintiman atau kedekatan secara batin dengan tokoh (dalam hal ini Rasus), Ahmad Tohari juga menggunakan penceritaan aku. Campuran teknik cerita Ayu Utami dalam novel Saman telah dilakukan oleh Ahmad Tohari dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Penceritaan aku dilakukan oleh Rasus.
Rasus adalah tokoh penting dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Ia adalah laki-laki desa yang gagah, korban yang selamat dari musibah keracunan tempe bongkrek, senasib dengan Srintil, dan berobsesi menemukan kuburan emaknya. Lalu karena peran penting itulah Ahmad Tohari memberikan ruang khusus bagi Rasus untuk bercerita dengan menggunakan teknik aku. Pada bagian itu Ahmad Tohari menggunakan tanda ***. Namun maksud yang sama juga ditandai dengan * (Jantera Bianglala, halaman 205). Padahal tanda yang sama digunakan menyajikan cerita sisipan yang cukup panjang pada Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala.
Cerita sisipan adalah cerita yang melebar atau berkembang jauh dari persoalan inti. Namun demikian, masih terasa berhubungan. Dan, pada kondisi naratif seperti ini, Ahmad Tohari (atau editor) merasa perlu memberi tanda bagi pembaca.
Penggunaan teknik bercita aku dalam hal ini yang bercerita adalah Rasus muncul di dalam bagian pertama trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yaitu bagian yang paling banyak dan mendalam menceritakan obsesi Rasus dalam menemukan di mana makam emaknya. Tanda bercerita aku pada jilid pertama ini adalah ***. Ketika membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk jilid 1 pembaca menemukan *** yang menunjukkan peralihan (atau sisipan) teknik naratif dari teknik orang ketiga ke teknik orang pertama. Mengapa pengarang beralih teknik naratif?
Jilid pertama Ronggeng Dukuh Paruk mengungkapkan bahwa pada bagian-bagian pengarang menggunakan teknik narasi aku adalah bagian yang paling intim dari pengalaman batin Rasus ketika ia harus menghadapi kenyataan yang berbeda dari obsesinya, yang semula ia ingin menemukan tokoh emak pada Srintil. Tetapi kenyataan Dukuh Paruk mengatakan bahwa Srintil adalah ronggeng. Ia milik orang-orang Dukuh Paruk dan milik para laki-laki hidung belang. Jelas Rasus tidak bisa menerima kenyataan ini.
Pada bagian atau tahapan yang paling penting metamorfose seorang ronggeng yaitu pada saat seorang calon ronggeng diwisuda dengan cara melepaskan keperawanannya kepada laki-laki yang memenangkan lelang, yaitu pada acara malam buka kelambu; Rasus mendapatkan keperawanan secara sukarela dari Srintil sendiri. Dengan setengah hati karena Rasus harus menghapus bayangan emaknya pada diri Srintil; bagi Srintil adalah pemberian atau persembahan seorang perempuan kepada laki-laki yang dicintainya; atau Rasus telah membayarnya dengan sebilah keris ronggeng; untuk kali ini Rasus-lah yang memerawani Srintil. Jadi malam buka klambu adalah omong kosong. Pasangan dukun ronggeng Ki dan Nyai Kertareja telah ditipu oleh Srintil dan Rasus.
Penggunaan *** untuk menandai narasi aku Rasus atau teknik bercerita aku yang dilakukan oleh Rasus terjadi tiga kali pada jilid pertama novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu pada halaman 64, 110, dan 160. Tiga kali penggunaan teknik bercerita aku lebih mendekatkan pengalaman batin Rasus secara khusus, untuk menegaskan dilema dan obsesi Rasus dalam menemukan dimana makam emaknya setelah peristiwa keracunan tempe bongkrek. Narasi orang ketiga yang mendominasi trilogi ini menghadirkan konstelasi Srintil, Rasus, dan tradisi ronggeng di Dukuh Paruk.
Lewat narasi orang ketiga, Rasus memeram relasi batin yang bertolak belakang dalam batinnya. Pada satu sisi adalah Srintil sebagai bayangan emaknya dan pada sisi yang berlawanan Srintil adalah calon ronggeng. Pada diri Srintil terungkap bahwa ia ada dalam relasi yang juga bertolak belakang antara menjadi ronggeng dan mencintai Rasus. Rasus memang melakukan hubungan badan di luar pengetahuan Ki dan Nyai Kertareja setelah ia berjuang untuk menghapus bayangan emaknya pada Srintil yang sejak malam itu, Srintil resmi menjadi ronggeng.
Hubungan ini pernah gagal di areal makam Ki Secamenggala tadi siangnya sebelum malam buka kelambu; diulangi secara lebih leluasa pada bagian akhir Catatan buat Emak, ketika Rasus untuk waktu yang lama akan meninggalkan Dukuh Paruk karena masuk tentara. Melalui hubungan ini Srintil mengira akan menjadi istri Rasus dan mendapatkan anak. Rasus tegas menolak karena ia meniduri Srintil seperti laki-laki pelanggan ronggeng. Tidak ada lagi bayangan emak pada Srintil. Perempuan seperti Srintil pun di mata Rasus adalah pemuas birahi.
Pada trilogi Ronggeng Dukuh Paruk jilid kedua yaitu Lintang Kemukus Dini Hari Ahmad Tohari ternyata sama sekali tidak menggunakan teknik bercerita orang pertama seperti dalam jilid pertama. Artinya, pada bagian Lintang Kemukus Dini Hari Rasus tidak dihadirkan. Dengan konsep teknis ”dihadirkan” ini ternyata teknik bercerita aku untuk Rasus tidak hanya digunakan untuk menunjukkan dan memebri pembaca pengalaman batin yang intim dan mendalam karena tokoh bercerita sendiri dari dalam pikiran dan batinnya serta pengalamannya, teknik bercerita aku khusus untuk Rasus digunakan oleh pengarang juga untuk menunjukkan kehadiran tokoh ini.
Munculnya tanda * untuk menandai teknik bercerita aku Rasus muncul dalam bagian akhir Jantera Bianglala menimbulkan pertanyaan. Mengapa novel ini menggunakan tanda naratif untuk menandai penggunaan teknik narasi aku (Rasus) dengan dua tanda yang berbeda? Untuk tujuan yang sama digunakan tanda *** (Catatan buat Emak) dan * (Jantera Bianglala). Apakah ini kealpaan, edior, pengarang?
Dalam Lintang Kemukus Dini Hari (halaman 93, 110, 160) dan Jantera Bianglala (hal 56, 120, dan 170) pengarang menggunakan * untuk menandai cerita-cerita sisipan yang panjang dan membawa perubahan suasana cerita yang dirasakan oleh pembaca. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa bagian cerita yang diberi * mulai menjauhi cerita inti namun tetap terasa memiliki hubungan. Karena pengarang/editor sangat cermat maka dipandang perlu menggunakan tanda struktur naratif * untuk menyampaikan cerita-cerita sisipan.
Tanda * mulai digunakan pada trilogi Ronggeng Dukuh Paruk jilid kedua yaitu Lintang Kemukus Dini Hari. Di dalam jilid ini * digunakan untuk menandai tiga cerita siispan. Tanda * (halaman 32) menceritakan kehadiran pertemuan Srintil dengan sepasang suami istri pengamen kecapi, Wirsiter dan Ciplak. Materi yang disampaikan di dalam cerita sisipan ini adalah suka duka kehidupan pengamen pasar dan pengetahuan tentang musik, serta teknologi kecapai sebagai kekayaan budaya bangsa.
Cerita sisipan ini tetap terasa berhubungan dengan cerita inti karena Srintil berada di dalam cerita sisipan tersebut. Hubungan antara cerita sisipan dengan cerita inti terasa longgar. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Tohari atau editor memberi tanda *. Jika tidak bisa dikatakan teknik mengembangkan materi novel, untuk menambah jumlah halaman, cerita sisipan berfungsi untuk memperkaya pengetahuan. Karena pengetahuan itu sangat penting pada banyak prosa atau puisi, pembaca pun menilai kualitas sastra dari khazanah pengetahuan yang disertakan.
Cerita sisipan kedua (hal. 93) adalah pertemuan Dilam dan Marsusi. Dilam bukanlah tokoh penting seperti Marsusi (kepala perkebunan karet, orang kaya, lelaki hidung belang, pelanggan Srintil dengan berani membayar paling mahal, dan pada Jantera Bianglala bermaksud menikahi Srintil) dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Cerita sisipan ini tidak berpusat pada tokoh cerita tetapi pada materi. Keduanya pergi ke kakek Tarim, dukun santet yang sakti, di Kalipucang. Tujuan mereka sama, meminta bantuan dukun ngelmu Tarim untuk membunuh seteru mereka masing-masing. Marsusi ingin membunuh Srintil karena ronggeng ini telah membuatnya malu dengan menolak tawaran menari kembali di acara Agustusan di Dawuan.
Dilam mencari dukun pembunuh karena ada orang yang meracuni kerbaunya sekaligus dua ekor dalam satu malam, gara-gara kerbaunya masuk ke perkebunan seseorang dan permohonan maaf dan pengajuan ganti ruginya ditolak. Sebagai imbalan, pada malam harinya, dua ekor kerbaunya mati. Setelah disembelih, perutnya dikeluarkan lalu dibuang ke kolam dan ikan-ikan di kolam itu mati, sebagai pertanda kerbau itu makan racun.
Untuk membalas sakit hatinya Dilam ke Kalipucang. Cerita ini menunjukkan bahwa tidak setiap permintaan dipenuhi oleh dukun ngelmu. Marsusi urung meminta bantuan untuk membunuh Srintil setelah melewati dialog antara dirinya dan kakek Tarim. Setelah kakek Tarim berhasil menjalankan aksinya, tinggal sekarang Dilam berjuang untuk menenangkan dan meyakinkan dirinya bahwa tindakannya itu benar. Perasaan lega justru ada pada diri Marsusi.
Cerita sisipan kedua (hal. 110) mengenai kegembiraan melanda Dukuh Paruk karena Srintil kembali menari pada malam Agustusan. Cerita sisipan ini mengingatkan peristiwa terdahulu ketika untuk pertama kalinya Srintil menjadi ronggeng. Ki dan Nyai Kertareja sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Masih berhubungan dengan Srintil dan ronggeng, cerita sisipan ketiga (hal. 160) terjadi di Alaswangkal, di rumah Sentika. Kali ini pentas ronggeng Srintil dalam rangka pembayaran hajat atau kaul menanggap ronggeng. Keluarga Sentika memiliki lima anak dan empat orang perempuan. Satu-satunya laki-laki, Waras, adalah anak bungsu. Ia mengalami masalah seksual, tidak memiliki naluri birahi. Tugas Srintil kali ini adalah mengembalikan Waras sebagai laki-laki, seperti harapan kedua orang tuanya.
Kajian terhadap struktur naratif dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan melihat bahwa ditemukan penggunaan* baik * maupun *** maka dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut. Tanda * (satu) digunakan oleh pengarang untuk menyajikan cerita-cerita sisipan yang panjang dan hubungan materialnya dengan materi inti sudah terasa longgar. Namun demikian, pembaca tetap merasakan ada ikatan dengan cerita inti.
Di samping menggunakan *, pengarang juga menggunakan*** untuk melakukan peralihan sudut pandang atau teknik bercerita, dari teknik cerita orang ketiga yang digunakan untuk seluruh trilogi, pada bagian tertentu, ketika pengarang menghadirkan tokoh Rasus secara intim, mendalam, dan lebih batiniah. Maka pengarang mengubah teknik cerita orang ketiga menjadi teknik cerita aku (orang pertama).
Cerita yang dimulai dengan *** adalah sudut pandang Rasus. Tokoh ini dihadirkan secara khusus melalui struktur naratif yang ditandai dengan bintang ***. Perlu diberi catatan kecil bahwa terjadi kekeliruan atau ketidakkonsistenan dalam penggunaan *** karena pada Jantera Bianglala tanda * (satu) sama fungsinya dengan*** (tiga). Seharusnya pada bagian cerita tersebut dimulai dengan ***. Padahal di sini yang bercerita adalah Rasus.
Ketika masih kecil aku sering keluar dari Dukuh Paruk malam hari bersama teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Wayang kulit itu. Dunia kecil berbumi batang pisang bermatahari lampu blencong telah berjasa besar meletakkan dasar-dasar wawasan pada diriku tentang kehidupan ini. Para dalang telah menanamkan pada diriku yang masih anak-anak nilai-nilai dasar yang waktu itu ku yakini sebagai kebenaran sejati [….] (Jantera Bianglala, hal. 205)
Struktur naratif memang telah menjadi suatu kajian ilmiah dalam berbagai studi teks sastra. demikian pula halnya dalam film, music, lukisan,, arsitektur, dan desain. Struktur naratif tidak hanya identik dengan sastra. Struktur naratif terkait dengan susunan elemen-elemen pembangun karya seni. Dalam teori teks struktur naratif adalah bangunan sebuah teks. Studi terhadap struktur naratif novel kurang berkembang karena dianggap kering ketimbang studi sastra secara ekstrinsik. Jangan lupa bahwa struktur naratif sebagai kajian kritik atau studi ilmiah telah cukup lama berkembang dan telah menghasilkan satu genre cerita. Hal ini tampak pada cerita berbingkai.
Istilah cerita berbingkai lahir dari sumbangan kajian struktur naratif. Kajian-kajian tentang morfologi cerita yang berkembang di Rusia itu juga sumbangan kajian struktur naratif. Bahwa dongeng-dongeng Rusia dibangun oleh struktur naratif yang tetap. Apapun judulnya, sebuah dongeng selalu disusun dalam pola tertentu atau dalam morfologi tertentu. Teori teks memang lebih menegaskan bahwa struktur naratif teks adalah pilihan hadirnya sebuah teks dan menjembatani kepentingan penulis dan pembaca. [T]
BACA esai-esai lain dari penulis I WAYAN ARTIKA