AWALNYA tak terlintas dalam benak saya kalau yang akan pentas di Panggung Budaya Denpasar Festival 2024 malam itu, adalah para mahasiswa dari kampus saya sendiri–UPMI Bali. Ketika para penabuh dan gerong keluar dari belakang panggung, kemudian duduk di posisinya masing-masing. Saya baru sadar, kalau mereka adalah mahasiswa UPMI Bali. Pantas saja wajah-wajahnya tidak asing.
Rabu malam, 25 Desember 2024 di Panggung Budaya—sisi selatan Lapangan Puputan Badung, Denpasar. UPMI (Universitas PGRI Mahadewa Indonesia) Bali punya kesempatan untuk turut memeriahkan perhelatan Denpasar Festival 2024. Mereka mendapatkan giliran tampil kedua setelah pementasan Barong Landung Mepajar. Skuad UPMI Bali tampil tepat pada pukul 19:00 – 19.30 Wita. Memang porsi waktu untuk semua penampil di Panggung Budaya hari itu hanya dibatasi 30 menit saja. Waktu yang relatif singkat untuk menampilkan sebuah pementasan drama.
Hari itu merupakan pelaksanaan hari keempat sekaligus hari terakhir perhelatan Denpasar Festival 2024. Volume pengunjung hari itu begitu membludak, berbeda dari tiga hari sebelumnya. Apalagi ketika hari kian malam, pengunjung semakin ramai berdatangan, memadati seluruh areal Denfest 2024. Tak terkecuali di Panggung Budaya.
Ini adalah pertama kalinya UPMI Bali unjuk gigi di Denpasar Festival 2024. Kala itu, beberapa mahasiswa dari program studi Pendidikan Seni, Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik), UPMI Bali menyajikan drama yang berjudul “Putri Ayu”. Para mahasiswa itu melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang menjadi penabuh, ada yang menjadi gerong (paduan suara pengiring gamelan), ada yang menjadi penari latar, dan tentunya ada yang menjadi pemain drama.
Para mahasiswa UPMI Bali saat beradu akting | Foto: tatkala.co/Dede
Para mahasiswa itu juga ditemani oleh dua dosen UPMI Bali sekaligus seniman Bali yang sudah malang melintang di dunia seni pertunjukan, yaitu I Wayan Sugama, S.Sn., M.Sn. alias Codet dan I Ketut Muada, S.Sn., M.Sn. alias Joblar. Mereka berdua juga turut bermain drama bersama para mahasiswa, sekaligus menjaga alur cerita agar tetap berada di relnya.
Drama “Putri Ayu” ini secara sederhana menceritakan tentang suatu daerah yang permai, memesona, dan penuh kebahagiaan. Banyak orang berbondong-bondong berdatangan dan ingin tinggal di sana. Selain untuk menikmati keindahan yang menyejukkan hati, juga sebagai tempat untuk mengadu nasib demi bertahan hidup. Daerah yang permai dan bahagia itu adalah Denpasar.
Dosen UPMI Bali, I Wayan Sugama, S.Sn., M.Sn. atau akrab dikenal dengan nama panggung Codet, yang pada kesempatan tersebut menjadi inisiator sekaligus koordinator drama “Putri Ayu” mengatakan, ide cerita drama “Putri Ayu” ini didapat dari internet, akan tetapi dirombak kembali dan disesuaikan dengan tema yang diusung Denpasar Festival 2024, yaitu “Ngarumrum Kerta Langu: Kilau Denpasar”.
“Makna di balik Putri Ayu itu, ibarat sebuah daerah yang cantik, harum, bahagia, dan pasti disukai oleh banyak orang. Ketika orang banyak menyukai, pasti akan banyak juga orang yang akan datang. Untuk mengenal daerah itu lebih dalam, makanya ada salah satu dialog dari Putri Ayu “jika ingin mengenal Putri Ayu lebih dalam, tinggalah di sini, maka Anda akan lebih banyak tahu”. Daerah yang harum itu diandaikan dengan Kota Denpasar,” jelas Wayan Sugama.
I Wayan Sugama alias Codet saat membuka pementasan | Foto: tatkala.co/Dede
Pentolan Arja Muani Printing Mas itu juga mengungkapkan, kendala yang pasti selalu ditemui saat berproses adalah kesulitan mengatur waktu di antara para pemain. “Karena kita berbanyak, pasti waktu latihan itu berbentur. Jadi ketika latihan, ada yang bisa datang, ada juga yang tidak. Nah ini permasalahan yang selalu kami hadapi dalam setiap prosesnya,” ungkapnya.
“Intinya, kita ingin berbuat jauh lebih banyak. Lewat drama ini, harapannya kita bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat terhadap masyarakat, terutamanya di kota Denpasar dalam bentuk hiburan dan edukasi yang estetis. Selain itu, kesempatan ini juga menjadi ajang untuk kita bisa mempromosikan UPMI Bali kepada masyarakat kota Denpasar dan masyarakat dari daerah lain yang datang pada saat itu,” kata Wayan Sugama penuh harap.
Drama “Putri Ayu” di Denpasar Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
Selain itu, yang membuat drama “Putri Ayu” pada malam itu menjadi semakin menarik adalah dari instrumen pengiring yang digunakan. Drama itu diiringi oleh musik kolaborasi ala program studi Pendidikan Sendratasik, UPMI Bali, yang menggunakan alat musik tradisional seperti gangsa, jublag, kendang, tingklik, kajar, ceng-ceng ricik, klentong, dan gong yang dipadupadankan dengan alat musik modern seperti chimes, gitar, bass, dan kajon. Perpaduan dua elemen musik yang berbeda itu mampu menciptakan suasana yang riang gembira, ekspresif, dan aktraktif. Sangat sesuai dengan jiwa drama tersebut.
Dalam penggunaan bahasa, mereka juga dominan menggunakan bahasa Indonesia, walaupun terkadang ada pula beberapa ungkapan dan celetukan bahasa Bali yang digunakan untuk mencairkan suasana. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan tentu bukan tanpa sebab, yang pasti agar bisa dimengerti oleh para pengunjung Denpasar Festival yang heterogen.
Para penonton tampak begitu antusias menyaksikan pementasan drama tersebut. Beberapa kali juga mereka tampak lepas tertawa akibat celetukan dan lelucon dari Codet, Joblar, dan mahasiswa pemain drama yang lainnya. Drama “Putri Ayu” dikemas dengan amat mengasyikan, malah lebih mengarah seperti pertunjukan lawak yang menggelitik.
Drama “Putri Ayu” di Denpasar Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
I Ketut Muada alias Joblar (kiri), Ni Kadek Dewi Setiari alias Cantika (tengah), dan I Wayan Sugama alias Codet (kanan) saat beradu akting | Foto: tatkala.co/Dede
Sayangnya, pementasan yang mengasyikan itu harus terhalang oleh waktu yang begitu singkat. Pertunjukkan yang berlangsung selama 30 menit itu, menjadi penampilan yang begitu singkat bagi mereka. Barangkali estimasi waktu tampil tidak sesuai dengan yang diprediksi sebelumnya.
Ni Kadek Dewi Setiari atau akrab disapa Cantika, mahasiswi semester V di program studi Pendidikan Sendratasik itu mendapatkan tugas untuk memerankan tokoh utama, yaitu Putri Ayu. Cantika mengatakan sangat senang dan bangga bisa terlibat dalam pementasan drama “Putri Ayu” itu. Mengingat, tampilnya juga di salah satu festival besar, yaitu Denpasar Festival 2024. Tetapi, selain diselimuti kesenangan, Cantika juga dirundung rasa kecewa dan tidak puas.
“Jujur saya sangat senang sekali, tetapi senangnya bercampur kecewa dan ketidakpuasan. Karena kita tampil dikejar waktu yang singkat, hanya 30 menit. Jadi ada beberapa bagian yang harus terpotong, dan jadi terkesan kurang jelas,” ucap pemeran tokoh Putri Ayu itu.
Kendati demikian, mereka memang orang-orang yang dapat diandalkan. Menghadapi situasi semacam itu, langkah cepat diambil dengan memotong beberapa bagian cerita. Meski terkesan menjadi kurang nyambung, tetapi pesan atau inti cerita masih bisa tersampaikan dengan tuntas kepada penonton, dan yang terpenting dari sebuah pementasan adalah ‘menghibur’.
Semua penari dan pemain drama menari dan bernyanyi bersama mengakhiri pementasan | Foto: tatkala.co/Dede
Sesi foto bersama para penabuh, gerong, penari, dan pemain drama “Putri Ayu” di Denpasar Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
Terlepas dari segala hambatan yang mereka hadapi, pementasan drama “Putri Ayu” berhasil memukau penonton. Hal itu dapat dilihat dari riuh tepuk tangan dan derai tawa yang mengalir cair selama drama berlangsung. Para penonton juga beberapa kali mengabadikan pementasan drama tersebut dengan gawainya masing-masing.
Ketika sampai di ujung pementasan, setelah cerita drama telah tuntas tersampaikan, para penari serta pemain drama lainnya pun mengakhiri pementasan dengan menari dan bernyanyi bersama-sama. “Sayonara sampai jumpa, sayonara sampai jumpa, sampai jumpa lain hari, bila ada kesempatan, kita akan menari lagi”, begitulah lirik lagu yang mereka senandungkan berulang kali.
Sembari menari dan bernyanyi, mereka beranjak perlahan menuju ke belakang panggung. Pementasan pun ditutup dengan riang oleh I Wayan Sugama alias Codet, dengan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada seluruh penonton. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole