SETELAH tongkat trisula itu ditancapkan di sebuah tongkok, pintu pameran seni bertajuk “Peta Tanpa Arah” pun dibuka. Pameran itu dibuka oleh Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd. selaku Dekan Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Jumat, 27 Desember 2024. Pameran akan ditutup pada 10 Januari 2025.
Pameran itu diisi oleh 21 mahasiswa prodi Pendidikan Seni Rupa semester 7 di Galeri Paduraksa, FBS.
“Seni bukan hanya memberikan ruang untuk kontemplasi. Tapi juga memaknai pesan,” kata I Gede Nurjaya, Dekan FBS itu.
Para pengunjung yang di antaranya adalah dosen dan mahasiswa lintas jurusan mulai bergegas masuk setelah pintu pada ruang pameran itu dibuka. Instrument musik jegog yang keluar—dalam ruangan menyambut mereka datang. Berderet lukisan dan beberapa karya kriya, tekstil dan prasi—cukup menarik perhatian semua mata.
Terlebih lima ekor anjing digantung tanpa suara mengorok di sebuah tembok dekat pintu masuk. Ironis. Mata anjing itu pasrah sedih dengan lidah ngelel di mulut berdarah. Anjing itu mati di kanvas ukurun 130 x 80 cm dengan judul “Who Is The Next?” karya I Made Bayu Saka.
Bayu menunjukkan karyanya | Foto: tatkala.co/Son
Dengan teknik menumpuk beberapa warna pada lukisannya, Bayu Saka cukup memberi teror mengerikan. Ia menggambarkan anjing itu tersiksa dengan latar merah—darah.
“Ide dari lukisan yang saya buat memvisualkan ketimpangan atau kenistaan hewan (anjing) yang hidup di sekitar kita. Penampilan dari figure anjing yang merasakan ketidakadilan sehingga terabaikan oleh sifat manusia,” kata I Made Bayu Saka.
Secara sederhana, Bayu Saka merasa tidak suka jika anjing dimakan manusia, atau sebaliknya. Ia seakan ingin mempertegas kalau ikan lele boleh dimakan, kalau anjing jangan. Anjing jangan disiksa. Digebuk atau ditindih batu. Apalagi, “Naik Anjing aja, Naik Anjing”—JANGAN!
Memandang lukisan karya Bayu itu, saya memikirkan masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia terbiasa makan daging B1 (anjing) sebagai hidangan khasnya. Dan hal itu, sebagaimana dalam lukisannya, hal-hal yang diprotes Bayu. Secara sederhana Bayu merasa kasihan pada anjing.
Hal itu tentu saja pikiran yang amat sederhana. Bagaimana kalau Bayu mengarahkan narasi, misalnya, ia membenci satu komunitas penyiksa anjing. Yang ketika anjing disiksa, si penyiksa merasa puas dan bahagia. Pula setelah anjing disiksa, mayat anjing digelontorkan di jalan atau digantung tanpa hormat. Itu barangkali lebih terasa protesnya.
Suasana pameran Peta Tanpa Arah di Undiskha | Foto: tatkala.co/Son
Tetapi kritik sosial tentang cinta kasih pada anjing lokal, melalui lukisan “Three Brother”, Made Bayu bolehlah dikatakan cukup menimpuk manusia kota yang kerap mengurus anjing-anjing top global ketimbang top lokal—sebagai pets.
Anjing lokal kerap ia lihat berserakan di jalan luntang-lantungdengan gudik. Sedangkan anjing impor, diajak jalan-jalan pagi menggunakan troli bayi dengan asik. Sehat. Jadi, siapa yang anjing?
Seorang pengunjung, Andi Wiryatama, tampak berdiri cukup lama di depan lukisan itu, lalu segera pergi setelah agak lama menatap lukisan dan mengobrol banyak hal.
Ia lanjut berkelana melihat-lihat isi pameran sampai mentok di lukisan tubuh telanjang milik Ni Made Sahsikirani dengan tajuk “Milikmu”, kemudian mentok lagi ke belakang tembok itu melihat beberapa karya patung dan beberapa karya lukisan dan photografi, hingga DKV.
Setelah 15 menit ia mondar-mandir dan merasakan secara detilnya karya-karya yang dipamerkan di sana. Tampaknya ia merasa puas hari itu karena dapat mengobrol langsung dengan si pemilik tentang proses kreatifnya.
Perjamuan Minimalis
Sementara di pojok kiri ruang pameran, ibu dosen—Bu Witari, duduk di kursi (karya seni tekstil) dengan hiasan dinding penuh corak dan warna yang menarik.
Ada empat karya di pojok kiri itu, yaitu hiasan dinding, hiasan kursi dan meja, dan hiasan lampu dengan judul “Hunian Penuh Untaian” karya Ni Luh Putu Vanehsa Axelia Damayanti.
Perjamuan flora dan fauna di ruang pameran | Foto: tatkala.co/Son
Anyaman makrame dan Bu Dosen | Foto: tatkala.co/Son
Vanesha tampaknya sangat perhatian dengan tali-temali yang ia rajut. Tak sedikitpun karyanya menyon atau off side dari pola yang ia buat. Apik. Walaupun visual yang ditampilkan hanya memperlihatkan bagaimana anyaman makrame yang menjadi hiasan dekorasi pada sebuah ruangan terbatas. Tapi itu cukup memberi kesan sederhana dan minimalis yang nyaman untuk hidup slow living.
Anyaman tali katun berwarna putih tampak manis dipadu-padankan dengan cahaya lampu berwarna jingga. Meja di bawahnya jadi lebih menarik dilihat karena anyaman taplak meja yang berwarna hijau toska. Bantal kursi coklat dapat membantu rasa nyaman seseorang saat duduk di kursi itu.
Hiasan dinding di belakangnya juga dapat dinikmati secara visual karena memiliki perpaduan warna dan corak yang beragam. Menandakan gejolak emosi si pembuat.
“Suatu saat, nanti saya akan membuatkannya untuk rumah sendiri,” kata Vanesha berencana.
Dengan jarak yang tak jauh dari ibu dosen yang sedang mampir di Hunian Vanesha, Andi Wiryatama mengambil tempat duduknya di sebuah perjamuan “Flora dan Fauna” karya Ketsia Rahel yang tak jauh dari karya tekstil tadi.
Di sana, terdapat beberapa karya keramik yang berbentuk bulatan menyerupai bentuk seperti piring yang di atas piring itu dibentuk dengan bentuk flora seperti bunga mawar, bunga matahari, bunga raflesia, bunga teratai, dan bentuk fauna seperti kepiting, kuda laut, dan gurita.
Perjamuan itu diletakkan di meja berbentuk bundar dengan beberapa kursi untuk pengunjung duduk menikmatinya. Bukan untuk dimakan. Hidangan itu hanya untuk dinikmati secara visual. Boleh disentuh sedikit, tapi tidak boleh digigit. Awas retak!
Menariknya, untuk menentukan binatang apa yang akan dibuatnya, Rahel —telah menghabiskan waktu sekurangnya satu bulan untuk melakukan pertapaan di ruang kelas atau kamarnya. Juga dengan segala macam konsultasi sana-sini dalam menentukan, hewan apa yang akan di bentuk.
Ada banyak binatang di dunia ini. Ada buaya di sungai dan kucing di darat. Ada ikan emas juga di pasar. Atau mengapa pilih cumi-cumi dan kura-kura serta kuda laut?
“Karena bentuknya yang unik. Kalau ikan dan kucing, itu sudah biasa,” jelas Rahel.
Pameran kriya Perjamuan Folar dan Fauna | Foto: tatkala.co/Son
Dalam proses pembuatannya, perempuan asal Medan itu telah menghabiskan delapan kilo tanah dan membutuhkan tiga sampai empat hari untuk membuat satu perjamuan. Pertama, ia membuat piringnya terlebih dahulu dengan alat memutar atau mesin, kemudian barulah miniatur flora atau atau fauna itu dibuatnya menyusul setelah agak kering si piring.
Yang membuat lama, lanjut Rahel, terkadang ada yang tidak sesuai sama bentuknya, bongkar lagi. Apalagi kalau pecah, katanya, diulangi lagi dari awal. Terus terkadang juga retak ketika sudah setengah kering. Membuat pikirannya koprol satu hari di hadapan tanah liat.
Di perjamuan karakter kura-kura, ia menggambar laut dan pasir. Bercerita kura-kura itu hendak pergi ke laut dari pesisir. Hanya saja, pewarnaannya dengan cat akrilik menutupi bahan dasarnya dari tanah liat, sehingga, untuk dikatakan ini jenis keramik atau bukan, membuat misteri para pengunjung karena tertutup oleh cat. Sehingga tidak ternikmati secara mendalam bahwa itu dari tanah liat, bukan dari kertas atau kayu.
Kata seorang dosen, cerita Rahel, “Harusnya menggunakan cat untuk gelatsir bukan akrilik biar terlihat karakter tanahnya!”
Bagaimana menurut, Bung Andi?
“Keren!” kata Andi Wiryatama.
“Oke!” kata saya. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole