LIMA lelaki muda dengan udeng (ikat kepala) dan baju hitam, duduk memainkan gamelan selonding di atas panggung terbuka di depan Pura Bukit Gumang, Desa Bugbug, Karangasem, Bali, Rabu, 25 Desember 2024. Lima lelaki itu sedang memainkan selonding pada event Selonding Bali Aga Fest 2024.
Tangan mereka seperti melayang di atas bilah-bilah selonding, mengayun dan memukul. Terdengar kemudian irama yang indah, memecah perhatian penonton yang ada di depan stage gerbang Pura Bukit Gumang itu.
Salah satu dari lima pemain selonding di atas panggung itu adalah I Kadek Janurangga. Ia merupakan pemain selonding sekaligus komposer karya berjudul Yehniti yang sedang dimainkan itu.
I Kadek Janurangga memang menjadi salah satu guest star composer yang dihadirkan di rangkaian sesi “Neo Selonding” pada festival selonding di desa Bugbug itu. Sesi Neo Selonding dihadirkan sebagai ruang pagelaran karya kreatif dengan menggunakan selonding sebagai media ungkap dan sentuhan progresif. Di sesi ini, komposer yang diundang sebagai guest star composer memainkan dua karya, satu karya klasik dan satu karya kreatif.
Malam itu, Janurangga memulai penampilannya dengan memainkan Rejang Gucek, salah satu gending gamelan selonding klasik. Karya klasik ini dibawakan sebelum repertoar Yehniti dimainkan.
Selanjutnya pada repertoar Yehniti, Janurangga tidak ikut main. Ia memilih empat penabuh yang terdiri dari Komang Rama Maha Gangga Putra (Musisi Gong), I Kadek Saiwa Dwitya Arta (Kempul), I Made Suryanata (Nn. Ageng) dan Pande Putu Jodi Prasetya (Nn. Alit).
Saat MC (Master Of Ceremony) membacakan sinopsis Yehniti, di panggung sudah ada dua orang dengan posisi paling depan berhadap-hadapan dan dua orang lagi duduk di belakang.
Kadek Janurangga | Foto; tatkala.co/Rusdy
Bersamaan dengan lampu panggung yang mulai menerang, saat itu pula tangan penabuh sudah memegang panggul selonding, alunan selonding yang terdengar kemudian begitu tidak biasa, benar-benar terdengar berbeda dengan karya gending klasik yang dimainkan sebelumnya. Kadang terdengar menggebu-gebu, kadang juga mendayu-dayu. Sesekali mirip seperti gemercik batu kerikil yang jatuh di atas air.
Bagi orang yang terbiasa mendengar gending-gending selonding klasik akan merasa aneh sekaligus takjub mendengar repertoar Yehniti. Komposisi bunyi yang tak bisa ditebak.
Malam itu, Janurangga menampilkan sedikit bentuk atraktif. Empat penabuh mengerumuni selonding, ada dua instrumen di tengah—yang seharusnya diisi oleh dua orang lagi untuk memainkannya—malah instrumen itu dimainkan pula sekaligus oleh keempat penabuh yang sudah memiliki instrumen utamanya masing-masing. Sehingga penampilan mereka tampak atraktif untuk sebuah pementasan gamelan selonding. Semacam mencari pembaharuan atau berusaha menciptakan energi-energi baru atau kekinian.
Dalam sinopsisnya, Yehniti merupakan karya musik baru untuk gamelan yang digarap melalui media gamelan selonding. Karya ini merespon segala bentuk kemungkinan yang dapat digarap pada barungan gamelan golongan tua.
Sajian musikal Yehniti bertumpu pada aspek-aspek intramusikal pada gamelan selonding seperti teknik gegebug (ngerejeg dan seka), nyogcag, ngundir, dan juga pengolahan saih, ririg, serta angkep-angkepan. Janurangga memandang karyanya sebagai asal, akar, dan kelenturan itu sendiri.
“Yeh itu air, dan niti itu meniti,” ungkap Janurangga pada tatkala.co setelah pementasan.
Gambaran air yang meniti jalan atau air yang sedang mengalir di atas suatu permukaan berusaha direpresentasikan oleh Janurangga dalam karya selondingnya.
Konsep itu tidak serta merta sebagai motafora karya saja baginya. Pria kelahiran tahun 1999 ini menganggap selonding sebagai musik yang bergerak atau berjalan dan tidak diam di tempat.
Ia merasa tidak sepakat jika selonding dianggap sebagai benda peninggalan atau semacam prasasti kesenian belaka, karena hal itu hanya semakin membuat selonding terkubur jauh oleh zaman.
“Secara sadar saya sebagai pemusik juga komposer memandang selonding hanya sebagai instrumentasi,” terang lulusan Jurusan Karawitan ISI Denpasar tahun 2021 itu.
Tidak bermaksud mengecilkan nilai filosfis selonding, Janurangga mengganggap jika selonding ditempatkan sebagai peninggalan semata, maka wajar akan tertinggal.
Janurangga menempatkan selonding secara praktis sebagai instrumen musik yang mampu berbicara dan menunjukkan eksistensinya,
“Selonding bisa berbicara di luar menjadi media ungkap dan dikenal banyak orang ya seharusnya orang yang ada di sekitar selonding itu yang sadar,” lanjutnya.
Kadek Janurangga (paling kanan) saat memainkan selonding dalam Selonding Bali Aga Fest 2024 | Foto: tatkala.co/Rusdy
Yang terjadi di daerah Kabupaten Karangasem pada umumnya, selonding memang menjadi kesenian yang lekat dengan tradisi dan upacara. Itu karena dipercaya awal mula selonding berkembang di Karangasem atau wilayah Bali Aga. Jika bukan dalam ranah tradisi dan upacara adat maka selonding tidak sembarang dimainkan, apalagi diubah-ubah ketukan dan gending-gendingnya.
Selonding memiliki kesakralan khusus di kalangan masyarakat adat yang ada di Karangasem. Semacam menjadi identitas kesenian di Karangasem. Walau kini, selonding telah berkembang ke seluruh wilayah Bali, dan dikreasi dengan berbagai cara.
“Selonding diyakini sudah ada sejak abad ke-9 di Karangasem,” ungkap Direktur Selonding Bali Aga Fest Pande Widiana. Karena itu juga selonding memiliki posisi penting bagi para seniman musik tradisional di Karangasem.
Terlepas dari kesakralan dan posisi selonding di Karangasem, Janurangga menganggap selonding sebagai media ungkap dan instrumentasi. Ia merasa kalau keberadaan selonding harus diisi dengan karya dan kreativitas di dalam. Sehingga ada kemungkinan-kemungkinan seni yang bisa digarap lagi lewat alat itu dan juga menjadi semangat tumbuh bagi gamelan Bali.
Kendati demikian Janurangga tetap menjunjung selonding sebagai arwah kesenian, media kesenian, baik itu digunakan dalam tradisi atau pengembangan-pengembangan karya.
Dengan anggapan seperti itu, Janurangga mencoba untuk menyikapi aliran-aliran serta kelenturan yang bisa diterjemahkan melalui Yehniti—karya pertamanya yang menggunakan alat musik selonding.
I Kadek Janurangga, lahir di Gianyar, 10 Januari 1999. Ia tumbuh di lingkungan seniman di Padangtegal, Ubud, Gianyar. Di mana Ubud adalah daerah dengan sanggar yang berceceran di mana-mana dan hampir semua memiliki gamelan selonding. Januranggan yang tumbuh di sana sejak kecil telah memiliki ketertarikan terhadap gamelan.
“Saya ada keturunan seniman itu dari buyut saya. Beliau seorang dalang wayang bali dan dikenal dengan sebutan Kakek Ewer,” katanya.
Dari cerita-cerita orang, buyutnya itu semacam “orang dalam” atau penasehat di lingkungan Kerajaan Ubud pada masanya. Orangnya pintar dalam urusan adat sekaligus kesenian. “Darah seni buyut itu turun ke kakek saya yang ahli bermain gamelan besar,” lanjut Janurangga.
Karena itu juga, Janurangga sejak kecil sudah diperkenalkan dengan dunia kesenian dan sering diajak menonton gamelan oleh kakeknya.
“Terus saya tertarik dengan teknik-teknik dan gending-gending gamelan yang kompleks, yang masih baru kedengarannya untuk anak seumuran saya waktu itu, karena masih SD,” ujarnya.
Repertoar selonding garapan Kadek Janurangga | Foto: tatkala.co/Rusdy
Selanjutnya pengalaman musik dan bakat seni ia kembangkan saat ikut di Sanggar Nata Suara di Ubud. Di sanggar itu, dia mengaku diajari oleh sosok yang menurutnya progresif, yakni Putu Septa atau I Putu Adi Septa Suweca Putra.
Putu Septa, kata Janurangga, adalah seorang yang menjadi mentor sekaligus patner Janurangga di dalam berkesenian dan bermusik. “Saya berguru ke dia (Putu Septa),” tutur Janurangga.
Di umur 14 tahun Janurangga sudah mengajar di banjar untuk keperluan upacara adat hingga membuat komposisi untuk kebutuhan pentas musik. Saat di bangku kuliah, ia mulai serius lagi mengenal gamelan tua di Bali, termasuk membawanya menelusi tentang selonding.
Pengalaman Janurangga di dunia musik di antaranya tahun 2018 terlibat sebagai musisi dalam Tour Eropa bersama Group Gamelan Salukat di Jerman (Interationales Gamelan Musik Festival Munchen), Sweden (Sommarscen Malmoo) dan Denmark (Roskilde Festival). 2019 menjadi salah satu musisi dalam pementasan Taksu Music Performance Gamelan Yuganada di Kuala Lumpur Performing Art Centre, Malaysia.
Di tahun yang sama kembali menjadi musisi dalam Gamelan Salukat Tour di Sharjah UEA (Sharjah Architecture Trineal). Tahun 2022 sebagai musisi group Salukat tour Eropa di Den Haag, Belanda (Rewire Festival) dan di Paris France (Bourse de Comerse).
Ia juga memperoleh predikat komposer terbaik pada acara perlombaan musik kreatif “Kuno Kino” di tahun 2020. Beberapa karya yang telah ia buat diantaranya ada Panjang Ilang untuk gamelan gambang (2020), Yehniti untuk gamelan selonding (2023), dan Horn(y) untuk gamelan selonding dan perangkat elektronik (2024).
Saat ini Janurangga sedang produktif berkarya lewat musik baik untuk konteks tradisi, musik baru atau new music for gamelan, dan musik elektronik. [T]
Reporter/Penulis: Rusdy Ulu
Editor: Adnyana Ole
- Baca artikel lain tentang Selonding Bali Aga Fest 2024: