“Kamu mencintai kekasihmu?”
“Ya, cinta, Pak”
“Kalau begitu, nanti kita lamar dia. Kalian menikah!”
Percakapan di atas berlangsung dalam mimpi saya, beberapa hari lalu. Untuk kali kedua, mendiang Umbu Landu Paranggi datang menemui saya dalam mimpi. Kejadian dalam mimpi tersebut terasa begitu nyata. Sepulang dari sebuah acara budaya, saya berjalan kaki. Tiba-tiba ada lelaki tua yang sedang berada di sebuah warung—memakai baju kemeja yang lengannya dilipat, lengkap dengan topi di kepala, melambaikan tangannya dan menyuruh saya untuk mendekat. Beliau, Pak Umbu, yang dikenal sebagai “mahaguru” dari banyak seniman di Bali, mengajak saya berbincang lalu berkata-kata seperti percakapan pada awal tulisan ini.
Dalam mimpi itu, Pak Umbu juga “menunjukkan” teman perempuan yang berpotensi menjadi “penggoda” dan bisa “merusak” hubungan saya dengan tunangan saya. Beliau menyarankan saya untuk menjauhi teman itu. Di akhir mimpi, beliau menggosok-gosok gigi bagian bawah saya, seperti gerakan pada upacara potong gigi di Bali. Katanya, ada “masalah” saat saya mengikuti upacara tersebut saat saya remaja dulu, sehingga saya mengalami “sakit” karena “ada yang menganggu”. Pak Umbu seperti “mengobati” saya melalui mimpi tersebut.
Mimpi yang berlangsung—jika dihitung dalam waktu di dunia nyata—hanya 10 menit tersebut, rasanya lama sekali, jernih, terasa benar-benar terjadi. Saat bangun, saya merasa perlu sebentar “diam” dan “hening” untuk bisa “mencerna” isi mimpi tersebut. “Pak Umbu datang lagi,” gumam saya ketika duduk di tepi ranjang. Mimpi yang benar-benar punya arti mendalam bagi saya. Bagi yang hanya menganggap mimpi sebagai “bunga tidur” belaka, tentu cerita ini terdengar tidak punya makna. Berbeda dengan halnya mereka yang mengerti dunia “kebatinan”/spiritualitas, hal itu tentunya memiliki arti, makna, dan hikmah tersendiri.
Meskipun saya bukan “murid” yang dekat secara personal dengan Pak Umbu saat beliau masih hidup, seperti kawan-kawan penulis dan seniman lainnya, “kedekatan” kami hanya melalui satu kali perjumpaan saat ada kegiatan baca puisi di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) di Renon, Denpasar, Bali, beberapa bulan sebelum beliau wafat pada 2021.
Kala itu, beliau mengomentari puisi karya saya yang saya bacakan. Puisi itu berjudul “Suara Sunyi”, termuat dalam buku kumpulan puisi “Tidur di Hari Minggu”, terbit pada Januari 2020 oleh Penerbit Mahima Institute Indonesia yang digawangi Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti, pasangan sastrawan di Singaraja, Bali. Mereka adalah pegiat dan penggerak sastra yang tekun dan juga amat gigih.
Pak Umbu dan saya layaknya seperti dua orang sahabat yang lama sekali tidak berjumpa, pada malam hari tersebut. Kata beliau, beliau mendapat cerita tentang saya dari percakapan beliau dengan IDK Raka Kusuma, sastrawan di Karangasem, Bali bagian timur, dalam sebuah kesempatan. Pada 2015, puisi-puisi saya dimuat di Bali Post untuk kali pertama dan terakhir oleh Pak Umbu Landu Paranggi. Senang sekali bagi kami, penulis di Bali dan juga di luar Bali, jika puisi-puisi kami dimuat di media cetak tempat beliau menjadi redaktur sastra selama puluhan tahun itu.
Saya menjadi percaya, ada kekuatan yang terus “membimbing” saya dalam menulis. Keyakinan ini “muncul” karena saat saya menulis “seperti ada yang menyuruh”, ada “kekuatan lain” yang menggerakan jari-jari saya di komputer. Tulisan, baik itu puisi maupun esai, begitu cepat saya bisa selesaikan. Alhasil, saya menjadi penulis yang sangat produktif dalam berkarya. Telah tiga belas buku saya tulis dalam enam tahun, sejak 2018, ketika buku puisi pertama saya terbit.
Metode menulis dengan kekuatan “lain” sering disebut sebagai automatic writing atau psychography, yaknikemampuan untuk menulis dan mengekspresikan ide-ide tanpa sepengetahuan pikiran sadar (tidak disadari), baik dalam hal tindakan menulis atau ide-ide yang diekspresikan dalam bentuk tulisan.
Pengertian ini kurang cocok dengan apa yang saya “alami” dalam menulis, karena setiap huruf dan kata yang saya ketikkan di komputer atau tuliskan di buku tulis atau secarik kertas amat runut, rapi, dan teratur—berbeda dengan pengertian automatic writing yang seakan-akan “menuliskan apa saja yang ada di pikiran”, juga sering dihubungkan dengan “hal-hal supranatural”. Saya lebih percaya bahwa menulis adalah sebuah keterampilan; semakin sering dan biasa seseorang menulis, semakin mudah dan cepat ia bisa menghasilkan tulisan; baik itu puisi, cerita pendek, esai, bahkan juga sebuah novel.
Apa yang alami bisa oleh “kedua-duanya”: kekuatan “lain” dan juga oleh sebab keterampilan yang diasah bertahun-tahun. Menurut keyakinan Hindu yang yang saya anut, mereka yang telah meninggal sebenarnya “tidak benar-benar pergi”. Mereka hanya meninggalkan badan yang oleh sebab tertentu, misalnya karena sakit, telah “rusak”, kemudian jiwa mencari “badan” baru melalui kelahiran kembali, yang oleh Bhagavad-Gita diibaratkan seperti “baju-baju yang berganti”, dimana badan disebut sebagai sebuah “pakaian” bagi atma/jiwa/ruh.
Ada juga yang oleh sebab karma atau kecenderungan batinnya menjadi “pembimbing”, ia akan terus dan tetap menjalankan tugas tersebut. Jiwa-jiwa dan “pribadi” suci inilah yang sering “berkomunikasi” dengan “orang-orang” melalui apa yang disebut sebagai “ilham”, “wahyu”, atau dalam bahasa keseharian: “inspirasi” bagi mereka yang bekerja berdasarkan intuisi seperti penyair, penulis, pemusik, atau penari; para seniman yang biasanya “intuitif”.
Pola hidup yang “intuitif” inilah yang kemudian melahirkan karya-karya yang disebut “jenius/”berbeda” dengan karya-karya biasa yang lahir berdasarkan (hanya) oleh logika tanpa menyertakan apa yang disebut di Bali sebagai taksu atau “daya” hidup. Hasilnya amat berbeda.
Jika ingin karya seniman mempunyai taksu, dalam pengalaman saya, kuncinya sangat sederhana: kemampuan membuka diri, ibarat gelas, membiarkan “gelas” atau “diri” selalu “kosong”. Mengurangi beban pikiran dan perasaan melalui meditasi sangatlah bagus. Berkarya hanya untuk “karya” itu sendiri, atau niat untuk berbagi. Tidak lebih dari itu, misalnya mencari popularitas.
Akan lebih bagus lagi jika menganggap aktivitas seni sebagai sebuah “persembahan” bagi “kekuatan agung”; tuhan, dewa, atau para leluhur, seperti yang masyarakat Bali di masa lalu lakukan. Maka itu, tidak ada istilah “seniman” di Bali, dahulu kala, karena mereka melakukannya sebagai sebuah “pemujaan”. Taksu menjadi bagian keseharian hidup mereka. Termasuk hubungan dengan kekuatan-kekuatan niskala atau unsur-unsur “lain”, tidak kasat mata. Semua terjadi secara alami, dan bukan dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa.
Menulis pada dini hari, saat dunia terasa begitu hening, misalnya, menjadi momen tersendiri bagi penulis. Jari-jari “menari” pada tuts komputer, menghasilkan karya yang ditulis tidak semata-mata untuk materi belaka. Kekuatan “lain” boleh hadir, sebagai “teman” pembimbing. Penulis, sejatinya hanyalah sebagai “mediator”. Itulah sebabnya, para pujangga zaman dahulu sering tidak menulis identitasnya sebagai pencipta karya. Atau, jika pun ingin menulis, menggunakan nama samaran. Mereka sadar dan sangat “tahu diri”, bahwa yang menulis bukan mereka, melainkan “semesta”. Dari “mereka” yang tidak benar-benar pergi. Mereka terus memberi taksu. [T]
BACA artikel lain dari penulisANGGA WIJAYA