MAHASISWA Prodi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu (PSBKH) STAHN Mpu Kuturan Singaraja mementaskan 15 karya seni di Gedung Sasana Budaya Singaraja, 20 Desember 2024 dalam acara projek Ujian Akhir Semester (UAS) yang mengintegrasikan 5 mata kuliah menjadi satu tugas.
Prodi yang baru saja terakreditasi ini tentu sudah mampu menawarkan ruang sebagai solusi terhadap permasalahan yang sering dihadapi mahasiswa tentang kebanyakan projek matakuliah yang berbeda-beda pada setiap mata kuliahnya. Selain itu acara ini mampu membaca kebutuhan masyarakat pengguna khususnya kebutuhan guru-guru seni budaya di sekolah-sekolah yang sering melibatkan mahasiswa dalam pencitpaan karya tari, musik, drama dan seni rupa seperti prakarya yang menuntuk keterampilan praktek dari guru seni budaya.
Guru seni budaya di sekolah-sekolah sudah pasti dihadapkan pada kewajiban membelajarkan materi-materi umum tentang empat aspek seni yang menjadi mata pelajaran (mapel) pokok seni budaya, yaitu seni tari, seni musik seni drama dan seni rupa. Namun faktanya bahwa tidak mungkin guru mampu menguasai keempat mapel itu, karena Sebagian besar guru pasti memiliki bidang keahliannya masing-masing. Kecuali guru seni yang berada di Sekolah kesenian, pasti sudah ditempatkan pada jurusan yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Belajar Mengenal Seluruh Aspek Seni dan Pengayaan Keahlian
Pembacaan terhadap kebutuhan dunia kerja guru seni budaya yang harus mengajar empat materi pokok seni budaya itu tentu mewajibkan mahasiswa bekerja keras untuk mempelajari materi pokok tersebut. Mahasiswa tidak bisa hanya memahami satu bidang saja, mahasiswa belajar untuk mempelajari pengetahuan dasar dengan harapan dapat mengenal seluruh aspek seni tersebut. Walaupun pada prakteknya di lapangan projek siswa di dalam kelas tentu memiliki modul-modul ajar yang sudah memuat tahapan teknis dan konten mata pelajaran tersebut.
Mahasiswa Semester 3 kelas A dan B Menyajikan Karya Seni | Dok. Mpu Kuturan TV, 2024
Apa yang dipentaskan oleh mahasiswa semester 3, tentu tidak dapat menjadi ukuran bahwa mahasiswa sudah menguasai empat bidang seni tersebut. Tetapi proses ini adalah belajar mengenal seluruh aspek seni yang di ajarkan berupa pengetahuan dasar tari, musik, drama dan seni rupa.
Semisal pada pentas karya mahasiswa ini, mahasiswa semester 3 menampilkan Tabuh Telu Sekar Gadung, dan Tabuh Kreasi sebagai wujud project mata kuliah seni karawitan, serta karya drama Parodi Raja Pala Menolak Duda (IIIA) dan Mpu Kuturan (IIIB) sebagai wujud project mata kuliah seni Teater.
Kondisi berbeda dan kerja kreatif yang lebih besar harus dilakukan apabila masuk pada sekolah kejurusan bidang seni budaya, di sana menuntut kerja mahasiswa yang lebih proaktif mengembangnkan potensi diri untuk pengayaan keahlian.
Urgensi pembelajaran seni seperti ini dalam koteks pendidikan di Indonesia tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana pada bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 1 bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha belajar sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belaja dan proses pemebelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangankan potensi dirinya.
Penampilan salah satu karya Mahasiswa Semester 5 berjudul Malini Suara | Dok. Mpu Kuturan TV, 2024
Pentas karya mahasiswa semester 5 adalah bentuk pembuktian proses kreatif yang menunjukan keahlian pada masing-masing mahasiswa. Melalui mata kuliah seni Teater dan karawitan Mahasiswa semester lima setiap orangnya membuat karya baru yang merupakan bentuk integrasi matakuliah Kompisisi Seni, Manajemen Seni dan Kritik seni.
Proses perkuliahan ini merupakan tahapan pengayaaan keahlian diri, sehingga dosen pengampu mata kuliah mengarahkan mahasiswa untuk membuat komposisi seni sesuai bidang keahliannya. Karena pada semester sebelumnya mahasiswa di wajibkan untuk mengenal seluruh kesenian baik secara teori maupun praktek.
Mencipta Untuk Menemukan Jati Diri
Sebagai prodi yang baru berdiri 2 tahun, tentu tidak mudah bersaing dengan prodi-prodi sejenis yang jauh lebih dulu berdiri dan menyelami dunia pendidikan seni. Tetapi kondisi itupun tak menjadi batu sandungan, melainkan menjadi pemantik semangat untuk terus mencari difrensiasi dan keunggulan dibadingkan prodi lain sehingga kita tidak perlu mengikuti jalan yang sama untuk mengejar tetapi harus menemukan jalan yang berbeda dan menemukan keunggulan.
Tidak mudah! iya. Ini memang tidak mudah, karena paradigma sosio-kultural masyarakat Buleleng khususnya di singaraja tentu selalu menjadikan pola pembelajaran seni pada kamus-kampus tenar di Bali menjadi patron. Termasuk pentas karya mahasiswa ini, tentu citra yang terbangun sama polanya dengan kampus seni pada umunya.
Dalam posisi ini kelompok dosen pengampu mata kuliah sudah memahami input dari mahasiswa prodi PSBKH yang Sebagian besar mengarah pada proses kreatif seni yang cenderung fokus pada praktek artistik seni tradisi. Kekuatan keseniman mereka tumbuh di banjar/desa dan diberbagai sanggar-sanggar seni. Sehingga tugas kampus harusnya lebih mudah secara praktek didalam kelas.
Apakah kampus akan menjadi sama seperti balai banjar atau sanggar?
Ya jelas pasti tidak, balai banjar dan sanggar sudah menjadi laboratorium kesenian bahkan tempat kampus menguji praktek kesenian yang tumbuh secara natural (tanpa interpensi kurikulum pemerintah). Kampus harus ambil posisi yang berbeda, karena seperti Prof Stela (sapaan akrab Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Riset dan Teknoloi) memandang perguruan tinggi adalah tempat creating knowledge (membuat/menemukan pengetahuan). Artinya mahasiswa tidak diminta untuk mengulang perlakuan kerja kreatif di banjar atau di sanggar, melainkan di ajak untuk menemukan pengetahuan mendalam dibalik proses kreatif kesenian, seniman masyarakat seni.
Prodi PSBKH mencoba membangun ruang yang disebut oleh Triyanto (2017) dalam bukunya Spirit Ideologis Pendidikan Seni bahwa seni memiliki peran penting dalam melihat peradaban bangsa serta seni memberi ruang, waktu dan kesempatan bagi para pelakunya untuk melakukan aktiviatas kreatif dan apresiatif yang memberi ruang kebebasan mengembangkan berbagai potensi artistiknya untuk menciptakan berbagai kreasi seni, termasuk memberi ruang gelar diskusi seni, membangun ruang “debat” yang memfasilitasi dialektika dan problematika seni yang faktual.
Pentas Karya Mahasiswa kemarin tak ubahnya pentas-pentas karya mahasiswa di kampus seni lainnya. Prodi belum memfasilitasi penarasian gagasan karya yang dibuat mahasiswa, sehingga yang terjadi hanya pentas semata tanpa adanya pendiskusian gagasan termasuk proses kreatifnya. Yang terjadi, ketika mahasiswa diminta untuk menjelaskan gagasan karyanya ataupun melakukan kritik terhadap karya orang lain sebagian besar belum siap.
Sesi Foto bersama antara dosen dan mahasiswa semester 3 sebelum pentas karya mahasiswa dimulai | Dok. Mpu Kuturan TV, 2024
Dalam rangka menemukan jati diri, maka prodi PSBKH harus menentukan ideologi yang menjadi dasar pengelolaan dan pengembangan kurikulum prodi. Apakah berbasis pada ideologi seni yang bersifat komunal yang tumbuh dalam sistem pewarisan seni di desa-desa, atau berbasis pada ideologi seni individual yang menubuh pada setiap figur seniman atas kepentingan peseorangan yang bersifat psikis.
Seperti ungkapannya Salam (2003) pada buku berjudul Justifikasi Pendidikan Seni di Sekolah Umum mencatat pentinya pendidikan seni di sekolah yang didasari dua pertimbangan pokok yaitu pertimbangan kepentingan masyarakat (sosial and cultural justification) dan alasan berdasarkan kepentingan perseorangan yang bersifat kejiwaan atau fisik (personal justification).
Bagi saya, kedua tawaran ini tidak perlu dipilih tetapi sudah dapat dijadikan sebagai ideologi pengelolaan prodi PSBKH karena melihat kontur berkesenian orang Buleleng pada dasarnya sangat komunal, disisi lain pun paradigma individual secara beriringan terbangun pada sosok pelaku seninya. Termasuk istilah dangin enjung, dauh enjung yang berkelindang ditengah praktek seni di Bali Utara sampai saat ini.Sependek pemahaman saya dalam mempelajari istilah ini, bagi saya dangin enjung dan dauh enjung merupakan ideologi berkesenian pelaku seni pada masanya sesuai dengan kebudayaan yang memengaruhinya.
Nah, apakah ini jati diri Prodi PSBKH? Saya tidak langsung menjustifikasi segala hal yang saya tawarkan ini sebagai jati diri prodi apalagi ideologi.
Sebagai bandingan saya berdiskusi dan membaca beberapa artikel. Diskusi saya dengan Kadek Anggara Rismandika memberi pandangan bahwa dangin enjung dan dauh enjung belum tepat jika disebut ideologi, baginya ini adalah konseptual berpikir kreatif pelaku seni pada masanya.
Made Pasca Wirsutha atau yang lebih dikenal di atas panggung seni dengan nama Dek Kocok mengungkapkan dalam artikel di Koran Buleleng yang terbit pada tanggal 14 Juli 2019 bahwa seniman asal Buleleng ini menyebutkan perbedaan tabuh dan tari antara gaya Buleleng Dangin Enjung dan Dauh Enjung hanya terletak pada karakter dari tabuh dan gerakan tari yang diciptakan.
Sedangkan Ketut Pany Riyandhi (Pany) dalam tulisan Jaswato di tatkala.co tanggal 5 Juni 2024 memandang pembacaan terhadap dangin enjung dan dauh enjung tidak cukup hanya mengkomparasikan antara sosok seniman atau merujuk pada geografis suatu tempat saja seperti Desa Kedis dan Jagaraga.
Pandangan ketiga kawan saya ini, baik pandangan Anggara, Dek Kocok dan Pany saling berkelindan satu sama lain. Sehingga untuk menjadikan sebuah istilah sebagai pijakan ideologi pengelolaan prodi yang akan menjadi jati diri (identitas), saya pikir tulisan saya terlalu gegabah. Perlu mengadakan diskusi terpumpun lebih mendalam untuk merumuskannya kembali. Namun sebagai tawaran saya tetap mendorong prodi PSBKH untuk memiliki ideologi pengelolaan prodi yang merujuk pada jastifikasi sosial dan justifikasi personal.
Menjalin Jejaring Seni
Momen pentas itu tentu kesempatan mahasiswa tidak hanya untuk mengekpsresikan diri dalam konteks pembuktian proses kreatif di dalam kelas, tetapi pada proses ini mahasiswa bekerja dalam tim antar angkatan, membangun komunikasi lintas lembaga untuk mengerjakan tata kelola produksi seni. Termasuk membuktikan kemampuannya dalam membangun komunikasi dengan komunitas atau sanggar seni di luar kampus yang akan dilibatkan sebagai pendukung karya.
Kenapa jejaring menjadi penting? Pada penelitian yang saya lakukan pada tahun 2017 yang fokus meneliti pembangunan relasi organisasi seni Papermoon Puppet Theatre sebuah teater company yang berbasis di Jogja, saya bekerja sejak 2015 mengikuti jejak Papermoon, dan sepanjang tahun 2016 saya aktif melihat kerja-kerja Papermoon di studio maupun dalam gelaran pesta boneka internasional.
Melalui penelitian ini saya menemukan bahwa organisasi seni pertunjukan wajib mengedepankan empat variabel penting dalam pembangunan jejarin seni, pertama membuat karya seni yang berkualitas dari hati sebagai modal “promosi” diri; kedua kepercayaan (trust), karena apabila sudah memiliki karya yang berkualitas maka masyarakat trust kepada pelaku seni; ketiga membangun satekholder baru.
Bagi pelaku seni tidak cukup dengan satu jejaring saja, pelaku seni lalu membutuhkan ruang ekspresi yang lebih banyak. Maka sudah menjadi keharusa untuk membangun jejaring baru dengan membuat atau dantang ikut event seni berskala nasional bahkan internasional, sehingga tumbuh jejaring baru itu; keempat investasi stakeholder yang diimplementasikan pada tindakan berkomunikasi setiap saat bahkan setiap moment penting yang berhubungan dengan jejaring yang sudah terbangun melalui media sosial.
Sekali lagi ini tidak mudah, perlu adanya Kerjasama tim yang solid di dalam prodi PSBKH termasuk pelibatan dan kesadaran mahasiswa secara masif, berani bekerja di luar kebiasaan, dan termasuk menjaga konsistensi, sehingga yang kita impikan pada Visi prodi yang kreatif, jujur dan unggul serta bertanggung jawab itu akan terwujud.
Tidak ingin rasanya mengakhiri tulisan ini di tengah rintik hujan tipis sepanjang hari di kota Singaraja ini. Tapi karena teman hidup saya terus memanggil manggil, jadi saya putuskan untuk mengakhirinya dengan…
Tancab Kayonan
Salam budaya
Cinta Budaya, cinta Indonesia [T]
- BACA juga artikel sejenis: