SEBUAH kampung dengan lima puluh rumah, dan kampung itu dipagari gunung-gunung batu.
Rumah-rumah itu berdinding kulit kayu, beratap daun sagu dan berlantai belahan kayu yang diikat dengan tali rotan. Rumah-rumah itu, berdiri melingkari bangunan sekolah.
Sekolah itu punya 90 murid; pada tahun-tahun awal—banyak guru yang datang dan betah tinggal di sana: mereka ajar anak-anak menulis, membaca dan berhitung.
Namun pada suatu waktu guru-guru pergi dan tak ada yang pulang. Mereka memang bertugas di sekolah, tapi tak ada guru yang betah tinggal—mereka seperti kelelawar yang hanya datang saat tiba musim buah.
Pada suatu saat, seorang ibu guru datang ke kampung itu. Ia datang dan anak-anak membuat pertanyaan saat masuk ke kelas di hari pertama: “Ibu guru, berapa lama tinggal dan mengajar di sini?”
“Saya akan tinggal bersama kalian, selama dua semester,” jawab ibu guru.
Sebab sudah berkali-kali ditipu, anak-anak tak percaya dengan jawaban ibu guru.
Ibu guru itu datang pertama kali, pada suatu sore dan selain membawa bahan makanan yang dipikul lima orangtua murid. Mereka menempuh perjalanan selama sembilan jam. Begitu tiba di kampung—hujan deras mengguyur kampung.
Begitulah selalu terjadi di kampung ini: setiap tamu yang datang, akan datang hujan beberapa jam. Ini pertanda bahwa tamu yang datang itu diterima oleh tanah, pohon dan udara.
Selain bahan makanan ibu guru juga membawa satu buah buku dongeng. Buku dongeng H.C Andersen: di sampul buku itu ada tulisan: Buku Kumpulan Dongeng Andersen. Ibu guru selalu membawa buku ini ke mana-mana. Ia membawanya ke dapur, ia membawanya ke kali, ia membawanya ke kamar tidur: dan saat tidur, ia selalu memeluk buku itu.
Ibu guru punya satu kebiasaan baik lain: ia membacakan cerita-cerita itu kepada anak-anak. Anak-anak senang dengar cerita-cerita Andersen; sambil dengar—mereka membayangkan itik yang buruk rupa itu atau tuk kecil yang baik, juga seorang gadis dan korek api.
Sudah dua semester ibu guru tinggal dan mengajar anak-anak. Ia tak pernah pulang ke kota untuk libur atau membeli makanan saat ia kehabisan makanan—saat itulah ia dibantu oleh anak-anak menyediakan kepadanya makanan lokal: sagu, petatas, keladi dan buah merah. Ia makan apa yang diberikan anak-anak dan orangtua murid: ia makan sagu bakar, ia makan papeda, ia makan pisang rebus.
Suatu sore, ibu guru kumpulkan anak-anak. Ia hendak mengatakan sesuatu—yah, ia hendak pindah tugas. Anak-anak melarang.
“Sebab ini perintah kepala dinas pendidikan, ibu guru mesti pergi,” kata ibu guru.
Ia pergi—tapi ia tinggalkan buku dongeng itu dengan pesan kepada Lukas. “Lukas, tolong jaga baik ini buku. Saat tidur—Lukas harus peluk buku ini!”
Lukas mengangguk dan tak terasa air mata jatuh. Ibu guru peluk Lukas. Satu persatu, anak-anak datang ucapkan salam perpisahan dengan ibu guru. Orang tua antar ibu guru ke ibu kota distrik. Di sana, sebuah mobil membawa ibu guru pergi ke tempat tugas baru.
Sejak kepergian ibu guru, Lukas-lah yang menjadi guru bagi teman-temannya dan juga bagi adik-adik kelas.
Malam pertama, Lukas peluk buku itu dan Lukas dapat mimpi; ia bertemu gadis kecil penjual korek api. Mereka dua bercerita banyak tentang negara Denmark, tentang dingin salju, tentang pohon natal, tentang korek api.
Lukas kini tahu; kenapa ibu guru bilang, kalau dia tidur, ia wajib peluk ini buku.
Namun sesuatu terjadi pada suatu malam, di luar rumah Lukas seekor tikus jalan keliling rumah—sesekali ia melihat jangan sampai saat tidur Lukas lepas buku. Si tikus ini berencana—ia hendak membawa lari itu buku ke hutan dan sembunyi di lubang batu.
Nah, suatu malam karena Lukas pulang dari kebun dan ia cape, ia langsung tidur tanpa memeluk buku dongeng itu. Tikus itu pun datang lalu membawa buku itu. Di sarang tikus itu—buku itu disimpan berbulan-bulan.
Buku itu mulai memudar dan sebagian besar kertasnya sobek tetapi halaman yang berkisah tentang Tuk Kecil yang baik hati itu tak pernah luntur tintanya, atau pun sobek kertasnya. Tikus heran kenapa bisa terjadi; ia lalu mengundang rayap untuk datang dan makan kertas itu tapi rombongan rayap tak kuat untuk memotong kertas itu dengan gigi mereka yang tajam.
Suatu saat, seekor burung pembawa kabar datang dan hinggap di salah satu dahan matoa dekat rumah Lukas. Burung itu mengabarkan bahwa buku itu telah lama dibawa oleh seekor tikus. Burung pembawa kabar itu siap untuk membantu Lukas memberi tahu alamat dan ia nekat untuk membawa pulang buku itu.
Lukas dan burung pembawa kabar berjalan selama enam hari. Mereka menemukan rumah tikus, tapi bagaimana mau masuk?
Pintu rumah itu sangat kecil. Burung pembawa kabar pergi bertemu dengan ratu semut. Ia meminta bantuannya agar mereka bisa masuk ke sana. Permintaan mereka direstui oleh ratu semut, Lukas dan burung pembawa kabar diberikan sebuah ranting gaharu.
Ranting itulah sebagai kunci rumah. Dengan ranting itu, Lukas mengetuk batu dan terbukalah pintu rumah. Waktu itu, tikus sedang pergi dan ini adalah kesempatan baik untuk membawa pulang buku dongeng Andersen. Tentu saja, mereka hanya membawa sisa-sisa buku itu: kisah Tuk Kecil yang Baik Hati.
Kisah itu dibawa Lukas pulang sampai di kampung. Di sana setiap malam kisah itu seolah hidup dalam satu layar: anak-anak dapat bertanya jawab dengan Tuk Kecil. Mereka pun diajarkan menulis dan membaca juga berhitung. Orang tua para murid heran—kenapa anak-anak mereka pandai membaca dan berhitung dan menulis.
Hingga suatu hari Lukas mengatakan bahwa ada seorang guru, ia bernama Tuk. Guru itulah yang mengajari mereka layaknya seorang guru.[T]