CERAHNYA matahari pagi di Hari Tumpek Klurut tak kuasa menembus duka yang terasa sangat menyesakkan. Bali kehilangan seorang maestro kendang, I Ketut Sukarata.
Tut Nang, demikian nama populernya. Dia menghembuskan napas terakhirnya bertepatan dengan hari Tumpek Klurut, di Rumah Sakit Wangaya, 9 November 2024, pukul 05.15 wita. Sebelumnya Tut Nang memang telah lama mengidap sejumlah penyakit, yang membuatnya hanya bisa terbaring di rumahnya di Jalan Gatotkaca, Denpasar.
Kepergiannya menghiasi media sosial seniman Bali. Semuanya senada, mengucapkan berbela sungkawa atas kepergian sang maestro kendang. Setiap orang yang mengenal Tut Nang, tentu memiliki kesan yang mendalam dan beragam cara untuk mengungkapkan duka.
Tut Nang adalah sosok seorang seniman yang dikenal akan kepiawaiannya bermain kendang. Bila kini Bali berhasil mencetak banyak generasi juru kendang, Tut Nang adalah salah satu sosok yang turut andil di dalamnya.
Pengaruh Tut Nang dalam dunia seni kendang di Bali bisa dikatakan signifikan. Salah satu hal mendasar dalam pengaruhnya itu adalah sifat welas asihnya, yang tidak pelit ilmu kepada siapapun yang hendak berguru kepadanya.
Sebagai seorang maestro kendang, Tut Nang tentunya memiliki ketajaman intuisi dalam menilai mana kiranya bibit-bibit yang benar-benar memiliki talenta.
Berikut ini adalah sejumlah nama yang pernah menimba ilmu padanya, seperti I Ketut Widianta alias Tut Keplug, I Ketut Suandita, Indra Sadguna, Tut Muntig, dan masih banyak deretan nama lainnya.
Saya termasuk salah satu yang pernah menimba ilmu darinya. Masing-masing murid Tut Nang, tentunya punya kecerdasannya masing-masing dalam menangkap ilmu kendang dari Tut Nang. Setiap murid juga punya bentuk hormatnya masing-masing untuk menunjukkan rasa bhaktinya kepada guru atas ilmu yang diberikan.
Maka setiap murid Tut Nang punya kedekatan emosional yang berbeda-beda kepada sang guru. Ada yang suka bercanda, ada yang formal, ada juga yang benar-benar seperti keluarga.
I Ketut Sukarata alias Tut Nang | Foto: Istimewa
Tut Nang adalah salah satu putera dari maestro karawitan I Wayah Beratha. Meski demikian, kepiawaian Tut Nang dalam memainkan kendang tidak diajarkan oleh sang ayah. Ilmunya justru menurun dari sang kakek, I Made Regog, yang juga seorang seniman karawitan ternama dari Belaluan.
Hal itu pernah dituturkan oleh Tut Nang kepada saya. Tut Nang juga pernah menuturkan bahwa ia belajar makendang tidak seperti model private kendang ala kini. Ia belajar makendang sambil magecel siap, alias mengurus ayam aduan.
Ilmu sang kakek tidak serta merta diwarisinya bulat-bulat. Tut Nang tumbuh dengan kreatifitasnya sendiri, yang muncul dari berbagai pengalaman-pengalaman hidupnya. Tut Nang tumbuh berkembang, bergaul dalam geliat modernitas di jantung kota, yang membuatnya selalu berada di garda terdepan dalam hal apapun.
Hal itulah yang secara tidak langsung melahirkan stil kendang ala dirinya. Stil ini kemudian menjadi salah satu patron dalam dunia kakendangan di Bali.
Kreatifitas Tut Nang ternyata menarik perhatian sejumlah akademisi dunia, salah satunya adalah Michael Bakan, yang merupakan professor ethnomusikologi di Florida State University. Dengan gaya tutur khasnya, Tut Nang bercerita akan pengalamannya bersama Michael Bakan. Mulai dari bagaimana dia sungguh-sungguh belajar, hingga bagaimana juga istrinya turut sibuk menyiapkan makanan untuk Bakan, salah satunya jus pisang.
Tut Nang yang acap kali menyebut dirinya tidak mengenyam bangku sekolah, ‘tusing masekolah’, dalam riwayat hidupnya ternyata punya sekian banyak keistimewaan.
Adapun Michael Bakan hanyalah salah satu dari sejumlah murid asing yang pernah diasuhnya. Meski mencetak banyak murid asing, di penghujung masa hidupnya Tut Nang berhasil mewariskan ilmu makendangnya kepada salah satu cucunya, Gede.
Dari caranya menuturkan, Tut Nang tampaknya memiliki kebanggaan yang sangat tiada terhingga atas cucunya. Tentu disertai harapan bahwa cucunya lebih dapat mengembangkannya.
Tut Nang adalah sosok yang bisa dikatakan patron dalam seni kendang di Bali. Tut Nang dengan stil kekendangannya telah memberi tersendiri dalam mozaik kesenian Bali.
Selamat Jalan Sang Maestro, selamat jalan guru kami, obituari ini sungguh terbatas menceritakan riwayatmu yang sungguh unik dan menarik.Tenanglah di alam keabadian, biarlah murid muridmu mengembangkan segala warisanmu. [T]