DONALD Trump sudah secara sah dan meyakinkan menang pemilu Amerika. Dalam perhitungan yang dilansir berbagai media, Trump meraih 50,9 persen atau 72 juta suara popular vote. Dia juga menggenggam 295 suara electoral mengalahkan Kamala Harris.
Disisi lain, Harris hanya mendapat 226 suara elektoral, dan 47 persen atau 67 juta popular vote. Sebagai tambahan, Trump juga menyapu bersih swing state, medan tempur bagi kedua kandidat dalam pemilu. Kelar sudah!
Bagaimana kalkulasi politik dan diplomasi Internasional kedepannya di era kedua Trump? Pertanyaan ini mengemuka mengingat rekam jejak kebijakan luar negeri Trump yang cenderung transaksional hingga kemudian berjanji untuk membawa “zaman keemasan” ke Amerika Serikat. Dia juga memuji apa yang disebutnya sebagai “gerakan politik terbesar sepanjang masa”.
Dengan demikian, dunia perlu bersiap menghadapi lima pergeseran besar dalam dinamika diplomasi global yang akan dimulai Januari 2025, merujuk pada waktu pelantikan Trump sebagai presiden baru.
Pergesaran Aliansi Global AS
Pergeseran pertama mungkin akan terlihat dari transformasi fundamental aliansi global AS. Trump telah berulang kali mengkritik negara-negara NATO yang dianggap tidak memenuhi komitmen anggaran pertahanan sebesar 2% dari GDP. Faktanya, pada periode pertama kepemimpinannya, hubungan AS-NATO mengalami ketegangan signifikan, termasuk ancaman penarikan pasukan AS dari Eropa. Kondisi ini berpotensi memperlemah sistem aliansi Barat dan mendorong negara-negara Eropa mencari alternatif keamanan kolektif.
Dukungan AS terhadap Ukraina juga diprediksi akan mengalami perubahan drastis. Sikap Trump yang cenderung akomodatif terhadap Rusia telah terlihat sejak periode pertama kepemimpinannya. Data menunjukkan bahwa selama masa kampanye 2024, Trump berulang kali menyatakan akan menghentikan bantuan militer ke Ukraina dalam 24 jam jika terpilih. Hal ini dapat mengubah secara fundamental dinamika konflik di Eropa Timur dan keseimbangan kekuatan global.
Pergeseran Hubungan AS-China
Pergeseran kedua terkait hubungan AS-China yang diprediksi akan semakin tegang. Trump berjanji menerapkan tarif impor hingga 60% untuk produk China dan pembatasan investasi yang lebih ketat. Berdasarkan analisis ekonom global, kebijakan ini dapat memicu perang dagang yang lebih intensif dibanding periode 2018-2019. Akibatnya, rantai pasok global akan mengalami disrupsi signifikan dan memaksa banyak negara memilih “kubu” ekonomi.
Ketegangan AS-China juga akan merambat ke sektor teknologi dan keamanan. Pembatasan ekspor semikonduktor dan teknologi AI ke China kemungkinan akan diperketat. Data dari industri chip menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat menghambat perkembangan teknologi China sekitar 5-10 tahun. Dampaknya, persaingan teknologi global akan semakin terpolarisasi antara ekosistem AS dan China.
Selain itu, isu Taiwan akan tetap menjadi titik kritis dalam hubungan AS-China. Trump telah mengindikasikan pendekatan yang lebih agresif dalam mendukung Taiwan, termasuk kemungkinan pengakuan formal kemerdekaan. Sikap ini bertentangan dengan kebijakan “One China Policy” yang telah berlaku selama dekade. Konsekuensinya, risiko konflik di Selat Taiwan akan meningkat signifikan.
Pergeseran Diplomasi Ekonomi
Pergeseran ketiga menyangkut diplomasi ekonomi global yang akan didominasi proteksionisme. Trump berencana menerapkan “Universal Baseline Tariff” sebesar 10% untuk semua impor. Studi dari lembaga ekonomi internasional memproyeksikan kebijakan ini dapat mengurangi perdagangan global hingga 5% dalam setahun pertama. Hal ini akan mendorong negara-negara mencari alternatif pasar dan reorganisasi rantai pasok.
Oleh sebab itu, Friendshoring mungkin saja akan menjadi tren dominan dalam reorganisasi rantai pasok global. Sebagai referensi, friendshoring adalah istilah untuk menyebut praktik pengalihan rantai pasokan ke negara sekutu atau negara yang dianggap teman dalam konsep perdagangan internasional. Terutama negara yang dianggap aman secara politik dan ekonomi atau memiliki risiko rendah.
Perusahaan AS akan didorong memindahkan produksi dari China ke negara-negara sekutu. Survei menunjukkan 70% perusahaan AS mempertimbangkan relokasi, dengan Asia Tenggara sebagai destinasi utama. Indonesia berpeluang memanfaatkan tren ini jika dapat memperbaiki iklim investasi dengan cepat.
Pergeseran Isu Lingkungan
Pergeseran keempat berkaitan dengan isu lingkungan global. Trump kemungkinan akan kembali menarik AS dari Perjanjian Paris dan mengurangi komitmen pendanaan iklim internasional. Data historis menunjukkan bahwa penarikan AS dari perjanjian lingkungan global dapat mengurangi pendanaan iklim internasional hingga 30%. Akibatnya, target pengurangan emisi global 2030 akan sulit tercapai.
Oleh sebab itu, deregulasi lingkungan di AS akan berdampak pada standar perdagangan internasional. Kebijakan Trump yang pro-industri fosil bertentangan dengan tren global menuju ekonomi hijau. Analisis menunjukkan bahwa hal ini dapat menciptakan kesenjangan standar lingkungan antara AS dan Uni Eropa, mempersulit perdagangan internasional.
Pergeseran dinamika keamanan global
Pergeseran kelima fokus pada dinamika keamanan regional, terutama di Indo-Pasifik. Strategi Indo-Pasifik Trump diprediksi akan lebih konfrontatif terhadap China. Data menunjukkan peningkatan Freedom of Navigation Operations (operasi FONOPs) AS di Laut China Selatan selama periode pertama Trump. Situasi ini dapat meningkatkan ketegangan di kawasan dan memaksa negara ASEAN mengambil posisi.
Peluang dan Tantangan Indonesia
Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN menghadapi tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, ketegangan AS-China dapat mengganggu stabilitas regional dan perdagangan. Namun di sisi lain, Indonesia dengan keunggulan posisi strategisnya sangat berpeluang menarik relokasi industri AS dari China. Ini tentunya harus ditopang oleh langkah-langkah strategis dan dukungan kebijakan yang tepat.
Paling tidak, meskipun Indonesia harus bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam dan Thailand, keunggulan biaya tenaga kerja dan potensi pasar menjadikan Indonesia menarik bagi investor asing
Menghadapi situasi ini, Indonesia perlu menerapkan strategi diplomasi multi-track yang adaptif. Prioritas pertama adalah memperkuat kerja sama ekonomi dengan berbagai mitra untuk mengurangi ketergantungan pada AS-China. Diversifikasi pasar dan mitra investasi menjadi kunci ketahanan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Penguatan kapasitas nasional juga menjadi krusial dalam menghadapi turbulensi global. Indonesia perlu mempercepat transformasi ekonomi melalui hilirisasi industri dan pengembangan teknologi. Pengalaman periode Trump pertama menunjukkan bahwa negara dengan fundamental ekonomi kuat dan strategi adaptif lebih mampu bertahan di tengah gejolak global. Dengan pendekatan yang tepat dan eksekusi yang konsisten, Indonesia dapat mengoptimalkan peluang sekaligus meminimalkan risiko dari pergeseran tatanan global di era Trump 2.0. [T]
Baca artikel lain dari penulis ELPENI FITRAH