DI TENGAH kering udara sore hari, puluhan anak berkumpul dan membikin barisan. Mereka dipimpin oleh seorang anak yang tampaknya telah dipercaya sang pelatih. Si pemimpin, anak berselendang kain batik itu, mengarahkan dan menertibkan rekan-rekannya. Tak jarang ia berteriak dengan mata bersungut, kesal.
Anak-anak berkumpul. Lalu berdoa dan mulai pemanasan. Mereka berlari-lari kecil, kadang sambil berjinjit, melompat-lompat, mengelilingi tanah lapang berdebu. Seorang anak mengelap keringat di dahinya menggunakan lengan kanannya dengan kasar. Sore hari yang terik, memang.
Selesai melakukan pemanasan di tengah panas sungguhan, seorang pria dewasa membagi mereka menjadi beberapa kelompok. Mereka dibagi berdasarkan karakter yang dipelajarinya. Sekelompok anak menjadi pasukan Sugriwa—Raja Wanara dari epos Ramayana itu—dan mulai menarikan gerakan layaknya kera ekor panjang. Lainnya menjelma pasukan raksasa, juga mulai menari. Beberapa turis berkulit pucat mengabadikannya. Gawai-gawai itu seolah tak mau mati. Kameranya menyorot ke mana pun anak-anak bergerak.
Merasa cukup menari, si pelatih meminta mereka untuk istirahat. Turis-turis bertepuktangan dengan senyum penuh kebahagiaan. Di akhir latihan, orang-orang manca itu membagikan beberapa bungkus permen kepada anak-anak. Mereka membaginya, rata.
Anak-anak berlatih Tari Wayang Wong di depan para turis di Sekretariat Jepri-Link | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Tidak bayar, semua gratis!” ujar Eta sambil membenarkan letak duduknya pada sore yang gerah di Banjar Dinas Tegal Sumaga, Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Bersama embusan angin kemarau yang kering, debu, dan gugur daun rambutan, pria itu begitu serius saat mengatakannya. Sedang dari utara, suara genta suci masih terdengar jelas—walau kadang lamat-lamat, timbul tenggelam. “Mereka [anak-anak] mau datang saja saya sudah senang,” sambungnya, singkat.
Sore itu, Eta baru saja menyelesaikan tugasnya dengan baik. Oleh sebab ada beberapa turis yang ingin melihatnya, terpaksa Eta mengundang anak-anak didiknya untuk datang dan latihan—walau barang sebentar, katanya. “Sudah biasa begini. Kalau ada tamu yang minta, kami akan ke sini, meski bukan jadwal latihan,” ungkap Eta. Ini adalah bentuk keseriusannya dalam mengenalkan tradisi kepada orang-orang manca berkulit pucat itu.
Hampir empat tahunan ini, Eta memang memiliki kesibukan tambahan secara sukarela. Di tengah aktivitasnya sebagai front office di salah satu hotel elit di Tejakula, sejak tahun 2020, ia mendedikasikan dirinya menjadi pelatih anak-anak setempat untuk belajar Tari Wayang Wong Tejakula. Dari sekian banyak seniman wayang wong di desa terbut, tampaknya hanya Eta yang memiliki pikiran untuk mengajarkan tarian tua ini kepada anak-anak usia SD dan SMP—bahkan usia TK beberapa—secara umum dan, seperti yang telah Eta katakan, cuma-cuma.
“Ada yang mengajarkan; tapi hanya kepada anak atau kerabatnya sendiri aja. Kalau secara umum belum ada. Makanya saya coba,” ujar pria bernama lengkap Ketut Sweta Swatara itu.
Eta memulai semua ini pada tahun 2020, seperti yang telah disinggung di atas. Awalnya, pada tahun tersebut, sebagaimana seniman Wayang Wong Tejakula lainnya, ia hanya melatih kedua anak dan keponakannya di rumah. Lalu bertambah sekira enam anak tetangga, sebelum belipat-lipat anak-anak mengikutinya.
Tapi Eta mengusahakannya dengan langkah serius. Mengetahui Tejakula memiliki pemimpin baru, ia memberanikan diri sowan untuk membicarakan apa yang ingin ia lakukan. “Saya menghadap Pak Camat,” katanya, tenang. Dan dasar nasib baik, dengan tulus Camat Tejakula menyambutnya.
Ketut Sweta Swatara melatih anak-anak Tari Wayang Wong Tejakula di Sekretariat Jepri-Link | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Eta senang, apalagi saat Pak Camat bersedia menjadikan tempat pribadinya sebagai semacam sanggar seni dadakan. “Tak hanya itu, Pak Camat juga mengajak anak-anak di sekitar rumahnya untuk ikut latihan—sekitar 10 anak, waktu itu,” terang Eta sembari tersenyum. Jadilah Eta melatih anak-anak Tari Wayang Wong Tejakula di tempatnya Pak Camat, di Sekretariat Komunitas Jejaring Pemerhati Lingkungan (Jepri-Link), Banjar Dinas Tegal Sumaga, sampai sekarang.
“Setelah saya posting di Facebook, makin banyak orang tua yang mendaftarkan anaknya. Dan, awal 2021, baru latihan sekitar tiga atau empat bulan, sudah ada undangan pentas di Taman Bung Karno (TBK), Singaraja. Waktu itu kami masih gabung dengan Sanggar Seni Rare Mekar Tejakula—karena mereka memiliki gamelan,” Eta bercerita.
Ayam berkokok. Dari pura, genta suci pedanda masih terdengar.
“Sampai sekarang sudah ada 43 anak yang ikut berlatih. Ada yang sudah SMP, banyak juga yang masih SD,” Eta memberi keterangan. Sampai sekarang, anak-anak Tejakula berlatih Tari Wayang Wong setiap satu minggu sekali, pada hari Minggu, saat anak-anak libur sekolah—dan kelompok ini sudah pentas beberapa kali di luar Tejakula.
Kesenian di Tangan yang Tepat
Sekretariat Jepri-Link teronggok tepat bersebelahan dengan kebun rambutan, pisang, dan kelapa milik warga. Jalan menuju ke sana tak besar, kecil saja, setapak dan berdebu. Kendaraan roda empat tak bisa mengaksesnya. Tamu-tamu bermobil harus rela jalan kaki, meski tak terlalu jauh dari tempat parkir di dekat jalan gang di ujung setapak. Tapi berkat pepohonan dan tanaman bunga, tempat itu cukup asri untuk dataran rendah seperti Tejakula.
Di sana ada beberapa bangunan. Salah satu bangunan digunakan untuk memajang beberapa produk daur ulang plastik yang diproduksi Jepri-Link, seperti sofa ecobrick salah satunya. Di depan bangunan tersebut terdapat tanah lapang memanjang yang berdebu. Di sanalah anak-anak Tejakula bermain dan berlatihan menari dengan suka cita.
Jepri-Link didirikan pada 2017, sesuai dengan Surat Keputusan Perbekel Tejakula Nomor 26 Tahun 2017. Komunitas yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup ini secara konsisten melakukan program-program dan gerakan pelestarian dengan cara mengolah sampah plastik, konservasi sungai dan laut, dan gerakan lain yang berkaitan dengan hal tersebut yang memiliki tujuan bersama untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup dengan mengedepankan upaya pemberdayaan.
Pada 2018, dua tahun sebelum kelompok Wayang Wong Anak Tejakula terbentuk, Jepri-Link Desa Tejakula meraih penghargaan Silpakara Nugraha kategori Ipteks dari Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, berkat inovasinya dalam mengolah limbah plastik di desa tersebut.
Ecobrick dan sebuah sofa produksi Jepri-Link | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Selain sebagai Camat Tejakula, beliau sudah lama dikenal sebagai pelestari lingkungan,” ujar Eta memperkenalkan I Gede Suyasa, Camat Tejakula, yang duduk di sebelahnya. Lelaki paruh baya itu tertawa. Tampaknya Gede Suyasa merupakan sosok pemimpin yang menyenangkan.
Ya, berbicara kelompok wayang wong anak-anak di Tejakula kurang lengkap rasanya kalau tidak menyebut nama Gede Suyasa. Sebab sosok inilah yang menguatkan Ketut Eta untuk membentuk semacam sekaa wayang wong anak-anak. Bahkan, sebagaimana telah disinggung di atas, Suyasa memfasilitasi tempat untuk latihan.
Tak hanya menyediakan tempat latihan, Pak Camat juga punya ide cemerlang, yaitu meminta anak-anak yang ikut latihan menari wayang wong supaya membawa sampah platik yang bisa didaur ulang. Ya, selama ini, Eta memang tak memungut uang sepeser pun—alias gratis—dari anak-anak yang ikut latihan Tari Wayang Wong. Tapi, dan ini yang membuat kagum banyak orang, sekali lagi berkat Camat Tejakula Gede Suyasa, setiap anak yang ikut latihan dianjurkan membawa sampah plastik setiap minggu sebagai, katakanlah, “bayarannya”.
Itu menjadi sesuatu yang menarik perhatian—termasuk orang-orang manca itu. Jadi, seminggu sebelum latihan, anak-anak didik Ketut Eta akan berusaha mengumpulkan sampah plastik, sebanyak-banyaknya. Mengenai hal ini, tak jarang orang tua juga ikut turun tangan membantu mengumpulkan sampah plastik, supaya anaknya bisa ikut latihan.
“Saya percaya bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan juga merupakan praktik kebudayaan. Dan kesenian tentu bisa kita jadikan sebagai wadah untuk anak-anak belajar mencintai lingkungan juga. Jadi disisipkan pengetahuannya, pelan-pelan,” kata Suyasa sembari tertawa.
Sejak awal kelompok Wayang Wong Anak-Anak Tejakula ini memang tidak diniatkan untuk mencari pundi-pundi rupiah. Ini dibuat memang untuk keperluan pelestarian kesenian dan usaha, sedikit demi sedikit, mengurangi waktu anak-anak bermain smartphone, pula mengajak anak-anak untuk bergerak, berolahraga.
“Kami tidak pernah mematok harga saat anak-anak diminta tampil di suatu acara. Paling hanya cukup untuk transportasi atau konsumsi aja kami sudah bersyukur. Yang jelas, anak-anak di sini kami beri pemahaman bahwa menari itu orientasinya bukan upah,” kata Eta, tegas.
Untuk keperluan pakaian, tapel (topeng), dan sebagainya, menurut Suyasa—dan itu diamini oleh Eta—kelompok ini masih bergantung dari donasi yang diberikan oleh wisatawan yang berkunjung ke tempat latihan mereka dan hasil penjualan produk dari sampah plastik yang dikumpulkan anak-anak. Ya, di sela-sela mereka latihan menari, mereka juga diajari membuat sofa dari ecobrick—sofa dari sampah plastik.
I Gede Suyasa, Camat Tejakula saat diwawancarai | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Di sini, selain menjaga tradisi, anak-anak juga belajar memperhatikan lingkungan sekitar. Maka kelompok seni ini saya namai: Wayang Wong Sispri-Link (Siswa Pemerhati Lingkungan),” ungkap Suyasa sembari tertawa. “Tapi rencananya saya mau tambahi nama itu dengan satu kata bahasa Bali, biar lebih terasa tradisinya. Namanya jadi Sekaa Wayang Wong Rare Sispri-Link. Sispri-Link-nya masih ada, biar kelihatan bahwa ada kegiatan peduli lingkungannya. Jadi belajar menari sambil bawa sampah plastik,” Eta menimpali.
Di Tejakula, Eta dan Suyasa dianggap “buduh”—dengan konotasi positif. “Pak Camat ini pemimpin yang ‘gila’, memang,” ujar Nyoman Sudi Paharta, pengelola sampah plastik Teja Olah Persada, yang sedari tadi ikut nimbrung di Sekretariat Jepri-Link. “Dia sama Eta itu cocok, sama-sama buduh.” Mendengar hal tersebut, Eta dan Pak Camat terbahak dan merasa bahwa mereka berdua memang “gila”—dan Nyoman Sudi juga termasuk golongannya.
Eta dan Suyasa, juga orang-orang yang mendukung apa yang mereka kerjakan, memberi napas baru bagi kesenian Wayang Wong Tejakula. Mereka melanjutkan perjuangan tokoh seniman hebat macam Sardono W Kusumo dan pelukis sekaligus tokoh Tejakula Nyoman Tusan (almarhum) yang membawa Wayang Wong Tejakula ke luar negeri.
Namun, terlepas dari itu semua, apa yang dilakukan Pak Camat dan Eta semacam pribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Di satu sisi melatih anak-anak untuk melestarikan kesenian (tradisi), pula mengajarkan betapa pentingnya menjaga dan merawat lingkungan. Dari mereka kita belajar bahwa kesenian dapat dipertemukan dengan gerakan pemerhati lingkungan.
Jika begitu, seharusnya agama pun demikian. Agama, dengan segala ajaran luhurnya, mesti dapat menjaga lingkungan—sebagaimana kesenian di tangan Eta, Suyasa, dan orang-orang sekitarnya.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole