Pendahuluan
Dinamika pembangunan Indonesia merupakan dampak positif dari perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini telah memasuki era industri 4.0. Mudahnya berkomunikasi dengan bantuan teknologi informasi menjadikan dunia seolah-olah tanpa batas (bordeless), saling terhubung satu sama lainnya sehingga melintas antar bangsa, bahasa, budaya dan ekonomi serta perkembangan hukum agraria. Situasi ini menimbulkan suatu pertanyaan besar tentang atas apa sebuah konsep hukum apa yang dapat ditetapkan pada situasi digital seperti dewasa ini, mengingat fenomena ini akan membawa perubahan besar terhadap dunia bisnis saat ini karena dapat dilakukan dengan secara elektronik melalui digital elektronik, artificial intelligence, big data, ataupun robotic.
Akan tetapi perkembangan teknologi ini bisa jadi sebagai sebuah pedang bermata dua, dimana disatu sisi dapat memberikan kontribusi yang bersifat positip terhadap peningakatan kesejahteraan, kemajuan dan perubahan peradaban manusia yang menyebabkan hubungan dunia tanpa batas. Tapi di sisi lain, dapat pula menyebabkan perubahan sosial, ekonomi dan budaya secara signifikan, peningkatan investasi perusahaan, peningkatan produktifitas dan kualitas sekaligus dapat menimbulkan pergeseran peran konvensional di dalam pasar, timbulnya persaingan sengketa, timbulnya perbuatan melawan hukum pelaku usaha, penyelesaian sengketa, atau bisa jadi dikarenakan belum adanya kemampuan pemerintah dalam membuat regulasi model bisnis dengan teknologi baru, dan timbulnya fragmentasi sosial yang dapat berpotensi melebarkan ketimpangan ekonomi. Satu hal yang pasti bahwa revolusi industri 4.0 telah hadir ditengah-tengah arus globalisasi tak mungkin bisa ditolak ataupun dihindari. Suka atau tidak suka, globalisasi telah dan segera menyapa setiap negara, bahkan menyentuh setiap masyarakat di dunia. Kemajuan pesat teknologi digital saat ini di seluruh negara-negara di dunia membawa berbagai dampak perubahan terhadap berbagai pelayanan publik kepada masyarakat.
Kondisi tersebut juga berlaku untuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Cq. Badan Pertanahan Republik Indonesia yang sudah mempersiapkan layanan elektronik dalam rangka mendukung transformasi Kementerian ATR /BPN RI mengantisipasi Era 4.0 dan globalisasi.
Mengutip pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (ATR/BPN RI ), Sofyan Djalil yang dimuat Notary Magazine.com (5/9/2019) silam bahwa digital cultural atau budaya digital harus menjadi tuntutan sebagai upaya percepatan pelayanan kepada masyarakat, mengingat dampaknya yang semakin kuat dan luas dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dan, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi juga semakin pesat, dan dewasa ini telah berdampak pada perubahan perubahan mendasar dan tuntutan yang besar terhadap layanan pertanahan, dan Kementerian ATR/BPN RI memahami digitalisasi data pertanahan menjadi hal yang penting dan harus segera dilaksanakan. Layanan pertanahan oleh Kementerian ATR/BPN berbasis digital atau elektronik, bertujuan memudahkan pengurusan pertanahan sehingga cita-cita untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha atau ‘Ease of Doing Business (EODB) di Indonesia dapat terpenuhi.
Proses ini akan terus berjalan di tengah kemampuan atau bahkan ketidakmampuan khususnya terhadap dampak negatif yang mungkin ditimbulkan. Pembangunan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yang merupakan suatu proses yang dinamis mengikuti tuntutan global dalam menghadapi kontradiksi dan dilema internassional yang dihadapi oleh masyarakat industri, khususnya bidang perdagangan atau bisnis yang sangat besarnya perannya dalam menjaga kekuatan ekonomi di Indonesia.
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang bertambah pesat setiap tahunnya, maka kebutuhan masyarakat akan tanah juga meningkat. Banyak masyarakat menjadikan tanah sebagai investasi karena harga tanah yang semakin meningkat. Pembaharuan hukum agraria akan menjawab pertanyaan tentang tujuan apa yang hendak di capai, apa yang akan dilakukan terhadap tanah yang ada, serta sarana apa yang akan di digunakan. Dan tentunya tantangan bagi pemerintah dalam merespon perubahan revolusi era industri 4.0 dengan membangun hukum nasional yang berkepribadian Indonesia, yang dilandasi dasar falsafah dan ideologi Pancasila. Pembangunan hukum berbasis Pancasila dan UUD 1945 dalam menuju peradaban masyarakat bermartabat dihadapan pada berbagai tantangan dan pengaruh ideologi asing.
Berangkat dari paparan di atas timbul pertanyaan, apakah perangkat hukum pertanahan yang erat kaitanya dengan investasi dan kemudahan berusaha sudah memadai mengikuti arus perkembangan globalisasi sekaligus sebagai upaya untuk menarik investor.
Salah satu yang cukup penting untuk melakukan investasi adalah kepastian hukum. Sebelum menjawab soal kepastian hukum, pertanyaan timbul apakah Undang-Undang Cipta Kerja (Klaster Pertanahan) sudah mengakomodir soal kepastian hukum tersebut.
Oleh karenanya, dapat dimaklumi mengapa investor membutuhkan adannya kepastian hukum, sebab dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga da ketentuan ada ketentuan lain yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ketentuan tersebut, antara lain berkaitan dengan perpajakan, ketenagakerjaan, perijinan dan masalah pertanahan. Semua ini akan menjadi pertimbangan bagi investor , dalam melakukan investasi sebagaimana dikemukakan oleh Charles Himawan :
“Peraturan- peraturan itu kadang-kadang demikian banyaknya sehingga menimbulkan kekaburan akan hukum yang berlaku. Untuk memanfatkan modal multinasional secara maksimal diperlukan kejernihan hukum”. Selanjutnya dikemukakan “apabila hukum yang berwibawa berarti hukum yang ditaati orang, baik orang yang membuat hukum itu maupun orang terhadap siapa hukum itu ditujukan, akan terlihat di sini kaitan antara manusia dan hukum. Di rasakan pula perlunya hukum yang berwibawa untuk menunjang pembangunan. Dalam konteks yang berlainan diamati perlunya kepastian hukum untuk menjamin arus modal (capitol flow) ke Indonesia.”
Apa yang dikemukakan penulis di atas tampak, bahwa masuknya Indonesia ke lalu lintas perdagangan internasional, maka kaidah-kaidah hukumnya pun harus mengadopsi norma-norma yang telah menjadi acuan umum. Untuk itu peraturan perundang-undangan yang akan diterbitkan oleh pemerintah dirasakan perlu untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan lainnya. Perlunya keteraturan agar investor merasa nyaman dalam melakukan kegiatan di daerah yang menjadi tujuan investasi.
Perlunya Pembaharuan Hukum Agraria
Dalam sejarah sistem hukum Indonesia, pernah terjadi ada bidang hukum yang sejak awal di sadari “non-netral”, dipaksakan untuk di unifikasi dengan melenyapkan eksistensi nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Upaya demikian terbukti tidak pernah berhasil secara efektif. Undang-Undang No 50 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (UUPA) adalah contoh yang baik untuk menunjukan ketidakberhasilan itu.
Dalam UUPA misalnya, hak-hak adat tidak (bersama hak menurut hukum barat dan hukum administratif) diupayakan untuk dikonversi menjadi hak-hak menurut hukum positif yang telah diunifikasi itu. Namun sampai tahun 1980, tatkala kebijakan konversi berakhir, hak-hak adat atas tanah masih tetap eksis. Hal ini terjadi dikarenakan pasal 3 UUPA sendiri masih memberi tempat kepaada hak-hak adat itu selama masyarakat hukum adatnya masih ada. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut keyataannya masih ada, harus sedimikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi. Penjelasana Umum UUPA (Butir II-3) memberi kesan bahwa sekalipun hak ulayat itu diakui, namun masyarakat hukum adat tidak boleh menghalangi Negara jika Negara memberikan jenis hak tanah lainnya, seperti hak guna usaha, apabila pemberian hak itu menyangkut kepentingan yang lebih luas.
Penjelasan singkat di atas menunjukkan ambiguitas Negara dalam memandang eksistensi hukum nasional harus diupayakan dengan jalan unifikasi diberbagai bidang hukum, termasuk bidang-bidang hukum non netral. Dan upaya unifikasi itu tidak menunjukan hasil yang memuaskan, kecuali area hukum pidana. Di sisi lain, hukum adat tetap diterima keberadaannya, khususnya dilapangan hukum perdata.
Berangkat dari kondisi-kondisi seperti diatas maka dirasa perlu adanya Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, di karenakan tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Kompleksnya problematika hukum agraria nasional, sudah seharusnya ada langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan problematika agraria. Langkah yang bisa dilakukan adalah mengkaji ulang beberapa klaster pertanahan yang ada pada Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan lain yang mengatur tentang agraria. Langkah ini dilakukan untuk menemukan akar persoalan dari berbagar macam masalah agraria. Sehingga pokok dari masalah agraria ini bisa dijadikan landasan untuk melakukan pembaharuan undang-undang dan peraturan yang ada agar bisa mengakomodir kebutuhan dan kepentingan rakyat di bidang agraria.
Dalam kaitannya dengan kebijakan masalah pertanahan maka perlu kiranya disimak apa yang di ungkapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dalam bukunya “Kertas Kebijakan Catatan Kritis Terhadap UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja” yang disampaikan pada Edisi 2 – 5 Desember 2020 lalu.
Terkait pengadaan tanah misalnya. Ada empat poin utama terkait pengaturan sektor pertanahan dalam UU Cipta Kerja. Pertama, substansi pertanahan yang dimuat dalam Bab VIII Bagian Keempat 9 (Pasal 125-147) UU Cipta Kerja (UU) terbukti tidak “menyederhanakan” regulasi karena UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) sebagai UU asalnya tidak dirujuk untuk dirubah atau dihapus. Rumusan disusun dengan cara menyalin substansi dalam RUU Pertanahan yang ditunda pembahasannya pada 23 September 2019 silam, karena permasalahan krusial yang belum diperoleh jalan keluarnya. Penambahan rumusan dalam UU justru menambah kerumitan substansinya.
Kedua, penyusunan pengaturan pertanahan dilandasi skenario besar untuk membuka peluang investasi melalui perolehan tanah yang relatif mudah untuk pelaku usaha. Untuk itu, maka dibentuklah Badan Bank Tanah yang akan menyediakan tanah dan membantu memberikan Kemudahan Perizinan Berusaha/Persetujuan. Kedudukan Hak Pengelolaan (HPL) sebagai “fungsi” dirombak menjadi “hak” karena dijadikan alas hak bagi pihak ketiga untuk menjalankan usahanya dengan memperoleh Hak Atas Tanah di atas HPL. Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL dijadikan primadona karena mayoritas jenis pembangunan untuk investasi memerlukan alas hak berupa HGB. Walaupun HGB belum berakhir, dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak setelah diperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Ketentuan ini berpeluang untuk diajukan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Secara khusus WNA dan Badan Hukum Asing diperkenankan memiliki apartemen/sarusun yang tanah-bersamanya berstatus HGB. Sayangnya skenario ini disusun dengan melanggar/bertentangan dengan Putusan MK, TAP MPR IX/2001, UUPA, dan Nawacita khususnya program kelima.
Di sisi lain, penyebutan Reforma Agraria (RA) sebagai salah satu tujuan Bank Tanah tak ada dampaknya terhadap redistribusi tanah pertanian. Ideologi Bank Tanah tak kompatibel dengan tujuan RA. Di samping rancu, ketentuan ini berpotensi melemahkan pelaksanaan RA sebagaimana diatur dalam Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Ketiga, penyusunan lima RPP pelaksanaan UU berpotensi semakin menambah ketidakpastian hukum karena substansi pertanahan dalam UU bertentangan dengan UU asalnya (UUPA) beserta aturan pelaksananya yang masih berlaku sepenuhnya.
Keempat, peraturan pertanahan yang ada dapat digunakan untuk mendukung investasi. Perbaikan dapat dilakukan seperlunya, tanpa harus memperkenalkan peraturan baru yang bermasalah dalam UU. Untuk mendorong investasi yang wajib dilakukan adalah memberikan pelayanan pertanahan yang lebih profesional, bersih dan bertanggungjawab.
Maka penulis berpendapat bahwa melalui pendekatan norma hukum, diharapkan bisa ditemukan beberapa problematika dalam mengelolaan agraria yang diantaranya; ketimpangan penguasaan tanah negara, tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan dan tidak berfungsinya UUPA. Sehingga untuk mengatasi problematika ini, Pemerintah Pasca Lahirnya UUCK” masih dirasa perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk melakukan pembaharuan terhadap hukum agraria yang ada. Pancasila dan konstitusi harus menjadi roh den jiwa dalam pembaharuan hukum agraria nasional. Sehingga tanah dan sumber agraria yang ada tidak lagi menjadi bahan dagangan.
Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu “…bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat…”.
Oleh karena itu, merupakan tugas negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria, termasuk tanah. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatas, dapat dikemukakan prinsip-prinsip kebijakan pertanahan nasional, diantaranya:
a) Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi;
b) Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan pembangunan sektoral yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak dengan pertanahan;
c) Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam pengelolaan pertanahan;
d) Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pembaruan Agraria sebagai suatu isu, bersifat kompleks dan multidimensi, dan oleh karena itu pendefinisiannya tidaklah sederhana.
Namun demikian, tanpa bermaksud menyederhanakan kompleksitas permasalahannya, pembaruan hukum agraria pada intinya meliputi hal -hal sebagai berikut :
a) Suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu kerangka waktu (time frame), tetapi selama tujuan pembaruan hukum agraria belum tercapai, pembaruan agraria perlu terus diupayakan;
b) Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan atau penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber agraria) oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;
c) Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber daya agraria), serta terwu judnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Reformasi agraria tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, perdebatan ideologi, dan campur tangan pihak internasional dimasa lampau.
Apa yang terjadi di masa lampau maupun dewasa ini masih beresonansi dengan keberadaan struktur agraria di Indonesia kini. Sehingga para pakar hukum agraria dirasa perlu mendesak diperlukan suatu studi yang lebih komprehensif mengenai gagasan pembaharuan hukum agraria di Indonesia, terutama dalam menata politik pertanahan nasional yang menuai banyak banyak kritik dari pengiat agrarian dan juga masyarakat.
UU Cipta Kerja (Klaster) Pertanahan yang di harapkan mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan, Mineral dan Batubara, masih perlu disempurnakan kembali.
Benarkah UU Cipta Kerja (Klaster Pertanahan) ikut Mengatasi Terpaan Globalisasi?
Menindaklanjuti pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah saat ini tengah menyusun aturan pelaksanaan berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Dalam prosesnya, pemerintah berkeinginan untuk menyerap aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan dengan harapan RPP ini nantinya bisa mengakomodasi seluruh aspirasi dan menampung seluruh masukan dari pelaku usaha dan masyarakat. Atas dasar tujuan itu, pemerintah membentuk tim independen yang akan berkunjung ke beberapa kota untuk menyerap masukan, tanggapan, dan usulan dari masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan terkait RPP dan RPerpres UU Cipta Kerja. Rangkaian kegiatan serap aspirasi berusaha menampung seluruh saran dan masukan dari stakeholders terkait mengenai sektor tata ruang, pertanahan, PSN, PUPR, transportasi, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), perizinan berbasis risiko, dan informasi geospasial. Terobosan besar diperlukan dalam melakukan transformasi ekonomi serta mendorong reformasi struktural di Indonesia. Di sinilah UU Cipta kerja tercipta. Tak hanya mendorong pemulihan ekonomi dan transformasi ekonomi, namun UU Cipta Kerja juga sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada serta tantangan Indonesia di era 4.0, serta bagaimana mengantisipasi perkembangan ekonomi globalisasi. Pemerintah berharapan UU Cipta kerja mampu menciptakan lapangan kerja dan kewirausahaan melalui kemudahan berusaha. Salah satunya terkait insentif untuk Kawasan Ekonomi (KEK, KPBPB, dan Kawasan Industri) dan percepatan penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN). Manfaat lainnya yakni penyediaan perumahan akan dipercepat dan diperbanyak untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang dikelola oleh Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3).
Terkait redistribusi tanah, akan dibentuk Bank Tanah ( sudah diatur dengan dalam Peraturan Pemerintah 18 Tahun 2021 Tentan gHak Pengelolaan, Pendaftaran Tanah a Satuan umah Susun) untuk mempercepatan reforma agraria dan redistribusi tanah kepada masyarakat. Sedangkan untuk perkebunan di kawasan hutan (ketelanjuran), masyarakat diberikan izin (legalitas) untuk pemanfaatan atas ketelanjuran lahan dalam kawasan hutan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan.
Teknologi Canggih Menyentuh Kementerian ATR – BPN RI
Perkembangan teknologi di Kementerian Agraria dan Tata Ruang – BPN RI berkembang begitu cepat. Pun demikian dengan penarapannya di beberapa Kantor pertanahanan di tanah air. Kini, pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, sebagai salah satu pengampu amanat UUCK, melalui klaster pertanahan, Kementerian ATR/BPN telah menyelesaikan RPP sebagai aturan turunan dari UUCK. Selain itu, Pemerintah juga telah memberikan banyak stimulus untuk meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia. Salah satunya dengan menggencarkan DILAN (Digital Melayani). Merespon hal tersebut, tahun 2020 lalu Kementerian ATR/BPN telah memberlakukan layanan elektronik pada beberapa pelayanan seperti Hak Tanggungan Elektronik (HT El), Pengecekan Sertipikat, Zona Nilai Tanah serta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.
Tidak berhenti sampai di situ, Tahun 2021 ini Kementerian ATR/BPN akan memulai penggunaan sertipikat elektronik dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik sebagai dasar pemberlakuan sertipikat elektronik. Dengan peraturan ini maka pelaksanaan pendaftaran tanah yang sebelumnya dilakukan secara konvensional, dapat dilakukan secara elektronik, baik itu pendaftaran tanah pertama kali, maupun pemeliharaan data. Setelah payung hukumnya terbit, Kementerian ATR/BPN juga tengah menyiapkan langkah-langkah pelaksanaan pendaftaran tanah secara elektronik tersebut.Pelaksanaan pendaftaran tanah secara elektronik diberlakukan secara bertahap, akan diatur oleh Menteri.
Dan hasil pelaksanaan pendaftaran tanah secara elektronik ini nantinya berupa data, informasi elektronik dan atau dokumen elektronik, yang merupakan data pemegang hak, data fisik dan data yuridis bidang tanah yang valid dan terjaga autentikasinya. Produk dari pelayanan elektronik ini seluruhnya akan disimpan pada Pangkalan Data Sistem Elektronik.
Pemerintah dalam beberapa kesempatan menegaskan agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan keamanan pendaftaran tanah elektronik ini. Dikarenakan penyelenggaraan pendaftaran tanah dengan sistem elektronik ini dilaksanakan secara andal, aman, dan bertanggung jawab. Kementerian akan menyiapkan dengan matang.
Penyelenggaraan sistem elektronik untuk pelaksanaan pendaftaran tanah ini nantinya akan meliputi pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian data.
Akan tetapi dengan adanya penolakan yang kencang dari masyarakay atas rencana pelaksanaan e sertipikat yang kemudian menyababkan DPR mengeluarkan pernyataan keras atas penolakan tersebut maka kementrian ATR BPN menarik pemberlakuan Permen ATR BPN nomor 1 Tahun 2021 Tentang E sertipikat.
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai penutup dapat disampaikan rangkuman dari apa yang telah di bahas dalam tulisan ini, sekaligus diajukan beberapa catatan penting bahwa Pembaharuan hukum Agraria adalah suatu keniscayaan untuk mewujudkan keadilan dalam upaya menyejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat petani, nelayan dan masyarakat adat yang harus disertai dengan Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia. Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia diperlukan untuk mengantisipasi kemajuan dan perkembangan 4.0, khususnya di bidang pertanahan sesuai dengan arus globalisasi.
Penyempurnaan UUCK hanya pada hal-hal yang bersifat praktikal dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan globalisasi yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa, sedangkan konsep filosofis UUPA tetap harus dipertahankan. .
Saran
Dalam rangka “penyempurnaan UUCK (Klaster Pertanahan)”, maka produk hukum yang dihasilkan fungsinya tidak terbatas pada social control tetapi juga berfungsi sebagai social engineering. Mengenai masalah-masalah terkini yang berkembang di lapangan sebagai konsekuensi dari globalisasi diakomodir dalam penyempurnaan ini sehingga ada landasan yuridis untuk mengatasi permasa lahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat di satu pihak dan melindungi masyarakat dari pihak manapun karena adanya kekosongan dan ketidak pastian hukum.
Pembaharuan hukum agraria adalah kebijakan pemerintah di bidang pertanahan yang ditujukan untuk peruntukan dan penggunaan penguasa atau pemilikan tanah yang dimaksud untuk menjamin perlindungan hukum dan meningkatkan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Peraturan Pelaksanaannya. Dan sebagai upayanya, untuk mengatasi konflik kebijakan tersebut ialah dengan melakukan harmonisasi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan kementerian atau lembaga. Harmonisasi itu kedepannya terus dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya melalui revisi UU Cipta Kerja (khususnya Klaster Pertanahan) sehingga bisa efektif dapat menyelesaikan persoalan kebijakan agraria di Indonesia. Salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia ialah sengketa di bidang pertanahan.
Untuk itu, strategi dari pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasioanal (PPAN) sebagaimana yang telah dirumuskan oleh BPN-RI diharapkan bisa dilakukan :
1). Penataan atas konsentrasi aset dan atas tanah-tanah terlantar melalui penataan politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA.
2). Seyogyanya pemerintah mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagai obyek Reforma Agraria untuk rakyat (subjek Reforma Agraria). Tidak dijalankannya pembaharuan agraria khususnya landreform di Indonesia justru menjadikan masyarakat Indonesia, khusunya masyarakat-masyarakat yang kehidupanya tergantung pada sumberdaya agraria baik masyarakat petani dipedesaan ataupun komunitas masyarakat adat yang hidup mengelola sumberdaya lahan secara turun-temurun harus berkonflik dengan sektor private atau swasta yang di beriijin oleh negara untuk mengelola sumberdaya lahan diIndonesia.
Dalam konteks tersebut sesunguhnya pola landreform dengan pendekatan komunal adalah sebagai upaya mengupayakan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok sosial yang sudah berkembang pada masyarakat komunal.
Selanjutnya landreform diupayakan untuk mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan, dan pendekatan pola komunal pada masyarakat komunal adalah dalam upaya pembangunan yang menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.
Kepercayaaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan yang memutuskan, berikutnya adalah pembangunan yang berkelanjutan artinya bukan hanya ramah lingkungan tetapi tradisi-tradisi lokal harus ditingkatkan kwalitasnya untuk keberlanjutan sistim dan produktifitas lahan sehingga menjadikan masyarakat untuk mempunyai kemampuan membangun secara mandiri dan independen yaitu pembangunan berarti mengurangi ketergantungan untuk menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati. Hal tersebut yang harus menjadi perhatian bagi perancang, perencana dan pelaksana model pembaharuan agraria nantinya.[T]
DAFTAR PUSTAKA
- Dr. Sentosa Sembiring. SH. MH. “Hukum Investasi” Revisi Kedua Cetakan ke III Juli 2018 (Hal 17)
- Shidarta-Abdul Rasyid-Ahmad Sofian. “Aspek Hukum Ekonomi dan Bisnis” cetakan kedua, April 2019 (Hal 15)
- Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M. Prof. Dr. Maria S.W Sumardjono, S.H., MCL, MPA. Prof. Dr. Sulistiowati, S.H., M.Hum Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Ari Hernawan, S.H., M.Hum. Dahliana Hasan (S.H., M.Tax., Ph.D.) Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M. Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M I Gusti Agung Made Wardana, S.H., LL.M, Ph.D Dr. Wahyu Yun Santoso, S.H, M.Hum, LL.M Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M. Adrianto Dwi Nugroho S.H., Adv.LL.M., Ph.D Nabiyla Risfa Izzati, S.H., LL.M. Fadhilatul Hikmah, S.H., LL.M.(Buku “Kertas Kebijakan Catatan Kritis Terhadap UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja” (Pengesahan DPR 5 Oktober 2020), Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Edisi 2 – 5 Desember 2020 (Hal 9)
- Menteri Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Sofyan Djalil, “Digital cultural atau budaya digital harus menjadi tuntutan sebagai upaya percepatan pelayanan kepada masyarakat, mengingat dampaknya yang semakin kuat dan luas dalam kehidupan masyarakat Indonesia”. (Notary Magz 5/9/19)
- Pemerintah Turun ke Daerah Sosialisasikan UU Cipta Kerja: Bahas Klaster Tata Ruang, Pertanahan, PSN, PUPR, Transportasi, KEK, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Informasi Geospasial (sumber : ekon. Go. Id. /02 Dec 2020)
- Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. “Merupakan tugas negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria, termasuk tanah”.
- Penyelenggaraan pendaftaran tanah dengan sistem elektronik ini dilaksanakan secara andal, aman, dan bertanggung jawab. (www.atrbpn.go.id)
BACA artikel lain tentang hukum dan kenotarisan dari penulis I MADE PRIA DHARSANA