TABUH Bratayuda dimainkan. Penonton bersorak. Lapangan kecil itu bergemuruh. Suara gong dan ramai penonton membaur dalam suasana yang sulit dijelaskan. Mendung yang mendaulat langit Menyali sejak sore hari, bergeming dan seolah tak “berani” meneteskan airnya meski barang sebutir—atau mungkin merasa cukup setelah membuat kuyup Menyali pada siang hari sebelum perayaan dimulai.
Dan di luar dugaan, Made Kranca, yang usianya sudah tak lagi muda itu, bahkan ikut serta membawakan repertoar Bratayuda dengan permainan ugal-nya yang mengesankan. Ah, dasar maestro, ia menabuh gamelan berbilah itu semudah mengedipkan kedua matanya.
Kranca dan Bratayuda menggila. Sementara penonton semakin girang saat panggul-panggul dan tangan-tangan penabuh mulai mempercepat gerakannya. Saking cepatnya, panggul-panggul itu tampak seperti memukul angin, tak sampai menyentuh gamelan. Saat menjelang akhir, gemuruh sorakan dan tepuk tangan datang dari berbagai arah, tak putus-putus. Malam itu, Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng, membuka gong mebarung dengan cukup baik.
Malam semakin pecah saat Sekaa Gong Legendaris Saraswati Desa Menyali, Sawan, Buleleng—yang notabene sebagai tuan rumah gong mebarung kali ini—memainkan Tabuh Lelonggoran Ombak Kaulu setelah Bratayuda diperdengarkan. Seakan tak mau kalah dengan kebyar tabuh ciptaan the one and only, sang maestro Gde Manik, tabuh tua karya Guru Cening Beritem dan Guru Gede Negara—dua maestro gong kebyar Menyali—ini mengentak dan mengejutkan.
Made Kranca di tengah-tengah Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma Jagaraga | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Dengan tabuhan yang kadang-kadang lembut, juga keras, yang harmonis, Ombak Kaulu seperti debur laut yang datang dan pergi di sasih kaulu, deburan maha besar, seakan-akan mendengarkan suara gemuruh. Gelombang suara itu memacak dan menyita mata dan telinga penonton untuk tak berkedip dan menuli. Satu kata yang dapat mewakili tabuh ini ialah: dahsyat. Guru Cening dan Guru Negara telah mewariskan sebuah repertoar yang indah sekaligus enak didengar, meski bagi orang awam barangkali kata “idah” dan “enak” itu terlalu rumit untuk dijelaskan.
Tetapi tabuh lelongoran dalam pengertian identitas musikal adalah sebuah produk budaya-seni karawitan khas Buleleng yang tidak dimiliki oleh daerah manapun di Bali. Komposisi ini secara fungsional digunakan dalam multikonteks kehidupan sosial kultural masyarakat Buleleng.
Dan sebagaimana tuan rumah pada perhelatan apa pun, penonton dari Menyali tentu saja lebih banyak daripada Jagaraga. Maka tak heran jika sorakan dan tepuk tangan untuk Ombak Kaulu terdengar lebih meriah daripada Bratayuda. Tapi sulit juga untuk tidak bersorak dan tepuk tangan saat Bratayuda dimainkan sebelumnya. Artinya, terlepas dari selera pendengaran setiap orang, kedua tabuh ini memang sama-sama menakjubkan.
Menyita perhatian agaknya menjadi frasa yang tepat untuk menyebut pertunjukan gong mebarung yang diselenggarakan Desa Adat Menyali dalam rangka “Otonan Gong dan HUT ke-90 Bendera Saraswati Raja Klungkung” di lapangan Desa Menyali, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Rabu (25/9/2024) malam itu.
Pertunjukan ini digelar sebagai semacam penguat ingatan atas riwayat kesenian dan kebudayaan sekaligus penghormatan kepada para leluhur Desa Menyali. Pula mempererat hubungan antara Menyali dan Jagaraga yang sudah terjalin sejak dulu.
Penabuh Sekaa Gong Legendaris Saraswati Menyali | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Desa Menyali, sebagaimana keterangan Kelian Desa Adat Menyali, Jro Gede Carita, memiliki dua, katakanlah, “pusaka” berupa gong gantung (lanang) dan kemong. Gong gantung yang diberi nama Sekar Gadung ini merupakan anugerah—atau pemberian—dari Raja Buleleng pertama Ki Barak Panji Sakti atas rasa terima kasih sekaligus penghormatan kepada Pasek Menyali, pengelingsir Desa Menyali, yang telah ikut-serta Ki Barak saat membantu kapal dagang Cina yang kandas di Pantai Penimbangan pada tahun 1640—seperti yang tercatat dalam Babad Buleleng yang tersimpan di Gedong Kirtya. Sedangkan kemong yang diberi nama Sekar Taji itu, adalah warisan dari Jro Pasek Bulian, Jro Pasek Kubutambahan, dan Jro Pasek Menyali.
Tak hanya gong, Menyali juga memiliki panji/bendera bersejarah yang didapat dari Raja Klungkung Anak Agung Geg pada 10 November 1934, 90 tahun silam. Bendera Saraswati ini semacam piala atas kemenangan Sekaa Gong Desa Menyali saat Parade Gong Mebarung di Puri Klungkung zaman itu. Saat ini, panji Raja Klungkung itu kondisinya masih tampak baik meski terdapat beberapa lubang. Dan pada saat ulang tahunnya yang ke-90, bendera ini ditancapkan di antara gamelan kebyar bersama pusaka gong dan kemong pada mebarung malam kemarin.
Dalam khazanah kebyar, Menyali dan Jagaraga merupakan dua desa penting yang sama-sama dianggap sebagai “ibu kandung”—walaupun masih terjadi perdebatan—kesenian gong Bali yang lahir pada abad ke-20 ini. Jauh sebelum kebyar menjadi pelebur gong-gong tua dan menggerakkan revolusi kesenian Bali, menurut Jro Gede Carita, pada kisaran tahun 1640-an, Sekaa Gong Desa Menyali sudah lahir dengan nama Sekaa Gong Sekar Gadung.
“Nama itu kemudian berganti menjadi Sekaa Gong Saraswati Menyali saat mendapat penghargaan dari Raja Klungkung. Saraswati itu sesuai dengan nama bendera yang diberikan,” ujar lelaki paruh baya yang fasih berbahasa Bali halus itu.
Penari Trunajaya Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma Jagaraga | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Jika di Jagaraga ada nama I Wayan Paraupan—atau yang lebih dikenal dengan nama Pan Wandres—dan Pan Cening Liyana yang dianggap sebagai pelopor gong kebyar pada tahun 1910-an, di Menyali tersebut nama Guru Cening Beritem dan Guru Gede Negara—sebagaimana orang Menyali memanggil dua sosok tersebut. Pan Wandres dan Pan Cening Liyana menelurkan Kebyar Legong, sedangkan Cening Beritem dan Gede Negara melahirkan Legong Pengeleb pada kisaran tahun 1930-an.
Pada 1937, berdasarkan keterangan Anak Agung Gde Gusti Djelantik (Regen Buleleng saat itu), dalam catatannya yang berjudul Music in From and Instrumental, Organization in Balinese Orchestral Music yang diterbitkan pada 1986, Colin McPhee menyebutkan bahwa gong kebyar, untuk pertama kalinya, diperdengarkan kepada khalayak umum pada Desember 1915, yakni pada saat beberapa sekaa gamelan terbaik di Bali Utara mengikuti perlombaan gamelan di Jagaraga.
Dan sangat memungkinkan Menyali juga ikut serta dalam perlombaan tersebut. Mengingat, dalam buku I Wayan Senen yang berjudul Wayan Beratha Pembaharu Gamelan Kebyar Bali (2002), selain eksis di Desa Jagaraga, sebenarnya gong kebyar juga sudah eksis di beberapa desa lain di Bali Utara, seperti Desa Bungkulan, Ringdikit, Sawan, Banyuatis, Nagasepa, Patemon, Menyali, Bebetin, Bubunan, Bantiran, dan Kedis. Sekali lagi, soal gong kebyar, bisa jadi Menyali dan Jagaraga memang sama tuanya.
Merayakan Warisan
Semalam, masing-masing sekaa gong membawakan dua tabuhan (repertoar) dan tarian. Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma membawakan Tabuh Pepanggulan Bratayuda dan Manik Amutus, pula Tari Trunajaya dan Palawakya. Sedangkan Sekaa Gong Legendaris Saraswati dengan percaya diri memperdengarkan Tabuh Lelonggoran Ombak Kaulu dan Tabuh Kreasi Sri Wijaya serta Tari Trunajaya dan Tari Legong Pengeleb.
Seolah sudah menjadi pengetahuan umum, Tabuh Pepanggulan Bratayuda lahir dari tangan dingin Gde Manik di mana tabuh ini terinspirasi dari perang besar dari epos Mahabarata, Perang Bharatayudha—atau Perang Kurukshetra karena terjadi di Padang Kurukshetra. Karya ini tercipta pada era 1950-an. Melalui repertoar ini, sebagai sebuah komposisi karawitan baru pada zamannya, Gde Manik mengemas nada-nada dalam struktur dan garap yang bebas, tapi tetap tidak meninggalkan unsur-unsur garap tradisi, seperti gilak, kebyar, pengadeng, dan gegenderan.
“Tempo, dinamika, suasana dan struktur, digarap sesuai dengan dramaturgikal Perang Bharatayudha,” ujar Nyoman Arya Suriawan, Kelian Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma, suatu ketika.
Pada 1970-an, seorang murid Gde Manik yang masih hidup hingga kini, Made Kranca, mencoba membuat sebuah komposisi baru untuk Sekaa Gong Jagaraga. Bersama sang guru akhirnya Kranca melahirkan sebuah tabuh yang mengambil ide dan roh dari beberapa komposisi gamelan sebelumnya, seperti gender wayang, lelonggoran, dan gambang. Komposisi itu kemudian dikenal dengan nama Tabuh Manik Amutus.
Namun, jauh sebelum Bratayuda dan Manik Amutus diciptakan, Tabuh Lelonggoran Ombak Kaulu dan Tabuh Kreasi Sri Wijaya yang dibawakan Sekaa Gong Legendaris Saraswati malam itu, lahir pada tahun 1913. Seperti yang sudah disinggung di atas, Ombak Kaulu lahir dari dua orang seniman Menyali bernama Guru Cening Beritem dan Guru Gede Negara.
Penari Palawakya Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma Jagaraga | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Sedangkan Kreasi Sri Wijaya ditelurkan oleh Putu Kota dan Gede Negara. Jika Ombak Kaulu terinspirasi dari gerakan gelombang, Sri Wijaya lahir dari petani panen padi. Sri Wijaya dipersembahkan kepada petani dan segala kesuburan tanah Menyali—Ida Betara Sri.
Sri Wijaya diaransemen oleh Ketut Rediasa dan Kadek Adi Atmajaya. Tabuh ini diawali dengan gegenderan klasik, selanjutnya diiringi oleh instrumen-instrumen gamelan lainnya secara berbarengan. Tabuh ini didominasi oleh instrumen reong dan silih berganti dengan instrumen-instrumen lainnya.
Selain tabuh, setidaknya ada tiga tarian yang dipentaskan malam itu, yaitu Trunajaya, Palawakya, dan Legong Pengeleb. Trunajaya dan Palawakya menjadi salah dua tarian kebyar yang populer dari Desa Jagaraga. Tari Trunajaya berserta kisah di baliknya, nyaris selalu disebut saat berbicara gong kebyar. Sedangkan Palawakya jelas sebuah masterpiece dari Wayan Paraupan—atau Pan Wandres, guru Gde Manik, juga kakek kandung Made Kranca.
Palawakya merupakan tarian kebyar yang menuntut penarinya untuk memiliki kemampuan yang virtuistik. Pasalnya, saat menarikan Palawakya penari harus menguasi tiga keahlian sekaligus, yaitu menari, menabuh, dan menembang (malawakya/mekekawin). Ini seolah menunjukkan bahwa Pan Wandres bisa dan mampu menguasai ketiga kemampuan terebut.
Dan Tari Legong Pengeleb yang diciptakan pada tahun 1934 oleh Guru Cening Baritem dan Guru Gede Negara itu menjadi penutup gong mebarung yang diadakan Desa Adat Menyali malam itu. Lengong Pengeleb menggambarkan suasana hati kaum perempuan yang penuh kegembiraan dengan ekspresi bahagia, suka cita, dan keagresifan karena telah terbebas. Kata “pengeleb” berarti bebas. Tarian ini lahir di zaman pergerakan nasional dan emansipasi wanita.
Menyaksikan gong mebarung antara Menyali dan Jagaraga malam kemarin, penonton seperti bernostalgia saat kedua desa tersebut pentas di panggung Pesta Kesenian Bali—walaupun pada saat itu mereka tidak bertemu dalam satu waktu dan panggung. Sekaa Gong Desa Menyali tampil di panggung Ardha Candra, Denpasar, 28 Juni 2023 yang lalu. Mereka juga menampilkan tabuh dan tari seperti yang dipentaskan di panggung yang berdiri di lapangan Desa Menyali malam kemarin.
Penari Legong Pengeleb Sekaa Gong Legendaris Saraswati Menyali | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Sedangkan Sekaa Gong Jagaraga pentas di panggung Ardha Candra Pesta Kesenian Bali pada 10 Juli 2024. Dan apa yang ditampilkan Sekaa Gong Jagaraga malam kemarin juga dipentaskan di PKB beberapa bulan yang lalu.
Sampai di sini, apa yang dipentaskan oleh kedua sekaa malam kemarin seluruhnya adalah karya “warisan” para seniman terdahulu yang lahir dan hidup di kedua desa tersebut. Tak ada garapan baru entah dari Jagaraga maupu Menyali—kecuali Legong Pengeleb yang merupakan hasil rekonstruksi I Made Redita (Pan Carik), I Made Kranca, dan I Made Panca Wirsutha. Itupun bukan karya baru, hanya sekadar rekonstruksi dari karya yang sudah ada sebelumnya.
Namun, meski demikian, warisan juga tetap harus dirayakan. Merayakan warisan ini dapat kita baca sebagai bentuk penghormatan, juga dalam rangka pelestarian dan merawat ingatan akan mahakarya yang pernah lahir dari Jagaraga dan Menyali beserta sosok yang telah menciptakannya. Dengan adanya acara semacam ini, nama-nama lama seperti Guru Cening Baritem, Guru Gede Negara, Pan Wandres, dan Gde Manik kembali diperdengarkan—walaupun barangkali lamat-lamat dan sepintas lalu.
Menyali dan Jagaraga tentu saja memiliki seni-budaya yang kaya, baik yang bersifat tangible maupun intangible. Warisan seni-budaya ini menyimpan banyak kearifan masa lalu dari nenek moyang mereka. Namun, perlu digarisbawahi, tak berhenti di masa lalu, mereka juga harus menjadikan kearifan masa lalu tersebut sebagai inspirasi untuk menghadapi tantangan masa depan dan membangun kehidupan seni-budaya yang berkelanjutan, salah satunya barangkali mulai berusaha untuk melahirkan garapan tabuh atau tari kekebyaran baru.
Untuk itu, selain mementaskan, atau katakanlah merayakan warisan, sepertinya Jagaraga dan Menyali perlu juga menghadirkan kesenian serta kebudayaan yang dapat dilihat relevansinya antara kearifan masa lalu dan kehidupan masa kini. Seniman muda dari kedua desa tersebut perlu hadir untuk menerjemahkan kekayaan pengetahuan tradisional ke dalam bentuk seni kontemporer yang lebih mudah dinikmati masyarakat. Dengan begitu, masyarakat dapat merasakan kedekatan dengan kekayaan budaya Bali yang sesungguhnya.[T]