RADIO di Indonesia memiliki sejarah penting sebagai media massa yang berperan signifikan, terutama saat masa perjuangan kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, berita mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pertama kali disiarkan melalui radio oleh kantor berita Domei (sekarang RRI), meskipun ada ancaman dari Jepang yang masih menduduki Indonesia.
Siaran tersebut membantu menyebarluaskan kabar kemerdekaan ke berbagai wilayah negeri, bahkan hingga ke pelosok, sehingga masyarakat Indonesia segera mengetahui bahwa negara mereka telah merdeka. Terbayang betapa euforia saat itu tentu sangat luar biasa.
Setelah kemerdekaan, radio tetap menjadi alat penting untuk mempersatukan bangsa. Radio Republik Indonesia (RRI) didirikan pada 11 September 1945 dengan tujuan menyebarkan berita kemerdekaan, menggalang dukungan, dan membangun semangat nasionalisme.
Pada masa revolusi, radio juga digunakan untuk menyampaikan strategi dan perkembangan politik, serta menjadi media informasi yang andal di tengah keterbatasan media cetak dan televisi saa itu. Radio bukan hanya media informasi, tetapi juga simbol perlawanan dan kedaulatan bangsa, yang memainkan peran vital dalam menghubungkan rakyat dan pemerintah selama perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia tercinta.
Transformasi Radio di Era Digital
Masa berganti, namun hingga kini radio tetap menjadi media yang penting di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang akses terhadap internet masih terbatas. Radio, sebagai media tradisional, menghadapi tantangan besar dalam era digital dengan munculnya streaming online dan podcasting.
Perubahan ini menuntut radio untuk melakukan adaptasi yang tidak hanya teknis, tetapi juga konseptual. Salah satu adaptasi yang menyolok salah satunya adalah, bahwa penyiar kini harus menjadi lebih multitalenta, menggabungkan kemampuan penyiaran klasik dengan kemampuan digital seperti pengelolaan media sosial dan podcasting. Penyiar tak lagi hanya berkomunikasi dengan suara, tetapi juga dengan video, teks, dan gambar di platform media sosial dan streaming.
Kebiasaan mendengar pun telah berubah. Platform digital menyerahkan kontrol yang kuat pada pendengar. Mereka dapat memilih apa yang ingin mereka dengar, kapan, dan di mana saja. Ini bertentangan dengan karakter radio tradisional yang sifatnya linier, di mana pendengar harus menunggu program tertentu pada jam tertentu. Akibatnya, kini pendengar menjadi lebih otonom, cenderung mengkonsumsi konten berdasarkan preferensi pribadi, bukan jadwal stasiun (Pandusaputri, 2024).
Dengan adanya perubahan ini, mau tak mau radio di era digital ini perlu melakukan reposisi, ia harus menjadi bagian dari ekosistem multiplatform, di mana tradisi siaran langsung tetap dijaga, namun juga dibarengi dengan fleksibilitas teknologi digital. Hal ini menjadi mutlak agar bisa bertahan dan berkembang.
Radio digital kini memungkinkan interaksi langsung dengan pendengar melalui berbagai saluran, seperti media sosial, aplikasi, dan fitur interaktif lainnya. Ini menciptakan ruang dialog dua arah yang sebelumnya tidak dimungkinkan dalam radio tradisional. Melalui media sosial, pendengar dapat memberikan umpan balik secara real-time, berpartisipasi dalam polling, atau bahkan terlibat dalam siaran langsung melalui komentar dan pesan.
Aplikasi radio digital memungkinkan pendengar mengirimkan permintaan lagu, ikut serta dalam kuis, atau mengirimkan pertanyaan kepada bintang tamu acara. Fitur interaktif seperti ini secara drastis mengubah cara radio berfungsi, bukan lagi sebagai media satu arah, tetapi menjadi platform komunikasi dua arah yang lebih partisipatif.
Di tengah perubahan sosial zaman yang ditandai oleh individualisme dan fragmentasi komunitas, radio digital dengan fitur interaktifnya, mampu menjembatani keterpisahan sosial dan memberi pendengar rasa keterlibatan yang lebih kuat. Para pendengar tidak lagi menjadi objek pasif, tetapi aktor yang terlibat aktif dalam narasi siaran. Ini menumbuhkan rasa inklusi sosial yang sangat dibutuhkan di tengah dinamika masyarakat modern liquid society yang semakin terpolarisasi dalam era yang ditandai oleh letupan perubahan begitu cepat pada pelbagai bidang (Bauman, 2000).
Secara lebih filosofis, interaksi langsung melalui teknologi ini bisa dilihat sebagai upaya manusia modern untuk menegosiasikan ruang-ruang keterhubungan yang makin sulit dicapai dalam kehidupan fisik. Dengan adanya radio digital yang interaktif, komunikasi tidak hanya menjadi suatu proses teknis, tetapi juga menjadi fenomena sosial yang lebih mendalam, di mana relasi manusia diredefinisi melalui media suara dan teknologi digital (Castell, 2010).
Radio modern yang kini menggunakan media sosial sebagai perpanjangan dari jangkauan siarannya, memperluas pengaruhnya ke audiens yang mungkin tak terjangkau oleh frekuensi tradisional. Stasiun radio membangun akun di platform digital seperti Instagram, Twitter (atau X), dan TikTok untuk berinteraksi dengan audiens secara langsung, mempromosikan konten, dan bahkan memicu diskusi. Melalui media sosial, mereka dapat menjangkau generasi muda yang lebih akrab dengan format digital.
Media sosial juga memungkinkan penyebaran viral dari konten radio, memperkuat daya jangkau dan menciptakan berbagai komunitas virtual (Boyd & Ellison, 2007). Melalui kampanye media sosial, stasiun radio dapat menarik audiens untuk berpartisipasi aktif dalam program-programnya, saling berbagi pengalaman, atau mempengaruhi konten melalui polling dan saran. Ini membuat radio tidak lagi sekadar platform penyiaran, tetapi bagian dari ekosistem media yang dinamis, interaktif, dan inklusif (Castells, 2010).
Tantangan dan Ancaman Radio di Era Digital
Bila ditilik dengan cermat, ada ancaman terselubung dalam fenomena ini. Ketergantungan pada media sosial berpotensi mengurangi independensi radio sebagai media, karena algoritma platform digital menentukan distribusi dan visibilitas konten. Jika sebuah stasiun terlalu terikat dengan mekanisme media sosial, ia bisa-bisa akan terjebak dalam logika viralitas, yang mengorbankan kedalaman konten demi popularitas instan.
Selain itu, polarisasi sosial yang dipicu oleh hitungan algoritma media sosial dapat menciptakan segmen-segmen audiens yang terfragmentasi, di mana komunitas yang terbentuk bukan lagi inklusif, tetapi menjadi lingkungan eksklusif tanpa adanya hal baru, yang memperkuat bias dan pemikiran sempit (Pariser, 2011).
Fenomena ini juga dapat mengubah etos penyiaran, dari upaya penyediaan informasi dan hiburan yang berkualitas, menjadi sekadar memancing reaksi dan keterlibatan singkat demi jumlah “likes” dan “shares.” Ini membawa risiko penyiaran kehilangan fungsinya sebagai alat pendidikan publik dan justru terjebak dalam budaya digital media yang kehilangan bobot.
Radio Komunitas: Solusi untuk Daerah dengan Koneksi Terbatas
Stasiun radio dengan coverage akses internet yang luas memiliki tantangannya sendiri. Namun bagaimana dengan radio yang beroperasi di daerah dengan akses internet terbatas? Pemikiran Adorno dan Horkheimer mungkin bisa mengingatkan, bahwa meskipun teknologi dianggap bisa menjadi pembebas, teknologi justru seringkali menjadi alat dominasi jika tidak dikendalikan dengan baik.
Oleh karena itu, radio di daerah harus mempertahankan kemandiriannya dari kepentingan agenda kapitalistik yang menyamar melalui konten yang hanya berorientasi komersial (Adorno & Horkheimer, 1944). Untuk itu radio komunitas yang non-profit bisa menjadi alat perlawanan budaya, memberi platform bagi suara-suara yang sering diabaikan oleh media arus utama, dan inilah yang membuatnya relevan di era digital, bahkan di saat tanpa adanya akses internet yang kencang.
Untuk daerah dengan koneksi internet terbatas, bentuk siaran radio yang ideal harus menggabungkan efisiensi teknologi analog dengan pendekatan interaktif sederhana, tanpa bergantung pada infrastruktur digital yang rumit.
Radio analog tradisional tetap menjadi pilihan terbaik karena keandalannya dalam menjangkau wilayah yang sulit diakses jaringan internet. Dalam konteks ini, radio berfungsi sebagai media yang convivial dalam pengertian Ivan Illich—media yang menjadi sarana kreatif antar manusia, namun tidak menciptakan ketergantungan teknologidan sosial yang berlebihan (Illich, 1973).
Meski demikian, siaran radio semacam ini tidak harus berhenti pada format tradisional. Ada potensi untuk mengintegrasikan teknologi sederhana, seperti penggunaan SMS atau panggilan telepon, untuk memungkinkan pendengar bisa berinteraksi dengan stasiun radio. Ini memberi kesempatan untuk menciptakan dialog dua arah, sesuatu yang sangat dihargai dalam era komunikasi modern, tanpa harus bergantung pada platform digital yang melulu membutuhkan jaringan internet.
Dalam hal ini, radio analog yang interaktif secara lokal, dengan pendekatan yang melibatkan teknologi rendah, tetap menjadi bentuk siaran yang paling ideal bagi daerah yang koneksi internetnya terbatas. Selamat Hari Radio Nasional, Selamat Ulang Tahun kepada Radio Republik Indonesia yang ke 79. Sekali di Udara, Tetap di Udara![T]