- Artikel ini adalah hasil dari seminar “Khazanah Rempah dalam Lontar”, program khusus Singaraja Literary Festival 2024, yang didukung Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, 23-25 Agustus 2024.
SEBAGAI seorang yang lahir di daerah pedalaman agraris-tegalan totok, laut bagi saya hanyalah sebuah bentang alam yang menyimpan kekayaan—dan belakangan saya berpikir—pula kemungkinan-kemungkinan. Nenek moyang saya barangkali memang bukan seorang pelaut. Untuk itu sepanjang hidup saya tak banyak bersinggungan dengan laut kecuali pada bulan tertentu saya ikut keluarga—kadang bapak, paman, atau pakde—mengambil barang seliter air asin di Gelondong, Tambakboyo, untuk jamu hewan ternak atau plesiran di Pantai Bom Tuban setiap kali ziarah ke makam Sunan Bonang, dulu.
Tetapi pandangan bahwa laut hanya sekadar bentang alam itu mulai bergeser setelah saya mengenal buku bacaan, sejarah khususnya. Di sekolah menengah, guru sejarah kami sering menyebut bahwa Tuban dulu merupakah wilayah Majapahit yang terkenal dengan pelabuhannya yang besar—pelabuhan internasional, kata guru kami. Beberapa sumber bahkan menyebut Pelabuhan Kambang Putih Tuban sudah ada sejak masa Raja Airlangga—pendiri Kerajaan Kahuripan—sekitar tahun 1019-1041 M.
Keterangan mengenai Kambang Putih sebagai pelabuhan tercatat dalam prasasti Kambang Putih yang dikeluarkan oleh Raja Garasakan, anak Airlangga yang memerintah Jenggala. Dan sumber China pada awal abad ke-15—yang termuat dalam kitab Ying Yai Shing-Lan—menyebut bahwa Tuban merupakan salah satu dari empat kota besar di Jawa (Majapahit) yang tidak memiliki tembok kota. Namun, berdasarkan keterangan Sejarah Melayu, kapal-kapal dari Malaka mengunjungi pelabuhan terbesar Jawa dan Sumatra, yaitu pelabuhan di Palembang, Calapa, Tuban, dan Majapahit.
Keterangan di atas sedikit menunjukkan bahwa pelabuhan Kambang Putih di Tuban menjadi pelabuhan tempat perdagangan yang ramai dikunjungi, seperti yang tercatat dalam sejarah bahwa Tuban merupakan salah satu dari empat kota penting pada era Majapahit. Oleh karena itu Tuban juga termasuk wilayah Jalur Rempah Nusantara yang tak boleh dilupakan.
Secara imajinatif, jalur perdagangan rempah adalah suatu lintasan peradaban dalam bermacam bentuk, berupa garis lurus, lingkaran, silang, bahkan berbentuk jejaring. Jalur perdagangan antarbenua itu dikenal dengan “jalur rempah”—merujuk kepada salah satu komoditas utama perdagangan pada zaman kejayaannya, yaitu rempah.
Jalur rempah berkelindan dengan terbentuknya jalur-jalur pelayaran, baik jalur di wilayah Nusantara maupun jalur pelayaran global. Jalur-jalur pelayaran tersebut menimbulkan konektivitas dalam berbagai dimensi yang kemudian membentuk ragam ekspresi kebudayaan di berbagai tempat.
Dan lautan telah menjadi bagian dari sejarah peradaban kita. Meski demikian, pengetahuan dan penguasaan terhadap laut yang merupakan dua pertiga dari luas wilayah Indonesia ini masih sangat terbatas. Sejak masih di sekolah dasar, kita telah belajar tentang negara kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau, dan lebih dari hafalan di sekolah, laut sebenarnya merupakan akar kebudayaan dan fondasi kehidupan manusia Indonesia.
Lantas, apa yang terjadi?
***
Terkait hilangnya (muspra) identitas kebudayaan—meminjam istilah Wicaksono Adi—“bahari” ini tentu berkaitan dengan kekalahan atau gagalnya kerajaan atau kesultanan di Nusantara, tidak hanya Jawa (Majapahit), terhadap ekspansi kekuasaan bangsa Barat Eropa.
Perjalanan sejarah yang mengubah pusat perdagangan dan pemerintahan menjadi “daerah tertinggal” ini, sebagaimana disampaikan Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya yang berjudul Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik, dimulai ketika kekuasaan atas laut berpindah secara bertahap dari tangan kerajaan maritim setempat ke tangan VOC. Banyak sejarawan yang merujuk pada kejatuhan Makassar (1669) dan Mataram setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 sebagai titik awal perubahan itu.
Bukan maksud saya mengulang pelajaran sejarah di sekolah, tapi ada baiknya kita menyimak kisah jatuh-bangunnya kerajaan-kerajaan maritim sebagai akar dari gerak memunggungi laut seperti yang terjadi sekarang ini.
Mengenai keruntuhan Pelabuhan Kambang Putih Tuban, misalnya, ada banyak teori dan versi mengenai sebab keruntuhannya, tapi narasi yang paling menarik tidak datang dari ahli arkeologi atau sejarah, melainkan seorang novelis: Pramoedya Ananta Toer. Dalam novelnya Arus Balik Pramoedya bercerita mengenai keruntuhan Tuban, kota pelabuhan terakhir di pantai utara Jawa yang masih setia kepada Majapahit.
Arus Balik menggambarkan degenerasi penguasa Tuban, seorang adipati yang berpikiran sempit, mau menang sendiri, berperilaku feodal, persis seperti yang digambarkan oleh budayawan Mochtar Lubis pada tahun 1977 dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban.
Di tangan sang adipati Tuban ketika itu, wilayah penting Majapahit itu seperti kehilangan orientasi—seperti kata Hilmar (2014), tidak ada lagi kehidupan ekonomi yang meriah, produksi berhenti, dan tidak ada lagi arus barang, tenaga, dan pengetahuan dari selatan ke utara. Alih-alih berdagang dengan negeri yang jauh, Tuban malah disibukkan oleh serangan para penguasa pantai utara Jawa yang lain.
Novel panjang dengan adegan perang yang rinci dan mengasyikkan itu, sebagaimana telah disampaikan Hilmar dalam pidatonya, punya misi lebih besar lagi: menjelaskan transformasi kultural yang terjadi di masa akhir kejayaan Majapahit. Galeng—salah satu tokoh dalam Arus Balik—yang ditempa oleh perang dan perebutan kekuasaan, di akhir novel bercerita setelah berhasil merebut kembali Tuban dari tangan Portugis, mengomentari perubahan besar yang melanda:
“Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”
Hingga hari ini, di saat umat seluruh dunia sedang dilanda keguncangan yang luar biasa akibat proses globalisasi yang diiringi kemajuan teknologi komunikasi yang nggegirisi, pengetahuan akan identitas kebudayaan sendiri seperti tak memiliki tempat sebab kita seolah dipaksa, mau tidak mau, menerima dan membuka diri bagi membanjirnya pengaruh kebudayaan negeri asing. Menutup diri dan menghindari pengaruh dominasi kebudayaan asing dianggap sebagai langkah bunuh diri sebab akan tertinggal dari arus kemajuan zaman modern.
Jadilah saya, misalnya, hanya sebagai generasi yang tak memiliki akar kebudayaan kuat; jadilah saya generasi bebek, generasi yang selalu didikte; jadilah saya sebagai generasi yang seolah lahir dari sekadar serpihan kebudayaan manusia, tidak utuh, tidak tahu dan tidak mampu menemukan identitas diri sendiri. Artinya, seperti kata Irfan Afifi, akhirnya kita tidak pernah tahu sebenarnya siapa bangsa ini, apa kelebihannya, apa kemampuannya, apa kekurangannya, dan arahnya mau ke mana? Jadilah kita bangsa pengikut, tidak berdaulat sebagai bangsa.
Dari sejak era Polemik Kebudayaan tahun 1930-an, Surat Kepercayaan Gelanggang 1950, ataupun geger Manifes Kebudayaan di tahun 1963, dan bahkan hingga era keterbukaan informasi hari ini, sebagaimana telah ditulis Irfan Afifi dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Kebudayaan: Visi Kemanusiaan dan Ketuhanan”, kita sebagai bangsa tak pernah kunjung menemukan rumusan dan tawaran final atas “keterbelahan” kebudayaan kita: maritim-agraris atau tradisional-modern.
Di satu sisi kita ingin terus terhubung atau setidaknya masih terus dihantui dan digelayuti denyut kearifan tradisi masa lalu dan struktur pandangan dunia lama yang hingga hari ini masih terus-menerus bertahan maupun di sisi yang lainnya—sebuah dorongan untuk menatap dan menyongsong dan menjemput ketertinggalan menuju masa depan yang telah digariskan “pusat” tata modernitas global yang imperatif nilai-nilainya bahkan telah menjadi matra dan seruan yang beredar dalam bahasa formal tata kelembagaan modern kita maupun telah menjadi cakapan informal dalam keseharian biasa hidup kita.
***
Kembali membaca dan mempelajari jalur rempah—atau katakanlah kebudayaan bahari secara umum—tentu saja bukan hanya sekadar merayakan atau hendak meromantisasi kejayaan masa lalu (post power syndrome), lebih daripada itu, adalah sebuah usaha atau ikhtiar untuk menemukan kembali spirit, ruh, identitas kebudayaan yang selama ini telah kita punggungi dan merumuskan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikerjakan di masa depan.
Bahkan, dalam konteks sastra, kritikus Arif Bagus Prasetyo (2021) berargumen bahwa motif “menuju ke laut” dalam kesusastraan modern Indonesia menjadi bagian dari pembentukan keindonesiaan, mengindikasikan pencarian kebudayaan baru, yakni “…kebudayaan persatuan Indonesia yang didefinisikan oleh “kemajuan” di bawah debur-gelora proyek modernitas…”
Laut adalah tujuan biru, kata Chairil Anwar. Biru adalah warna yang menggambarkan sesuatu yang jauh. Seperti gunung tinggi dan langit luas, maka lautan biru adalah ruang yang tak terjangkau. Sajak “Menuju ke Laut” Sutan Takdir Alisjahbana juga dimulai dengan gambaran sebuah perjalanan meninggalkan sesuatu. Puisi yang dimulai dengan frasa “kami telah meninggalkan engkau” itu memperlihatkan bahwa laut, sebut saja begitu, adalah tujuan “baru” di masa depan yang harus ditempuh dengan meninggalkan hidup di “tenang tasik yang tiada beriak”.
Saya membayangkan melalui sajak tersebut STA hendak mengajak kita meninggalkan segala yang berada dan berbau masa lalu dan mulai bergerak menyongsong masa depan—walaupun tampaknya masa depan juga tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan masa lalu. Saya juga membayangkan bahwa laut menjelma masa depan dan kita diajak untuk meninggalkan daratan dan teluk tenang jauh di belakang.
Salah satu amsal Friedrich Nietzche berjudul Dalam Horison Ketidakterbatasan menggambarkan lautan sebagai masa depan yang penuh kemungkinan meski tak selalu menjanjikan ketenangan. Laut adalah dunia baru kita, katanya—“Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita, dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu.”
Sampai di sini, nyatalah bahwa laut bisa jadi adalah masa depan, cakrawala harapan dan kebebasan tanpa batas—seperti ucapan para bajak laut dalam dunia One Piece. Laut adalah keluasan tanpa akhir, kedalaman yang tak terjelajahi. Dan jika benar demikian, maka laut adalah sebuah antitesa dari daratan dan teluk yang digambarkan sebagai ketenteraman purba yang kedaluwarsa—yang menjerat kaki kita hingga enggan beranjak menuju dunia baru yang lebih dinamis dan menjanjikan—dan menjadikan kita selama berabad-abad sebagai bangsa yang telah memunggungi lautan.
Gerak memunggungi laut ini telah menjadikan lautan sebagai sebuah kelangenan dari hidup modern kita. Bayangan kita tentang laut hanya dipenuhi dengan potret eksotisme, kejayaan masa lalu, dan hari ini kemiskinan para nelayan. Tak jarang pula kita terjangkit virus orientalisme kolonial saat memandang kearifan hidup masyarakat Mandar atau suku Bajo sebagai bentuk kehidupan primitif. Mereka ditulis dan dibanggakan karena terlihat eksotik, beda dari kebanyakan, dijual, dijadikan tontonan dan atraksi pariwisata, dan kemudian tinggal sebagai obyek belas kasihan.
Kini, manusia modern telah menetapkan laut sebagai sesuatu yang harus dilindungi dan dijaga. Ia dikunjungi, dipuja, untuk tidak mengatakan disembah, dimanfaatkan. Tetapi, dalam sejarah peradaban manusia, tak terhitung pula jumlah manusia yang telah menjadi tumbalnya. Dan pada akhirnya, lautan (jalur rempah) hanya akan terus jadi sejarah—kenangan yang tidak menyejahterahkan, kebanggaan yang tidak mengenyangkan perut—kalau kita masih saja memandang bahwa sejarahnya lebih penting ketimbang manfaat ruang geografisnya.[T]
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024