BATU-BATU di antara Pura Geger dan Pura Uluwatu di Gumi Delod Ceking adalah tebing yang dalam bahasa setempat disebut ngampan. Ada perbedaan status kawasan ngampan yang menjadi wewidangan ‘wilayah’ Desa Adat di Gumi Delod Ceking. Di Desa Adat Peminge, misalnya di ngampan sudah berdiri sejumlah vila dan hotel milik investor. Di Desa Adat Kutuh, ngampan adalah karang pemupon Desa Adat yang tereksplisit dalam Awig-Awig. Status hukumnya cukup kuat karena Awig-Awig diakui sebagai dasar hukum yang mengatur kesejahteraan : Sukerta Tata Parhyangan (kawasan suci), Sukerta Tata Pawongan (manusia), dan Sukerta Tata Palemahan (lingkungan).
Di Desa Adat Ungasan, menurut I Ketut Marcin, mantan Bandesa Ungasan, ngampan di bawah pengelolaan Desa Adat. Di Desa Adat Pecatu, kata Wetra Adnyana dan I Nyoman Sudama, kawasan ngampan sebagian menjadi Pelaba Pura dan sebagian telah beralih status ke investor.
Walaupun Kawasan ngampan sepanjang Pura Geger sampai Pura Uluwatu bertebing yang makin ke Barat makin tinggi dengan puncak ketinggian di Pura Ulawatu, keberadaan ngampan itu tidak semua tebing berbatu. Ada juga tanah di antara garis pantai sampai puncak tebing. Tanah-tanah ngampan itu sangat subur, mirip dengan di Batur. Di antara bebatuan, tomat tumbuh subur. Buktinya dulu sebelum 1990-an tanah ngampan itu tempat petani menanam jagung. Jagungnya tumbuh subur dan buahnya besar-besar. Petani itu juga mendirikan pondok beratap daun jati kering atau alang-alang yang dianyam diperoleh dari ngampan pula. Pondok-pondok di ngampan itu sebagai tempat berteduh para petani sembari menjaga kebun dari gangguan binatang (landak dan kera).
Saya meyakini para petani itu tidak tahu bila Perjalanan Sang Maha Kawi Wiku, Dang Hyang Nirartha tempo doeloe telah membuat pondok sastra di sekitar Kawasan itu. Pondok Sastra adalah tempat berteduh untuk menyiapkan sarapan batin dalam meningkatkan jnana (spiritualitas), sedang pondok petani adalah tempat berteduh untuk memenuhi kebutuhan pangan secara jasmani. Kini, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan makan siang gratis, kebijakan itu telah dilaksanakan para petani secara mandiri tanpa menunggu bantuan sosial dari pemerintah. Kearifan petani yang berkecerdasan memproduksi makanan dengan nandur aneka tanaman pangan cepat panen dan belakangan ini juga menjadi program pemeritah. Kecerdasan petani menyiapkan pangan untuk memenuhi kebutuhannnya perlu terus didorong oleh pemerintah bila perlu didampingi dengan tenaga ahli. Mengedukasi petani dengan baik dan benar, tidak memanjakan dengan harap-harap cemas menunggu bansos pangan.
Kembali ke batu-batu di antara Pura Geger dan Pura Uluwatu. Ada batu kembar, batu mejan, batu makeprus, batu gong, batu buyar, batu cupit, batu madinding, batu pageh, batu matandal. Menyebut batu-batu itu tiba-tiba saya teringat puisi Sutardji Chalzoum Bachri berjudul, “Batu”.
Dalam bait puisinya, Sutardji menyebut aneka batu : batu mawar/batu langit/batu duka/batu rindu/batu janun/batu bisu/ kaukah itu/teka/teki/yang/tak menepati janji ?… Pada bait lain, batu juga digunakan sebagai metafora pemujaan, “… Kau tahu/batu risau/batu pukau/batu Kau-ku/batu sepi/batu ngilu/batu bisu/kaukah itu/teka/teki/yang/tak menepati janji ? …
Jika melihat latar belakang Sutardji, tampaknya budaya Melayu juga memuliakan batu. Ketika demam batu akik beberapa tahun lalu, banyak pemburu yang ingin mengoleksi aneka batu entah hanya sekadar untuk hobi atau dibawa ke aras yang lebih tinggi secara spirit karena batu konon ada jodohnya pula. Batu di tangan orang tepat bisa bertuah, batu tangan orang tak tepat bisa bernilai rongsokan. Memuliakan batu untuk keseimbangan artistik sangat perlu agar tidak ada batu salah genah. Apalagi ada yang lempar batu sembunyi tangan. Hal yang tidak diharapkan.
Jika Sutardji mengeja batu dalam puisi-puisinya, Pemangku Sonteng di Delod Ceking tempo doeloe juga mengeja batu dalam puja saa-nya. Pemangku berpuisi menyebut Bhatara-Bhatari yang berstana di batu-batu itu. Dari situlah muncul istilah bebaturan sebagai tempat yang disucikan. Penyebutan berulang nama-nama tempat dengan aneka nama batu oleh Pemangku Sonteng, dapat dianalogikan dengan mantra Sulinggih yang memuja keagungan Sungai-Sungai di India, Gangga, Saraswati, dan Yamuna, misalnya. Begitu sederhana Pemangku Sonteng melakukan pemujaan dengan olah vokal tanpa suara genta. Orang Bali menyebutnya mantra papojolan ’mantra lugas’ membumi. Kini, seiring dengan pembinaan dan pelatihan kepemangkuan, puja mantra Pemangku Sonteng di Gumi Delod Ceking relatif sama dan standar dengan genta.
Kembali ke batu-batu bertuah di antara Pura Geger dan Pura Ulawatu. Oleh karena bertuah, krama setempat menyucikan batu-batu itu dengan menghaturkan canang saat hari-hari tertentu (Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, dan hari Puja Wali di Pura yang dekat dengan Batu itu). Seperti di Batu Kembar, umat memohon tirta segara untuk Puja Wali di Pura Gunung Payung pada Purnama Sasih Kaulu.
Di Batu Makeprus, nelayan memancing ikan dengan waspada dan eling sambil menyepi kalau-kalau kail bertemu ikan. Swadharma sebagai bandega ‘nelayan’ adalah dharma pemujaan dengan kail dan umpan sebagai mantra untuk merayu ikan-ikan yang berkelana ke sana-ke mari di lubuk. Kearifan ini telah melahirkan peribahasa, lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang, sebagai bentuk pemuliaan kepada nelayan dan petani. Betapa indahnya.
Di Batu Mejan, orang-orang Desa Adat Kutuh tempo doeloe sebelum 1990-an menumpahkan harapan untuk bisa sekadar bertahan hidup mencari pakan ternak untuk sapi-sapinya sambil melaut. Melakukan dua pekerjaan sekaligus, bendega dan pengangon. Sambil menyelam minum air, sebuah kearifan Melayu berbasis agraris. Oleh karena di Batu Mejan, medannya terjal dan mesti menggunakan tangga, kehati-hatian menjadi keniscayaan. Keseimbangan dijaga sehingga bisa selamat dan tercapai tujuan.
Batu-batu bertuah di pesisir Desa Adat Kutuh adalah batu spirit yang pada awalnya tanpa pelinggih, belakangan dibuatkan Pelinggih seperti di Batu Cupit, Batu Medinding, dan Batu Pageh seiring dengan perubahan bentang ngampan karena dikelola dan dikomersialkan untuk kawasan pariwisata. Pelinggih-pelinggih itu menyimpan jejak historis yang perlu dimuliakan oleh generasi yang akan datang berdasarkan semangat trisemaya : Atita, wartamana, nagata. Oleh karena berbentuk pelinggih, maka pujawali pun digelar. Dari tiada menjadi ada. Sebelumnya disebut Pura Tankaton (Pura tak tampak) menjadi Pura Katon (Pura yang tampak maujud).
Begitulah batu-batu bertuah di Gumi Delod Ceking terutama yang berada di sepanjang pesisir dan tebing menyimpan pesan sebagai bentang alam yang menjadi benteng pertahanan moral spiritual sekaligus benteng pertahanan pangan berbasis maritim dan kini intens merayu turis berdatangan membawa dolar. Daya eksotis tebing-tebing itu perlu dijaga dan dirawat agar makin memikat, bukan ditebang sembarangan. Saatnya, berguru ke Ngampan Delod Ceking tentang ketangguhan dan kesungguhan mengolah manik astagina dalam diri. Karang awake tandurin. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT