SESAAT setelah anak-anak dari Sanggar Seni Santhi Budaya menampilkan Tari Padi, tribune Sasana Budaya, Singaraja, Bali, tampak penuh sesak. Ada yang duduk di kursi berselimut, ada pula yang cukup menaruh badan tanpa alas di ambal beton yang kasar. Sebelumnya, mata mereka terpaku oleh tarian teatrikal—yang cukup dramatik—dan suara gamelan Bali dari para seniman muda asuhan I Gusti Ngurah Eka Prasetya itu. Anak-anak Santhi Budaya memanen apresiasi.
Di panggung, lampu sorot meredup perlahan. Menyisakan bulatan kecil putih beras. Diiringi gemuruh sorakan dan tepuk tangan, seorang perempuan berkebaya, yang berkilau, berjalan menuju panggung. Di atas panggung ia sempat membenahi pakaiannya sebelum kata-kata sambutan tumpah dari lisannya. Ialah Kadek Sonia Piscayanti, pemrakarsa sekaligus direktur Singaraja Literary Festival (SLF), di panggung pembukaan SLF 2024, Jumat (23/8/2024) malam.
Dalam sambutannya, Sonia, dengan menggebu-gebu, mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Dan di tengah silang-sengkarut problematika yang sedang mendera bangsa ini, menurut Sonia, sastra harus hadir dan mampu, setidaknya, menjadi penenang—kalau bukan jalan keluar.
Suasana pembukaan SLF 2024 di tribune Sasana Budaya | Foto: SLF/Amri
“Sastra harus bicara. Sastra harus dimaknai dan sastra harus memberi dampak. Tadi [pagi] ada sesi lomba dan workshop puisi. Di situ saya meyakini, bahwa sastra atau puisi tetap menjadi salah satu penyembuh bangsa di saat kondisi kita yang tidak baik-baik saja ini,” ujar Sonia yang disambut dengan riuh tepuk tangan. Sesaat setelah Sonia mengatakan hal tersebut, angin tiba-tiba berembus dan memberi sedikit kesejukan di tengah udara malam yang gerah.
Hal tersebut pula mengingatkan kita pada kredo Seno Gumira Ajidarma, “Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara”. Atau kata-kata terkenal John F. Kennedy, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.”
Tahun ini, lanjut Sonia, SLF memacak tema “Dharma Pemaculan: Energi Ibu Bumi”. Dharma Pemaculan merupakan salah satu lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya—perpustakaan yang memiliki ribuan koleksi manuskrip daun lontar, prasasti, manuskrip kertas dalam aksara Bali dan Latin, termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial (1901-1953) yang tersimpan rapi dan terawat dengan baik.
Lontar Dharma Pemaculan secara keseluruhan berbicara tentang seluk-beluk pertanian. Namun, sejatinya, lontar berbicara tentang relasi antara manusia dengan semesta, alam, dan sesama manusia. Dalam lontar tersebut, tanah diibaratkan seorang ibu yang memiliki rahim, mengandung benih, melahirkan, lalu merawatnya. Sedangkan padi menjadikan tanah selayaknya manusia—mengalami dan merasakan sebuah proses.
Kadek Sonia Piscayanti saat memberi sambutan dalam pembukaan SLF 2024 | Foto: SLF/Amri
“Dengan mengambil tema Dharma Pemaculan, inisiasi ini berupaya menelusuri kembali ragam pertanian yang tertuang dalam lontar dan menghadirkan kembali dalam bentuk ragam kebudayaan, pameran, lokakarya, pertunjukan alih wahana sastra ke teater, musikalisasi puisi, dan film,” beber akademisi pendiri Komunitas Mahima itu.
Singaraja Literary Festival baru menginjak tahun kedua. Dan tahun ini didukung oleh LPDP melalui Dana Indonesiana Kategori Pendanaan Ruang Publik Direktorat Kebudayaan Kemendikbudristek RI. Benar. Belakangan memang banyak orang meyakini bahwa kebudayaan adalah “detak jantung” masyarakat. Karena itulah, keseriusan dalam pembiayaan untuk sektor kebudayaan mesti dianggap sebagai investasi, bukan sekadar biaya pengeluaran.
Untuk itulah, meski belum terlalu lama seperti Amerika Serikat atau negara-negara di Eropa, Pemerintah Indonesia juga mulai mengalokasikan dana kebudayaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan kebudayaan seturut amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Oleh sebab itu banyak kegiatan kebudayaan di hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk Singaraja Literary Festival di Kota Singaraja, yang bergeliat dengan sokongan Dana Perwakilan Kebudayaan yang diwujudkan lewat dana abadi kebudayaan dan kemudian disebut Dana Indonesiana itu.
Merayakan Lontar, Sastra, dan Kebudayaan
SLF 2024 dibuka dengan tiga seni pertunjukan yang digali dari lontar Dharma Pemaculan. Ini seolah menandai bahwa festival ini bukan sekadar perayaan atau atraksi kebudayaan. Lebih dari itu, SLF merupakan katalisator penyampaian identitas kebudayaan, tempat perayaan memori kolektif, tempat pengembangan talenta dan ekspresi kreatif, tempat lahirnya pegiat budaya, dan tempat berkolaborasi serta berinovasi.
Festival ini juga menjadi jembatan penghubung antara pengetahuan masa lalu dan masa kini. Pula wadah yang mempertemukan sastrawan, penulis, akademisi, seniman, budayawan, peneliti, pelajar, dan masyarakat pada umumnya. Lihatlah, pada malam pembukaan, mereka semua duduk bersama tanpa ada jurang pemisah. Mereka semua ikut merayakan lontar, sastra, dan kebudayaan pada umumnya.
Sanggar Seni Santhi Budaya Singaraja mempersembahkan Tari Padi saat pembukaan SLF 2024 | Foto: SLF/Amri
Di sinilah, SLF menjadi sarana perekatan kohesi sosial, penggalian potensi-potensi budaya, sekaligus aktualisasi pengetahuan-pengetahuan dalam manuskrip-manuskrip (lontar) di Gedong Kirtya. Lontar mengajak manusia melihat masa kini dan masa yang akan datang dari perspektif masa lalu. Jiwa zaman yang ada dalam daun lontar menitikberatkan manusia kini untuk melihat, mendengar, dan merasakan lebih dalam—bahwasanya pengetahuan seperti air, mengalir dan menyejukkan.
SLF mengingatkan kita pada buku Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (2003). Buku ini merupakan hasil penelitian bertahun-tahun Nancy di kraton Surakarta atas naskah-naskah kuno, terutama Babad Jaka Tingkir. Ia berhasil mentransformasikan penelitiannya dalam melihat sejarah sebagai nubuat di Jawa masa kolonial.
Namun, jika pengajar Universitas Michigan itu melihat masa kini dan masa depan dengan menyusuri akar masa silam, maka inisiator dan konseptor SLF—dalam hal ini Kadek Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Ole—boleh dikata sedang memindai cabang-cabang budaya masa depan dengan memaknai dan mengeksplorasi pertumbuhan pohon hayat kebudayaan masa lalu dan era sekarang.
Teater STAHN Mpu Kuturan di panggung pembukaan SLF 2024 | Foto: SLF/Amri
Masa sekarang bukan ruang kosong, kata Raudal Tanjung Banua. Ia terhubung dengan masa silam, sebagaimana dapat dilacak dalam karya mutakhir sastrawan/seniman Bali. Dalam Singaraja Literary Festival kearifan masa lalu dan praktik kebudayaan masa kini tampil dan dirayakan bersama-sama. Selain menyelam ke dalam memaknai kearifan lokal, SLF juga membuka diri ke luar, sebagaimana sifat budaya modern yang mengglobal.
Untuk itulah, pada saat pembukaan, selain Tarian Padi dari Sanggar Santhi Budaya, teater STAHN Mpu Kuturan Singaraja dan kelompok musikalisasi puisi Komunitas Mahima, juga mempersembahkan pertunjukan yang menarik. Mahasiswa STAHN Mpu Kuturan mementaskan naskah Prakretaning Dharma Pemaculan karya I Putu Ardiyasa, seniman cum akademisi sekolah tinggi tersebut.
Sedangkan Komunitas Mahima membawakan tiga musikalisasi puisi dari puisi karya Ari Dwijayanthi, penyair sekaligus akademisi. Acara pembukaan SLF ditutup dengan pemutaran film “SWI” karya Made Adnyana Ole yang produksi oleh Komunitas Mahima. Dan dari keempat karya seni tersebut, semuanya, sekali lagi, terinspirasi dari lontar Dharma Pemaculan.
Dalam konteks kesenian, SLF memilih kesenian sezaman (kontemporer) maupun avant-garde. Artinya, SLF tidak punya persoalan teknis dengan tradisi-modern yang dalam sejumlah kasus bisa jadi perdebatan melingkar yang banyak menghabiskan putung dan bubuk kopi. Singaraja Literary Festival sudah dimulai, karena basis berpijaknya sudah jelas, sembari kedepan berbagi peran dengan festival kebudayaan yang lain.
Komunitas Mahima mementaskan musikalisasi puisi di panggung pembukaan SLF 2024 | Foto: SLF/Amri
Sementara itu, pagi sampai sore sebelum pembukaan, di Sasana Budaya, Gedong Kirtya, Museum Buleleng, Wantilan Desa Adat Buleleng, dan di Bale Agung Puri Buleleng, telah berlangsung lomba baca puisi SD se-Buleleng, workshop menulis prosa dan puisi, book launch, public lecture, seminar jalur rempah, dan panel diskusi yang berkaitan dengan tema SLF tahun ini.
SLF tahun kedua ini dilaksanakan dari tanggal 23 sampai 25 Agustus 2024 di kawasan Gedong Kirtya Singaraja. Tahun ini, SLF mendatangkan penulis dan sastrawan ternama di Indonesia, seperti Dewi (Dee) Lestari, Aan Mansyur, Willy Fahmy Agiska, dan Henry Manampiring. Juga para akademisi, filolog, sastrawan, seniman, sutradara film, budayawan Bali yang tak lagi dipertanyakan kredibilitasnya.
Di antaranya, Sugi Lanus, Ayu Laksmi, I Ketut Eriadi Ariana, Marlowe Bandem, Andre Syahreza, Made Sujaya, Mas Rucitadewi, I Wayan Juniarta, Oka Rusmini, Saras Dewi, Eka Guna Yasa, Putu Kusuma Wijaya, Made Suarbawa, Olin Monteira, Putu Satria Kusum, Darma Putra, dan masih banyak lagi.
Tak hanya itu, SLF 2024 juga berkolaborasi dan kerja sama dengan APWT (Asia Pasific Writers and Translators), Inclusive Journalism, Modern Women Magazine, dan komunitas-komunitas penggiat seni lainnya di Indonesia. Sungguh sebuah perayaan lontar, sastra, dan kebudayaan yang tak biasa.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024