- Artikel ini adalah materi dalam panel diskusi “Berguru pada Kekuatan Perempuan Marginal dalam Teks Lama dan Baru”, serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Sabtu, 24 Agustus 2024, di Sasana Budaya, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
WIKU Tapini adalah seorang pendeta perempuan yang bertanggungjawab atas penyediaan wewantenan (sesajian) untuk banyak upacara besar di Bali. Telah banyak diketahui bahwa di Bali terdapat banyak ragam upacara keagamaan.
Orang Bali memercayai upacara-upacara itu sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan manusia sendiri, dan dengan alam.
Selain upacara yang dilakukan setiap hari, ada upacara yang diselenggarakan secara berkala setiap 15 hari, satu bulan, enam bulan, satu tahun (Ngusaba), sepuluh tahun (Panca Bali Krama), dan 100 tahun (Eka Dasa Rudra). Dalam setiap upacara itu selalu ada persembahan yang dinamakan wewantenan.
Wewantenan untuk upacara sehari-hari sangat sederhana sehingga masyarakat—umumnya kaum perempuan—dapat menyiapkannya sendiri. Wewantentan untuk upacara menengah lebih rumit, namun banyak masyarakat pandai membuatnya.
Sedangkan wewantenan untuk upacara besar macam Panca Bali Krama dan Eka Dasa Rudra hanya sedikit saja orang Bali yang menguasainya. Jumlahnya mungkin kurang dari jumlah jari sebelah telapak tangan.
Maklum, wewantenan tersebut memang banyak dan rumit. Dan, orang Bali sangat memercayai kesalahan dalam membuat wewantenan akan berakibat buruk pada masyarakat yang turut dalam upacara itu.
Karena upacara besar sepuluh atau 100 tahun sekali dilakukan oleh seluruh warga Bali, maka kesalahan wewantenan dalam upacara itu pun akan berdampak buruk bagi Bali. Dampak buruknya antara lain banyak bencana, situasi menjadi tidak nyaman, sering terjadi wabah atau kecelakaan, dan sebagainya.
Maka hanya mereka yang tekun dan tulus mengabdikan dirinya untuk itulah yang dapat menguasai dengan baik soal wewantenan berskala besar. Mereka itu dinamakan Wiku Tapini.
Tekun dan tulus? Ya, karena untuk pekerjaan besar dengan tanggungjawab yang berat itu mereka tidak mendapat bayaran professional, dan jauh dari publikasi.
Dalam menjalankan tugasnya, Wiku Tapini, tidak saja harus menguasai bentuk, jenis, dan jumlah komponen sesajian, tetapi juga harus dapat membaca mantera-mantera pemujaan saat mempersiapkan setiap detil sesajian.[T]
- BACA artikel lain terkaitSINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024