- Artikel ini adalah materi dalam program khusus “Khazanah Rempah sebagai Boga”, serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Sabtu, 24 Agustus 2024, di Wantilan Desa Adat Buleleng, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
SALAKSA manfaat rempah dalam dunia kuliner dan kesehatan tak perlu diragukan lagi. Para leluhur Nusantara memang katam soal sifat dan manfaat aneka tumbuhan, khususnya rempah untuk menyangga kehidupan. Ini tentu karena mereka dekat dengan alam. Berbeda dengan kita saat ini yang memenuhi kebutuhan hidup serba jadi sehingga alam tak lagi menjadi mandala ajar, tetapi identik dengan kemaruk eksploitasi.
Hasil belajar dengan alam mengenai berbagai potensi rempah itu tercermin dalam karya sastra yang ditinggalkannya. Satu karya sastra berjudul Geguritan Megantaka bahkan menyebutkan pengetahuan tentang manfaat rempah yang tidak biasa, yaitu sebagai pengharum atau sejajar dengan parfum saat ini.
Karya sastra bermotif panji ini menarik karena ditulis oleh pengarangnya dari cerita lisan orang Bugis di Ampenan Lombok menggunakan bahasa Bali. Ia juga menjelaskan bahwa cerita ini berasal dari zaman Majapahit.
Berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang banyak dipengaruhi oleh kejayaan Ramayana dan Mahabrata India, karya sastra bermotif panji merupakan salah satu produk pemikiran original Nusantara yang tidak hanya sempat populer di tanah kelahirannya. Akan tetapi juga meluas hingga berbagai daerah lainnya di Kawasan Asian Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Kamboja.
Seperti karya sastra bertema panji yang lain, Geguritan Megantaka mengisahkan petualangan cinta antara Raden Ambaramadia dengan putri Ambarasari. Salah satu godaan yang menguji kekuatan cinta mereka datang dari Ni Limbur. Ia adalah seorang perempuan biasa yang menggunakan guna-guna untuk mendapatkan cinta dari Raden Mantri Ambaramadia. Saban bertemu dengan Raden Mantri, Ni Limbur selalu mempersiapkan diri agar bisa tampil secantik mungkin di hadapan sang putra mahkota.
Dalam konteks persiapan bertemu dengan sang raja itulah kita menemukan pemanfaatan rempah sebagai wangi-wangian atau parfum. Pengarang Geguritan Megantaka menyatakan ramuan parfum yang berasal dari rempah-rempah tersebut dengan deskripsi berikut ini.
Gagandane racik sia, isen jae lawan kunyit, gamongan umbin paspasan, umbin gadung umbin tĕki, kalawan umbin kaladi, biluluk anggon mangratus, sampun ngrangsuk busana, mapasang guna di alis, majujuluk, kĕtog titih jaring bukal (Geguritan Megantaka, Pupuh Sinom, bait 31).
Terjemahan.
Wangi-wangian (parfumnya) menggunakan sembilan campuran, lengkuas jahe kunir, lempuyang umbi paspasan, umbi gadung umbi teki, dan umbi keladi, disampur dengan buah enau, setelah selesai berhias, memakai guna-guna di alisnya, yang bernama ketog titih jaring bukal.
Berdasarkan petikan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ramuan parfum yang digunakan oleh Ni Limbur terdiri atas sembilan campuran. Campuran tersebut terdiri atas dua komponen bahan yang utama yaitu rempah-rempah dan umbi-umbian.
Rempah-rempah yang digunakan adalah lengkuas, jahe, kunir, dan lempuyang. Sedangkan umbi-umbian yang digunakan adalah umbi paspasan, umbi gadung, umbi rumput teki, dan umbi keladi. Kedua komponen bahan tersebut dicampur dengan buah enau.
Pengarang memang tidak dengan spesifik menjelaskan mengenai takaran dari masing-masing komponen rempah, umbi-umbian, dan buah dalam petikan tersebut. Barangkali ketika karya sastra tersebut ditulis, pengetahuan umum tentang parfum yang dibuat menggunakan sarana-sarana itu masih terekam kuat dalam endapan pemikiran masyarakat. Terlebih bagi mereka yang pada zaman kerajaan menjadi petugas di karang kaputren.
Karang kaputren merupakan tempat para putri raja, selir, dan dayang untuk merawat kecantikan diri mereka. Tentu sistem pengetahuan tentang parfum seperti yang termuat dalam Geguritan Megantaka dijadikan sebagai pengetahuan umum, di samping sejumlah lontar pegangan lainnya seperti Indrani Sastra, Rukmini Tattwa, Pameda Smara, Resi Sambina, dan yang lainnya. Indrani Sastra memuat sistem pengetahuan tentang tata cara merawat kecantikan perempuan.
Dalam Kakawin Ramayana disebutkan bahwa Sita sebagai figur wanita terpelajar tuntas menguasai ajaran ini. Di samping itu, dalam Kakawin Smaradahana juga disebutkan bahwa ketika Dewa Uma bersatu dengan Siwa, beliau mempraktikkan Indrani Sastra.
Di samping karya-karya sastra itu, naskah lain juga mewacanakan hal yang sama. Rukmini Tattwa memuat sistem informasi tentang kecantikan seksualitas. Pameda Smara memuat berbagai hari baik dan buruk ketika melakukan hubungan seksual. Demikian pula, Resi Sambina memuat strategi melakukan hubungan seksual secara berkualitas.
Korpus naskah di atas menunjukkan bahwa perawatan diri, kecantikan, dan seksualitas bukanlah hal yang tabu dalam cakrawala pikir masyarakat nusantara. Dalam konteks itulah pemanfaatan rempah-rempah sebagai bahan parfum termuat.
Tentu penggunaan parfum dari rempah tak hanya diketahui para leluhur Bali, parfum Versace yang mendunia itu juga menggunakan perpaduan rempah seperti kapulaga, kelapa, lada, dan jahe. Dengan kemasan dan branding yang professional, parfum tersebut menjadi kebutuhan untuk melengkapi penampilan dan kepercayaan diri penggunanya.
Sementara di sisi lain, pengetahuan tentang manfaat rempah sebagi parfum dalam Geguritan Megantaka sama sekali belum pernah kita baca, teliti, dan tindaklanjuti untuk memenuhi kehidupan saat ini.[T]
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024