- Artikel ini adalah materi sebagai pengantar “Workshop Menulis Puisi” Singaraja Literary Festival 2024, Jumat, 23 Agustus 2024, di Museum Buleleng
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
Poetry is the spontaneous overflow of powerful meanings. —(Wordsworth)
SEBATANG bambu tumbuh melengkung ke arah sungai. Jika angin mati, ia diam dan tampak seperti sedang menjenguk ke dalam air yang tak putus-putus mengalir—posenya mirip benar dengan patung Rodin yang abadi merenungi Ada.
Suatu hari kautebang filsuf yang berjaga di kali itu. Ia tak mengeluh, mengerang, atau menolak – ia pasrah dengan kepasrahan total seorang hamba kepada sang khalik. Lalu kaubikin suling dari sebuah ruas dekat pangkalnya yang lurus dan rapi.
Pernahkah kau membayangkan bambu itu menangis dan mengerang kesakitan saat kau memotongnya? Konon, bunyi sayu suling bambu itu, yang membikin pendengarnya melayang-layang saat ditiup waranggana atau bocah gembala, sesungguhnya adalah erang kesakitan sang bambu yang tertahan saat dipotong dulu.
***
Mungkin seperti itulah penyair dan puisi ada: Ia menjadi saksi apa yang membentang di matanya, dan menuliskannya menjadi puisi. Seorang penyair, bisa menjadi saksi di pinggir, atau justru intuisi menggiringnya menjadi subjek yang ingin dituliskannya dalam puisi, untuk menyatakan keberadaannya.
Ia terus menggali apa saja yang di depannya, ketika moment puitik itu muncul, ia bisa juga repot-repot mengingat-ngingat res historia – semua yang telah lalu, dan merasa bahwa ia berada di sini dan saat ini ditentukan oleh sesuatu dari masa lalu.
Tetapi ia terkadang bisa cukup frustasi ketika mendapati banyak ingatan terkunci ke dalam gudang sejarah dan ia mungkin sering memilih “melarikan diri” dengan selalu memandang ke depan. Demikian kemudian si penyair mencoba menuliskannya ke dalam puisi.
***
Penyair mengetahui keinginannya untuk menulis puisi. Ia menemukan “bahan” yang ingin dituliskannya. Dari bahan itu, semua pengalaman yang ia hayati di waktu lampau, kini dan nanti, akan menjadi baris-baris di dalam puisinya. Pertanyaannya kemudian bagaimana si penyair dapat menuliskan kalimat-kalimat tersebut?
Tentu ia harus belajar membuat kalimat dan mempelajari struktur tata bahasa, bahkan yang paling dasar sekalipun, untuk menyusun baris-baris kalimatnya menjadi lapis-lapis puisi — ingat, intuisi dan imajinasi yang dimiliki si penyair, akan menjadi pincang ketika tidak dipijak oleh kemampuan dan teknik dalam menuliskannya. Bahkan bakat sekalipun, tidak akan terasa cukup.
Seni menulis puisi adalah melukiskan atau menarasikan suatu gagasan dan perasaan; bukan menyatakan atau menjelaskan. Kita bisa dengan gampang menjelaskan bahwa kita sedang jatuh cinta dengan seseorang karena begini dan begitu.
Namun, coba lukiskan bahwa kita sedang jatuh cinta. Melukis dengan kata-kata itulah tugas seorang penyair. Ia tidak menyatakan, “Saya sedang jatuh cinta,” tetapi ia melukiskan “saya yang sedang jatuh cinta itu” dengan kata-kata.
Sampai di sini, puisi bisa menjadi seni berkata-kata. Di dalam seni menulis puisi, saya percaya, tidak bisa membuat kerangka karangan untuk puisi. Penyair Inggris, William Wordsworth pernah menyatakan bahwa Poetry is the spontaneous overflow of powerful meanings: Puisi adalah ungkapan spontan perasaan yang kuat kemudian dipahami bukan sebagai pelepas emosi (perasaan) tak terkendali, tetapi mengungkapkan “kedalaman”, bukan “kegundahan jiwa” (in the depth, and not the tumult of the soul).
Menulis puisi adalah spontan: kita harus dicekam dan diliputi oleh suatu momen puitik tertentu. Momen ini bisa meliputi suasana atau gagasan atau suatu pengalaman berbahasa, lalu secara spontan kita menuliskan momen puitik itu menjadi puisi. Mungkin terkadang justru tak sekali jadi, atau butuh waktu yang lebih lama untuk menjadikannya utuh disebut puisi.
Di dalam menulis puisi, saya begitu percaya bahwa si penyair harus mempunyai kemampuan dasar yang mesti dimiliki olehnya yaitu menguasai tata bahasa, dan memperluas pengetahuan-pengetahuannya mengenai sintaksis. Sintaksis, ilmu tata kalimat, memiliki unsur-unsur, yaitu: kata, frase (gabungan kata), klausa (satuan kalimat yang mesti memiliki predikat), kalimat. Baik sintaksis prosa maupun sintaksis puisi, pastilah memiliki unsur-unsur itu.
Struktur dasar dari satu klausa atau kalimat minimal adalah S (Subjek) + P (Predikat), dan atau yang lengkap adalah S (Subjek) + P (Predikat) + O (Obyek) atau K (Keterangan).
Kalau kita sudah memahami benar soal struktur dasar klausa atau kalimat ini, barulah kita bisa beranjak menyusun kalimat luas (majemuk) dengan berbagai variasinya. Lalu kita pun bisa menggunakan berbagai jenis inversi (pembalikan) dari berbagai fungsi kalimat atau klausa (S, P, O atau K) dengan tepat. Selanjutnya, dalam tahap terakhir, barulah kita bisa melakukan teknik pemadatan atau pelesapan kata atau fungsi kalimat/klausa.
Dalam ilmu linguistik (ilmu tentang bahasa), kalimat terdiri dari tiga unsur yang membentuk suatu kalimat, yaitu: kata, frase (gabungan kata), dan klausa. Klausa adalah unsur sintaksis yang predikatif, artinya di dalam satu klausa itu mesti ada minimal satu predikat. Pengetahuan tentang linguistik ini juga akan sangat bermanfaat sewaktu seorang penulis melakukan evaluasi pada tahap revisi tulisan.
***
Mengenai Kedalaman Tema
Ada satu konsep filsafat yang tepat terkait kedalaman tema dari seorang filsuf eksistensialis Jerman pada abad ke-20, Karl Jaspers, yaitu “chiffer-chiffer”. Istilah ini diartikan sebagai “situasi-situasi batas” dalam eksistensi manusia.
Menurut Karl Jaspers ada beberapa situasi batas yang akan membuat eksistensi manusia “retak” menuju pengalaman transendensi, di antaranya: kematian, penderitaan, perjuangan, kesalahan, kegagalan, cinta, dan keilahian.
Chiffer-chiffer ini mencipta rasa ambang dan membuka pilihan bebas manusia: menerima situasi-situasi batas itu atau menolaknya. Ketika eksistensi retak dalam situasi-situasi batas, menurut Karl Jaspers, tak selayaknya membikin manusia menyerah, namun itu justru merupakan celah bagi manusia untuk menyadari bahwa eksistensinya tidaklah identik dengan situasi rutin semata, dengan keterasingan dan kutuk kehampaan belaka. Setiap situasi batas adalah sebuah peluang bagi manusia untuk terus-menerus mentransendensikan kemanusiaannya, untuk melampaui keterbatasannya.
Jika kita memahami apa yang dimaksud dengan chiffer-chiffer atau situasi-situasi batas dalam hidup manusia, maka kita akan memahami dengan baik tema-tema dasar apa yang akan menggugah “rasa” terdalam dari jiwa manusia.
Orang tak akan tergugah membaca rasa sepi kita yang ditulis dengan berlarat-larat. Karena kesepian dan keterasingan kita bukanlah situasi batas bagi orang lain, bukan satu chiffer yang akan meretakkan eksistensi pembaca untuk bertransendensi, untuk “keluar” dari situasi rutinnya.
Tapi, jika kita bisa menampilkan satu atau beberapa situasi batas di dalam kisah kesepian kita, maka pembaca kisah kita kemungkinan besar akan tergugah. Misal: kesepian saat menghadapi hukuman mati, kesepian saat berjuang mempertahankan keadilan, kesepian yang merindukan cinta seorang kekasih, kesepian dalam bayangan keilahian. Kesepian, atau mungkin lebih kena disebut keheningan, yang tercipta dalam situasi-situasi batas itu tak lain manefestasi dari “rasa ambang”.
Ahmad Yulden Erwin, guru saya, pernah mencontohkan bagaimana cara menempatkan chiffer-chiffer ini bekerja di dalam puisi. Salah satunya adalah melalui cerita Hikayat Joshua. Penulis Hikayat Joshua, menurutnya, sungguh-sungguh lihai menempatkan chiffer-chiffer ini secara total.
Joshua digambarkan berjuang sendirian—chiffer berjuang yang ekstrim ini tergambarkan dalam kisah mulai dari pengembaraannya sendirian di gurun selama 40 hari tanpa makan dan minum, hingga saat ia memikul sendiri kayu salibnya ke Bukit Golgota. Ia juga digambarkan menahan siksaan yang tak terbayangkan kejinya—visualisasi chiffer penderitaan ekstrim ini dapat dilihat seperti dalam film Mel Gibson tentang “Kesabaran Kristus”.
Situasi-situasi batas dalam hikayat Joshua benar-benar ditarik oleh “sang penulis” hikayat Joshua sampai batasnya, dan itu pula yang membuat hikayat Joshua ini menggugah secara “ekstatif” guna memicu “rasa ambang” atau keharuan bermilyar manusia selama dua ribu tahun lebih.
Bagaimana cara mengomposisikan chiffer-chiffer ini menjadi sebuah kombinasi yang padu dalam teks puisi? Di situlah rahasia “pendalaman tematik”. Begitu keseluruhan atau beberapa chiffer itu dikombinasikan secara “serentak” dengan piawai oleh sang penulis, maka setiap chiffer akan membuka kian besar “rasa ambang” dalam diri manusia, membuka berbagai pintu transendensi. Itulah “permainannya”.
Contoh:
Topik: Ibu
Tema: Ibu adalah orang tua perempuan yang melahirkan kita.
Tema di atas benar, tapi secara puitik dangkal, macam definisi kata di kamus.
Sekarang saya akan masukkan chiffer-chiffer itu ke dalam tema. Misalnya:
Topik: Ibu.
Tema: Ibu adalah sumber kekuatan yang menjadi wujud ilahi di muka bumi (chiffer keilahian).
Atau, secara lebih lengkap:
1. Topik: Ibu
2. Tema: Perjuangan seorang ibu (single mom) menjadi pekerja serabutan demi sekolah anaknya.
3. Konflik:
– Konflik internal: Seorang Ibu sempat ragu untuk menjadi kuli serabutan, karena ia merasa itu adalah pekerjaan yang tidak memberikan masa depan. Namun, kebutuhan keluarga dan demi pendidikan anaknya memaksa ia menjadi kuli serabutan.
– Konflik personal: Anaknya yang berumur 5 tahun membutuhkan kasih sayang ibunya. Ketika ibunya bekerja sana sini, maka tidak akan mempunyai waktu yang banyak untuk bermain dengan anaknya.
– Konflik sosial: Masyarakat menganggap menjadi seorang single mom adalah momok
– Konflik dengan alam: Saat musim hujan, rumah ibu itu sering mengalami kebocoran, dan ia harus bekerja ekstra untuk memperbaiki rumahnya.
– Konflik dengan Tuhan: Ia juga sering marah, karena Tuhan menimpakan banyak pencobaan padanya, di tengah kesendiriannya.
4. Chiffer-Chiffer: Seorang ibu berjuang (chiffer perjuangan) menjadi pekerja serabutan untuk memberikan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi anaknya. Anaknya yang dicintainya (chiffer cinta) tersebut merasakan butuh waktu lebih banyak dengan ibunya, dan sering merasakan kesepian saat ditinggal ibunya bekerja (chiffer penderitaan).
Sekarang tema yang tadinya dangkal justru menjadi dalam dan konkret menjadi realitas eksistensial.
***
Di dalam menulis puisi, saya merasa bahwa saya tidak bisa lagi seperti zaman muda dulu. Secara estetika mungkin ini sudah tidak mungkin. Pun sudah harus melampaui dan berbeda. Nada tuturnya tidak lagi memberontak atau meradang, tetapi menggeremang atau menggumam.
Kata-kata yang dituliskan harus lebih terpilih, singkat dan sepadat mungkin: lebih banyak metafora di tingkat frasa atau kalimat, dan saya masih banyak perlu belajar dan berlatih untuk ini. Jika saya rasa perlu, mungkin memang sudah harus logis total, bukan lagi dipenuhi oleh emosi semata-mata. Di sini, saya justru memerlukan bantuan dari beberapa teori-teori puisi sebagai refrensi.
Salah satu teori yang saya kagumi dalam menganalisa puisi adalah teori Roman Ingarden. Ia menjabarkan beberapa lapis-lapis puisi yang dapat kita analisa bersama.
Yang pertama, adalah analisis lapis bunyi. Sajak tersebut berupa satuan- satuan suara yang meliputi suara suku kata, suara kata, suara frase hingga suara kalimat. Jadi lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi berdasarkan suatu konvensi bahasa tertentu, dalam sajak ini adalah bahasa Indonesia.
Pada analisis bunyi, haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat istimewa atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Lapis bunyi (sound stratum) merupakan lapis pertama dalam karya sastra. Lapis bunyi digambarkan saat kita mendengarkan seseorang untuk membaca puisi.
Hal yang didengar oleh kita adalah rangkaian bunyi yang dapat dibatasi oleh penjedaan, nada panjang atau pendek. Semua satuan bunyi dan kesesuaian bunyi yang diucapkan sesuai dengan konvensi bahasa tertentu (dalam hal ini bahasa Indonesia) yang disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan arti merupakan hal yang terdapat dalam lapis bunyi.
Yang kedua, adalah analisis lapis arti. Lapis arti (units of meaning) merupakan gabungan dari satuan yang terkecil hingga yang terbesar yang bergabung menjadi sebuah cerita. Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Sedangkan lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Tiap fonem dalam puisi memiliki arti. Fonem berkembang menjadi kata, kata menjadi frase, kemudian menjadi kalimat hingga membentuk sebuah bait yang memiliki arti.
Yang ketiga, adalah analisis objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dan dunia pengarang. Cerita atau dunia yang diciptakan oleh imajinasi pengarang.
Yang keempat, adalah analisis lapis dunia yang implisit. Yaitu dunia yang dipandang dari sudut pandang tertentu misalnya dipandang dari objek-objek yang dikemukakan.
Yang kelima, adalah analisis lapis metafisika. Lapis ini berupa pandangan hidup atau filsafat yang terdapat di dalamnya. Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
***
Barangkali menulis puisi memang menggoda daya cipta kita untuk menafsir. Pun bambu-bambu di dalam bagian depan tulisan ini membujuk kita untuk menafsir, dengan tafsir lain lagi: jika angin berembus, rumpun bambu di tepi sungai akan terhuyung-huyung dan menciptakan bayang-bayang tempat kita dapat meneduhkan diri dari terik matahari sejarah.
Bukankah semua itu, seperti dalam sajak seorang penyair yang kepalanya terbikin dari neraca: sesuatu yang kelak retak. Ya, memang akan retak – tapi kita akan berusaha membikinnya abadi, dengan menuliskannya menjadi puisi.[T]
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024