MEMASUKI senja yang sejuk pada Rabu, 7 Agustus 2024, kepala demi kepala mulai menyesaki Lapangan Chandra Muka, Batubulan, Gianyar. Perbincangan demi perbincangan bermunculan di tengah lapangan yang telah didesain bak sepetak sawah besar. Perbincangan muncul dalam lingkaran besar maupun lingkaran kecil pemilik kepala.
Dialog mereka seolah berkompetisi dengan keriuhan kendaraan di sepanjang Jalan Raya Batubulan yang berada di timur lapangan besar itu. Beberapa dari mereka mengobrol seputar hal pribadi, tetapi banyak juga berbincang tentang “Maha Wasundari”, pergelaran pembuka mega festival Indonesia Bertutur (Intur) 2024 yang akan tersaji malam itu.
Usai digelar di kawasan Warisan Dunia Borobudur pada 2023, tahun 2024 Intur memilih Bali sebagai tuan rumah festival. “Beralih dari satu warisan dunia kewarisan dunia lain,” demikian dinyatakan dalam video teaser program, tahun ini Intur akan mewacanakan Warisan Dunia Subak. Ada 900 seniman yang akan terlibat selama 12 hari festival berjalan, yakni dari tanggal 7 s.d. 18 Agustus 2024.
Panggung utama pembukaan Indonesia Bertutur | Foto: tatkala.co/Rusdy
Subak memang dapat dikatakan sebagai salah satu capaian peradaban manusia Bali. Subak bukan sekadar siklus menanam padi pada petak sawah yang kian menyusut di Bali. Subak juga bukan kisah tentang air yang hanya mengalir dari terasering satu ke terasering lainnya. Subak jauh lebih dalam dan kompleks dari semua hal itu.
Setidaknya sejak abad ke-10, subak telah merajut megasistem kebudayaan Bali dengan beragam objek-objek kebudayaan turunannya. Subakhadir menghubungkan manusia Bali di satu titik dengan manusia Bali di titik lainnya, membangun tata kelola lingkungan hidup berkeadilan, hingga akhirnya membangun sistem kepercayaan yang demikian kompleks. Orang-orang modern mengkonsepsi konsep tersebut sebagai tri hita karana.
Pergelaran Maha Wasundari mencoba menghadirkan konsepsi tersebut dalam satu panggung rakyat penuh makna. Pembukaan festival nasional yang umumnya terkesan eksklusif dan hanya dapat dinikmati oleh para pejabat dan “orang-orang penting” dikembalikan sebagai hajatan rakyat yang inklusif untuk semua. Tidak ada banyak sambutan, tiap penonton pun duduk lesehan beralaskan tikar pandan menghadap ke panggung utama.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi, Hilmar Farid, menegaskan visi inklusivitas Maha Wasundari. Pada sambutan yang tidak lebih dari 3 menit itu ia menyatakan komitmen penyelenggaraan Intur sebagai ruang bersama memuliakan kebudayaan.
“Mereka yang hadir hari ini adalah mereka yang punya komitmen memajukan kebudayaan,” katanya sebelum membunyikan okokan bersama-sama.
Hilmar Farid mengatakan posisi kebudayaan dalam pembangunan nasional. Menurutnya, masa depan Indonesia yang cerah dapat ditempuh dengan jalan pemuliaan terhadap kebudayaan dan keanekaragaman hayati. Pernyataannya sejalan dengan prinsip tri hita karana, sebagai konsep mendasar entitas Warisan Dunia Subak di Bali.
Ni Luh Menek di panggung pembukaan Indonesia Bertutur | Foto: tatkala.co/Rusdy
“Malam hari ini kita akan menyaksikan sebuah pergelaran yang ingin mengingatkan kita semua tentang pentingnya kita, sebagai masyarakat, menghargai kebudayaan, menghargai keanekaragaman hayati yang kita miliki, karena sejatinya itulah inti kekuatan dari Indonesia ini. Memiliki keanekaragaman budaya, memiliki keanekaragaman hayati, dan kalau dua hal ini dipertemukan boleh dibilang Indonesia akan memiliki masa depan yang cerah,” katanya.
Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan
Maha Wasundari ‘Bumi yang Agung’ hadir mempertemukan sejumlah kebudayaan di titik-titik berbeda Pulau Bali. Pementasan yang sarat nuansa spiritualitas itu berupaya menyajikan imaji Bali yang liyan, Bali yang beragam. Alur pementasan itu kemudian dirajut melalui kebudayaan subak yang secara filosofis merupakan representasi atas entitas lima unsur dasar ‘panca maha buta’.
Maha Wasundari dimulai dari penghormatan orang Bali pada entitas semesta yang dicerminkan melalui pelaksanaan ritual prayascita-durmanggala. Ritual prayascita yang berarti ‘penyucian’ dilakukan oleh seluruh seniman yang terlibat serta penonton.
Doa dan mantra yang dihantarkan para pemangku serta tetua adat mengajak kita melakukan refleksi atas apa yang bisa dialami dari masa lampau dan apa yang bisa ditumbuhkan di masa depan, melalui kesadaran tentang apa yang sedang dialami saat ini.
Pementasan berlanjut dengan menyajikan film dokumenter ritual Sanghyang Dedari dari Desa Geriana Kauh, Karangasem. Sanghyang Dedari adalah ritual mahasakral yang diwarisi dan dijaga masyarakat Geriana Kauh sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas limpahan anugerah Semesta dalam manifestasinya sebagai Ibu Bumi.
Foto: tatkala.co/Rusdy
Masyarakat Desa Geriana Kauh memiliki tradisi mempertahankan menanam padi Bali dengan siklus hidup setahun penuh. Tari Sanghyang Dedari dipentaskan hanya ketika padi telah memasuki fase keluarnya bulir dari batangnya. Masyarakat menyebutnya sebagai embud padi.
“Karena Sanghyang Dedari adalah tarian wali atau sakral, tidak bisa dipentaskan di sembarang tempat dan waktu, maka pada kesempatan ini yang ditampilkan adalah dokumentasi saja,” kata Jero Bendesa Geriana Kauh, I Nyoman Subrata.
Usai penonton disuguhkan kesakralan penari Sanghyang Dedari di dalam bidang gambar, pementasan beranjak pada energiknya Tari Baris Jangkang. Baris Jangkang berasal dari Desa Pelilit, Nusa Penida, Klungkung.
Nusa Penida yang secara geografis daratannya terpisah dengan Bali melahirkan nuansa seni yang juga khas. Gerak dan visual yang ditampilkan jauh dari imaji tari baris pada umumnya yang seolah-olah selalu bersumbu pada baris gede atau baris tunggal.
Tari Baris Jangkang seolah mempertunjukkan sikap keperwiraan di dalam kesederhanaan. Manusia seolah diajarkan bahwa seorang ksatria tidak harus lahir dalam gemerlap polesan sampul luar, tetapi komitmen dari dalam sanubari.
Menurut kepercayaan masyarakat, Tari Baris Jangkang diciptakan oleh seorang yang sangat setia kepada rajanya. Tarian ini menggambarkan kemenangan manusia melawan kejahatan karena kesetiaan dan keteguhannya.
Maestro tari Bali asal Jagaraga, Buleleng, Ni Luh Menek, selanjutnya mengambil perhatian di panggung utama melalui paduan tari dan seni suara dalam suguhan Tari Palawakya. Lantunan kalimat-kalimat yang diucapkan sang maestro hadir sebagai pengantar pementasan Wayang Wong Tejakula yang tersaji pada fragmen setelahnya.
Wayang Wong Tejakula di panggung pembukaan Indonesia Bertutur | Foto: tatkala.co/Rusdy
Apabila penonton menyaksikan penampilannya, sejatinya Ni Luh Menek tidak merapal Palawakya, tetapi melantunkan wirama beberapa bait Kakawin Ramayana yang terkenal.
Palawakya sejatinya merujuk pada aktivitas melantunkan narasi dari susastra parwa, misalnya Astadasa Parwa (Mahabarata Jawa Kuno) dan Sapta Kanda Ramayana. Baik parwa maupun kakawin kesusastraan Jawa Kuno yang kini diwarisi di Bali dan menjadi salah satu sumber falsafah manusia Bali.
Pementasan Wayang Wong Tejakula pada panggung Maha Wasundari berjudul “Wisnu Bhisama” yang mengambil cukilan kisah Situbanda dalam epos Ramayana. Ketika mengetahui Sita ditawan oleh Rawana di Alengkapura, Rama bersama aliansi pasukan kera di bawah panji Sang Sugriwa bersiap melakukan penggempuran.
Sayang, upaya tersebut terhambat oleh luasnya samudera. Melihat situasi itu, Rama segera mengambil gandewa-nya. Panah dibentangkan menuju samudera, sehingga laut mendadak surut.
Seluruh makhluk yang tinggal di samudera merana oleh surutnya air laut. Dewa Bharuna, penguasa samudera, murka atas tindakan Rama. Sang dewa kemudian mendatangi jelmaan Dewa Wisnu itu. Negosiasi terjadi di pesisir laut.
Dewa Baruna meminta Rama mengembalikan air laut dan memberi jalan agar Rama membangun jembatan menuju Alengka. Batu-batu akan dibuat lebih ringan sehingga dapat mengapung dan mempermudah pekerjaan bangsa kera. Jembatan itulah yang kelak disebut sebagai Situbanda.
Pementasan Wayang Wong Tejakula berupaya membawa pesan agar manusia senantiasa menghormati dan memuliakan alam. Tindakan egois hanya akan mendatangkan kesengsaraan bagi makhluk hidup yang lain.
Wayang Wong Tejakula juga salah satu tarian sakral dari Bali Utara, yakni Desa Tejakula di Buleleng Timur. Gede Komang, anggota senior dari sekaa tersebut, menyebut Wayang Wong Tejakula sudah ada sejak abad ke-16. Wayang Wong Tejakula yang asli disakralkan masyarakat, tidak boleh dipentaskan di luar desa dan pada waktu yang sembarangan.
Tarian Barong Ngelawang di panggung pembukaan Indonesia Bertutur | Foto: tatkala.co/Rusdy
Oleh karena keunikan wayang wong ini, barulah pada tahun 1980-an dibuatkan sekaa dengan tujuan yang lebih profan. “Wayang wong yang asli itu pentas 2 s.d. 3 kali dalam setahun di Pura Kahyangan Tiga Tejakula, Pura Segara, dan beberapa pura lain. Salah satunya dipentaskan saat Usaba Dangsil. Pementasan wayang wong terkait dengan pertanian.
Setelah dipentaskan, masyarakat berharap hujan akan turun bagus, pertanian berhasil bagus. (Pementasan) ini sekalian mohon agar Tejakula selalu diberi kesuburan dan kemakmuran,” katanya.
Tarian Barong Ngelawang mengambil panggung setelah itu. Ngelawang merupakan satu praktik kebudayaan di Bali yang biasanya dilaksanakan setelah Hari Suci Galungan dilaksanakan. Ngelawang dilakukan oleh anak-anak dengan datang dari satu pintu ke pintu rumah penduduk.
Secara tradisi ngelawang diyakini sebagai upaya tolak bala, yakni praktik memodifikasi energi disrupsi menjadi energi yang konstruktif sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Tari Barong Ngelawang mewakili unsur api di dalam Maha Wasundari. Kehadiran elemen api ditandai dengan adanya semangat dan keceriaan, pikiran positif, dan kepercayaan diri yang menjadi inti kehadiran anak-anak. Anak-anaklah yang menjadi harapan bangsa untuk masa depan, sehingga mereka layak untuk diberi bekal yang baik.
Epilog Maha Wasundari menghadirkan proses ritual panglebar bakti. Panglebar bakti merupakan tanda berakhirnya segala upaya pemuliaan yang dilakukan ke hadapan Semesta. Apa yang dimulai harus diakhiri. Apa yang dibangun harus direbahkan kembali. Apa yang pernah dianugerahkan wajib dipersembahkan kembali. Itulah prinsip yadnya ‘pengorbanan’ dalam kultur Hindu Bali sebagai kesadaran penuh atas Semesta yang terus berputar.[T]