SELAIN memiliki tradisi unik sapi duwe, Desa Tambakan di Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali, kini memiliki semacam monumen peringatan yang berdiri di tengah desa itu. Monumen itu, selain untuk menancapkan ingatan terhadap tradisi sapi duwe itu, sekaligus juga sebagai peringatan atas pentingnya pengelolaan dan pelestarian lingkungan di desa yang masih asri itu.
Monumen itu sesungguhnya adalah karya seni instalasi yang dibangun dengan materi dari tulang dan tengkorak sapi duwe yang masih disimpan oleh warga Desa Tambakan setelah bertahun-tahun mereka begitu setia menjalankan tradisi dan ritual sapi duwe.
Seni instalasi itu adalah proyek karya seniman rupa Polenk Rediasa yang memang lahir di Desa Tambakan. Polenk Rediasa bernama lengkap I Nyoman Rediasa adalah dosen seni rupa Undiksha Singaraja yang kualitas karya-karyanya tak perlu diragukan lagi, baik karya lukis maupuan karya seni instalasi.
Seni Instalasi Partisipatif Teo-Ekologis Sampi Duwe di Desa Tambakan, Buleleng, Bali | Foto: Ist
Karya seni instalasi yang secara lengkap disebut sebagai Seni Instalasi Partisipatif Teo-Ekologis Sampi Duwe itu mulai dipamerkan secara resmi, Selasa, 6 Agustus 2024, di jaba Pura Prajapati, Desa Tambakan.
Pameran ini adalah bagian dari ujian disertasi Rediasa untuk mendapatkan gelar doktor dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
“Proyek seni instalasi ini memang disertasi pada program doktoral ISI Denpasar, dan nantinya karya seni ini akan tetap berdiri di Desa Tambakan sebagai semacam monumen,” kata Polenk Rediasa.
Tradisi Sapi Duwe
Tradisi sapi duwe, atau tradisi bulu geles, di Desa Tambakan memang unik. Penjelasan sederhananya, warga desa punya tradisi untuk menghaturkan godel atau anak sapi, atau bulu geles, kepada dewa yang dipercaya memberi anugerah kepada warga desa itu.
Setelah diupacarai, bulu geles itu kemudian dilepasliarkan ke tengah hutan. Sapi itu dibiarkan berkeliaran di kebun dan hutan desa, bahkan berkeliaran hingga ke desa-desa lain di sekitar Desa Tambakan. Tak ada yang berani menangkap sapi itu.
Tengkorak sapi duwe yang masih disimpan warga Desa Tamabakan | Foto: Ist
Setiap dua tahun sekali, tepatnya saat Purnama Kasa atau bulan purnama di bulan pertama penanggalan Bali, warga desa menggelar upacara.
Saat upacara itu, warga desa akan menangkap sapi liar itu di tengah hutan. Sapi yang ditangkap adalah sapi yang cukup umur, kira-kira bobotnya kisaran 400 hingga 800 kilogram. Sapi yang ditangkap sekitar 30 ekor.
Sapi itu dipotong dan dagingnya dijadikan sarana upacara, setelah itu dibagikan kepada warga.
Dari hasil pemotongan sapi sejak bertahun-tahun itu, tersisa kemudian tulang dan tengkorak sapi yang sebagian besar masih disimpan oleh warga. Nah, tulang dan tengkorak sapi itulah yang kemudian digunakan sebagai materi utama dari seni instalasi karya Polenk Rediasa ini.
Polenk Rediasa | Foto: Ist
Polenk Rediasa. Lahir di Tambakan, Buleleng, 18 Maret 1979. Bernama lengkap I Nyoman Rediasa, perupa dan dosen di Undiksha, Singaraja.
Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Denpasar, ISI Denpasar, dan pascasarjana Kajian Budaya, Universitas Udayana, Denpasar.
Ia menggelar pameran bersama dan tunggal sejak tahun 2004 di dalam dan luar negeri. Pameran tunggalnya, antara lain “Body Exploration” (National Gallery, Jakarta, 2008), “Installation Exhibition and Performance Art” (2007), “Body Study” (Popo Danes Gallery, 2005), “Signs” (Retro Resto and Gallery, Sanur, 2004).
Dia pernah mendapatkan penghargaan dalam Biennale Beijing tahun 2008. Karya-karyanya banyak dipakai Kompas sebagai ilustrasi cerpen.
Bukan Sekadar Karya Seni
Seni Instalasi Interaktif Sapi Duwe di Desa Tambakan merupakan karya seni rupa konseptual, yang menggunakan elemen utama sampah artistik pertinggal Sapi Duwe berupa tulang dan tengkorak.
“Tujuan dari penciptaan karya seni ini, untuk menggali makna Sapi Duwe dengan memuliakan sampah pertinggal sapi duwe—sebagai warisan budaya, yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan melalui visual instalasi interaktif,” kata Polenk Rediasa.
Proses penciptaan karya seni instalasi Sapi Duwe di Desa Tambakan | Foto: Ist
Melalui pendekatan eko-art, kata Polenk, seni instalasi ini mengungkapkan; apa dan ada apa di balik ritual. Membuka tafsir baru yang selama ini cenderung bermakna vertical common sense dan tak terbantahkan.
“Dengan karya seni instalasi membedah makna ritual yang yang dapat mencerna rasio,” ujarnya.
Adapun proses perwujudan seni instalasi interaktif di ruang publik Desa Tambkan ini, melibatkan banyak masyarakat desa sebagai pelaku seni dan pemberi makna terhadap seni itu sendiri.
Menurut Polenk, proyek bukan hanya sebuah karya seni, tetapi juga sebuah gerakan sosial yang mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan spiritualitas, serta menjadi model pelestarian lingkungan bagi desa-desa lainnya di Bali.
Sampah sampi duwe seperti tulang dan tengkorak, kata Polenk, menciptakan pengalaman visual yang memukau sekaligus menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya pelestarian alam dan spiritualitas masyarakat.
“Instalasi ini tidak hanya menawarkan pemandangan estetis, tetapi juga membawa makna filosofis yang menggugah kesadaran kolektif tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam,” kata Polenk.
Proyek ini melibatkan partisipasi aktif masyarakat Desa Tambakan sebagai pelaku seni, menghidupkan kembali kearifan lokal melalui proses kreatif yang didukung oleh teori seni rupa konseptual, eco art, sosial ekologi, dan hermeneutika.
Sapi duwe setelah ditangkap di hutan dalam sebuah upacara | Foto: Ist
Metode mungkah-munggah wali, yang digunakan dalam proyek ini, mengandung nilai-nilai teo-ekologis yang mendalam, di mana masyarakat tidak hanya melihat karya seni tetapi juga ikut terlibat dalam proses penciptaannya. Ini merupakan bentuk dedikasi dan persembahan masyarakat kepada alam, sebagai wujud syukur dan penghormatan.
Desa Tambakan, sebagai salah satu hulu Pulau Bali, menurut Polenk, memang memiliki peran penting dalam pelestarian lingkungan. Melalui proyek ini, diharapkan pelestarian dan penanaman pohon di Desa Tambakan akan menjadi sumber air yang berkelanjutan bagi desa-desa di hilir.
Menjaga dan memuliakan alam, desa ini bisa menjadi role model bagi desa-desa lain untuk menggali mitos dan kearifan lokal masing-masing, mengangkatnya sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Ini adalah implementasi dari konsep Tri Hita Karana yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Sampi duwe menjadi simbol sakral dalam instalasi ini, menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Pohon- pohon sakral dipilih sebagai tempat penginstalan, memperlihatkan keindahan alami sekaligus mengajak masyarakat untuk merenungkan dan mengubah perilaku serta pola pikir mereka terhadap lingkungan.
Instalasi ini tidak hanya berfungsi sebagai sebuah karya seni, tetapi juga sebagai alat edukatif yang mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar mereka.
Polenk berharap seni instalasi ini menjadi alat edukatif dan mobilisasi sosial yang efektif, memperkuat identitas budaya dan mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam menjaga keberlanjutan ekosistem,.
“Melalui karya ini, kami ingin menunjukkan bahwa seni bisa menjadi media yang kuat untuk perubahan sosial dan pelestarian lingkungan,” ujar Polenk.
Proses penciptaan karya seni instalasi | Foto: Ist
Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, memperkuat identitas budaya, dan mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan ekosistem.
Ini adalah bagian dari upaya jangka panjang untuk mengintegrasikan seni dan ekologi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, menciptakan kesadaran yang lebih dalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam. Memperkuat jaringan kerjasama antar komunitas seni dan lingkungan, serta mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pelestarian alam.
Dukungan dari lembaga seni, komunitas lokal, dan para pelaku lingkungan sangat penting untuk keberhasilan proyek ini. Keterlibatan mereka tidak hanya dalam bentuk dukungan moral, tetapi juga dalam partisipasi aktif selama proses penciptaan karya seni ini.
“Dukungan ini menunjukkan adanya kesadaran kolektif dan komitmen bersama untuk menjaga dan melestarikan alam serta budaya Bali,” kata Polenk.
Proyek ini juga berupaya untuk memberikan edukasi kepada generasi muda tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan nilai-nilai budaya lokal. Melalui berbagai kegiatan yang melibatkan anak-anak dan remaja, diharapkan mereka dapat tumbuh dengan kesadaran yang tinggi akan pentingnya menjaga lingkungan dan menghormati warisan budaya mereka. [T]
Sumber: Rilis dan berbagai sumber
Editor: Adnyana Ole