SEPASANG turis berkulit pucat baru saja duduk di kursi plastik di depan Panggung Giri saat pembawa acara menyapa hadirin dan berbasa-basi dengan bertanya “Apakah Anda sekalian bahagia?” dan “Apakah Anda sekalian siap menyambut para penampil hari ini?”. Yang ditanya, dengan senang hati dan serempak menjawab, “Ya, tentu saja.”
Maka, suasana menjadi gegap-gempita saat Collective Harmony membuka hari kedua Sthala Ubud Village Jazz Festival (selanjutnya ditulis UVJF) 2024 dengan membawakan karya-karya klasik Louis Armstrong (alias Satchmo), penyanyi dan pemain terompet jazz Amerika Serikat yang legendaris, di Panggung Giri, Sabtu (3/8/2024) sore.
Nancy Ponto, Rachman Neider, Phil Antonio, Telly Yoesoef, dan Ras Gito, lima penyanyi yang tergabung dalam Collective Harmony itu, memaksa penonton untuk berdansa, menari, dan bersuka cita, melupakan segala derita dan tenggelam dalam karya-karya Armstrong (The King of Jazz)—penghibur Afrika-Amerika populer pertama yang berhasil menerobos “lintas ras” itu.
Collective Harmony mengajak pengunjung untuk berdansa dan menari di depan Panggung Giri | Foto: tatkala.co/Jaswanto
UVJF 2024 yang digelar di Sthala Hotel, Ubud, Gianyar, telah berakhir dengan meriah dan meninggalkan kesan mendalam bagi para pengunjung. Selama dua hari, UVJF tahun ini berhasil menarik sekira 3000 pengunjung dari berbagai belahan bumi yang menikmati penampilan dari grup musik jazz internasional dan lokal di tiga panggung: Giri, Padi, dan Subak.
Pada hari kedua ini—yang sekaligus hari penutupan festival—ada sembilan grup jazz yang menampilkan repertoarnya. Ialah Collective Harmony (Indonesia), FAWR (Indonesia), Eric Chong Trio With Sinuksma & Kanhaiya (Hong Kong-Indonesia), Simon Praticco Trio (Italia).
Lalu Claude Diallo Trio With Indra Gupta & Gustu Brahmanta (Swiss-Indonesia), New Centropezn Quartet (Rusia), Zagorski-Skowronki Project feat Kajetan Galas (Polandia), Uwe Plath Quartet (Jerman), dan Galaxy Bigband (Indonesia) membuat festival ini menjadi istimewa dan penuh warna—sebagaimana musik jazz itu sendiri.
FAWR tampil di Panggung Padi UVJF 2024 | Foto: tatkala.co/Son
Semakin sore pengunjung tampak semakin ramai. Di Panggung Padi yang terletak di dekat pintu masuk, bersama senja yang mendaulat langit Lodtunduh, para pengunjung duduk dengan nyaman sambil mendengarkan komposisi musik yang dibawakan FAWR—komposisi yang terinspirasi dari berbagai genre, mulai dari R&B hingga jazz dan world music.
Repertoar yang dibawakan Nataniel Isachar Kaleb (gitar), Agil Nur Pambudi (bass), dan Grady Boanerges (drum)—trio FAWR itu, seperti memasukkan unsur improvisasi dan emosi ke dalam musik mereka. Musik-musik FAWR sore itu seolah terhubung dengan penonton secara global dan melampaui batasan budaya.
Marjan dari Belanda, seorang pengunjung setia UVJF, berbagi pengalamannya. “Ini yang kesembilan kalinya saya datang ke festival ini, dan saya sungguh-sungguh menikmatinya. Saya akan terus datang setiap tahun—sebab setiap tahun festival ini menghadirkan pengalaman yang berbeda.”
Musik jazz, dengan kekayaan makna, improviasai, dan interpretasinya, selalu bergantung pada persepsi, intelegensia, dan pengalaman pendengarnya. Jika dilihat dari sejarah kelahirannya, jazz mirip dengan keroncong di Indonesia—yang juga lahir dari jeritan hati rakyat jajahan kolonial Portugis.
Galaxy Bigband Jazz Orchestra di Panggung Giri UVJF 2024 | Foto: tatkala.co/Son
Pada awalnya sekira abad 20, musik jazz lahir untuk menyatakan sebuah sikap—untuk tidak mengatakan sebuah pemberontakan—dan dimainkan dengan alat musik apa-adanya. Namun, seiring zaman, jazz kerap kali dianggap musik borjuis dan elit, kendati demikian tetap mampu memperlihatkan kerumitan teknik yang membuatnya terbuka terhadap interpretasi bebas di tengah keteraturannya.
Jazz mencakup berbagai sub-genre, seperti Swing, Bebop, Ragtime, Smooth Jazz, Fusion Jazz, hingga yang paling kompleks, Free Jazz atau Avant-Garde Jazz. Dan UVJF memayungi semua genre tersebut. “Bukan hanya Free Jazz, tapi Just Jazz,” Yuri Mahatma, Co-founder UVJF, menegaskan.
Ubud Village Jazz Festival 2024 ditutup dengan penampilan Galaxy Bigband Jazz Orchestra, sebuah grup musik yang didirikan pada 1992 oleh warga Jepang di Jakarta. Ini grup dengan anggota terbanyak di UVJF tahun ini—dengan anggota sekitar 15 orang.
Malam itu, Galaxy Bigband membawakan repertoar ayunan klasik tradisional yang dipopulerkan oleh band-band ikonik seperti Caunt Basie dan Duke Ellington Orchestra serta melodi gaya Latin yang menawan—dan itu memang ciri khas mereka.
Tetapi, barangkali ini yang mengesankan. Sebelum mengakhiri penampilannya, dengan orkestra yang harmonis, mereka mengajak penonton—lokal dan asing—menari-bergoyang bersama mengikuti lagu “Kopi Dangdut” yang diaransemen dalam bentuk jazz. Selain mengejutkan, hal ini juga menciptakan suasana yang meriah dan penuh kegembiraan.
Dengan segala keindahan dan kelenturannya, sekaligus kerumitan tekniknya, jazz terus menjadi wadah ekspresi yang tak terbatas. Ubud Village Jazz Festival 2024 telah mencipta kenangan manis dan pengalaman berharga, yang barangkali tidak akan pernah dilupakan oleh para musisi jazz—yang berkesempatan tampil—dan pengunjungnya. “Sampai jumpa di Ubud Village Jazz Festival tahun depan,” ujar Yuri Mahatma menutup malam yang mengesankan itu.
Mendengar Rasa dalam Bahasa Suara
Berbicara musik jazz, dalam sebuah roman metropolitan berjudul Jazz, Parfum, dan Insiden (2017) yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, terdapat sebuah kutipan yang menarik. “Jazz isn’t music. It’s language. Communication.” Kutipan tersebut disampaikan Enos Payne—musisi asal Brooklyn, New York.
Apa yang dikatakan Enos tentu saja bukan sekadar cuap-cuap kosong yang nyaring bunyinya. Coba buka lembaran sejarah musik jazz, maka Anda akan menemukan riwayat kemanusiaan orang Afrika-Amerika yang tertindas. Dan inilah yang membuat penulis F. Scott Fitzgerald menyatakan datangnya Abad Jazz pada tahun ‘20-an menjabarkan suatu sikap. Mengenai hal tersebut, Seno Gumira menulis…tentu Fitzgerald menyatakan pendapatnya dalam konteks pembebasan sebuah sub-kultur dari rasa rendah diri, yakni sub-kultur budak-budak hitam dari Amerika keturunan Afrika.
Jazz, bagi sastrawan penulis Sepotong Senja untuk Pacarku itu, seperti hiburan, tapi hiburan yang pahit, sendu, mengungkit-ungkit rasa duka. “Selalu ada luka dalam jazz, selalu ada keperihan. Seperti selalu lekat rintihan itu—rintihan dari ladang-ladang kapas maupun daerah lampu merah,” tulis Seno dalam Jazz, Parfum, dan Insiden.
Lagu “Berta, Berta” dalam album Branford Marsalis, I Heard You Twice The First Time, tulis Seno lagi, sebuah nyanyian bersama tanpa iringan instrumen, tanpa bermaksud menjadikannya suatu paduan suara yang canggih, diiringi suara rantai terseret.
Eric Chong with Sinuksma & Kanhaiya saat tampil di Panggung Subak UVJF 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Itulah rantai yang mengikat pergelangan tangan dan kaki para budak—rantai perbudakan. Mereka tidak menjadi bebas karena menyanyi, tapi tak ada rantai yang mampu menghalangi mereka menyanyi. Itulah hakikat jazz: pembebasan jiwa,” lanjut Seno.
Tentu saja setiap jenis musik, bahkan setiap jenis kesenian bisa dinyatakan hakikatnya sebagai pembebasan jiwa. Namun, dalam jazz, kata pembebasan itu hadir secara konkret dalam suatu ruang yang bernama improvisasi. Ya, barangkali lebih tepat dikatakan hakikat jazz adalah improvisasi.
Di UVJF 2024 hari pertama, di Panggung Subak, Noé Clerc Trio—grup musik beraliran jazz asal Prancis—membawakan repertoar berjudul “Canson”.
Noé Clerc (akordeon), Clément Daldosso (kontrabas), dan Elie Martin-Charrière yang bertugas menjaga ritme permainan mereka bertiga dengan drum-nya itu, membuat mata pengunjung terpejam merasakan dan mengimajinasikan sesuatu—banyak hal—dalam Canson.
Mendengar Canson, kita dapat membayangkan rintihan para minstrel abad pertengahan di Prancis yang keliling membawakan lagu-lagu bermuatan kisah tempat-tempat yang jauh atau tentang peristiwa sejarah.
Noé Clerc saat membawakan repertoar “Canson” di Panggung Subak YVJF 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Atau justru malah membayangkan sebuah tempat di mana penjajahan dan perbudakan masih berlaku. Atau, oh, cukup mendengarkan saja tanpa berpikir macam-macam seperti kata John Fordham: “Anda tidak usah tahu musiknya untuk memahami rasanya….”
Jika kita perhatikan betul suara instrumen Noé Clerc Trio itu satu per satu, maka kita akan mendengar betapa akordeon dan harmonika Noé Clerc saling kejar-mengejar dengan double bass (kontrabas) Clément Daldosso dan drum-nya Elie Martin-Charrière.
“Dengarkanlah apa saja dalam jazz maka kita akan mendengarkan instrumen yang berdialog. Itulah beda jazz dengan jenis musik lain. Jazz adalah suatu percakapan akrab yang terjadi dengan seketika, spontan, dan tanpa rencana,” kata Seno.
Noé Clerc Trio seperti tidak ingin memainkan sebuah repertoar, tapi ingin mengungkapkan kata hatinya. Tapi karena bahasa kata seolah tak pernah cukup mewakili kata hatinya itu, maka dengan terampil mereka menyampaikan kata hati itu lewat suara instrumennya—seperti kata Seno Gumira tentang musisi jazz pada umumnya.
Sampai di sini, karena begitu menyentuh suara-suara dalam Sthala Ubud Village Jazz Festival 2024, mengutip apa yang telah ditulis Seno Gumira, “Kita mendengar rasa, dalam bahasa suara.”[T]]
BACA artikel lain tentangUBUD VILLAGE JAZZ FESTIVAL
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole