DIA duduk di situ. Di pojok ruangan kafe bercorak retro, beraroma pekat, dan sedikit bau kamper. Pria itu menghadapi Americano, kopi yang tengah digandrunginya akhir akhir ini. Dihirupnya aroma kopi itu, syahdu, seperti para pecandu musik reggae dengan nada yang makin tinggi. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku. Sebotol kecil cairan sianida yang ia impor melalui relasinya.
Ia menatap sekitar. Orang orang tak ada yang peduli satu sama lain. Ini kesempatan emas untuk ia segera menuangkan sianida itu ke dalam Americano sebelum ada yang melihat.
“Kau sudah gila ya?”
Suara itu mematahkan gerakan pria itu, padahal sianida itu sudah hampir tertuang.
“Kau pikir bagaimana?” kata pria itu. “Ah,sialan!”.umpat pria itu dalam hati. Pikirnya, memang sebuah kesalahan mengajak Ted ke sini. Ia berpaling ke depan. Kucing persia dengan bulu keabuan dan lengan yang montok ini selalu bikin perkara.
“Aku masih tak mengerti, mengapa kau ingin bunuh diri?” Kucing itu memelankan suaranya, sambil sesekali melirik ke samping, berharap tak ada yang mendengarnya.
Pria itu terdiam.
“Apa ini berkaitan dengan Diandra?” Ted, si kucing itu, melanjutkan lagi.
Si pria terhenyak sesaat. Hampir terlonjak dari kursinya. Tentu saja, hari itu persis dua tahun setelah pria dan seorang gadis bernama Diandra bertemu. Hari yang tak terlupakan.
——–
Sore yang lelah. Setelah seharian dihajar dengan pekerjaan di kantor ia memutuskan ingin menikmati me time di kafe. Episode pertemuannya dengan gadis itu bermula dari sini.
“Jodoh pasti bertemu!” Tampaknya itu adalah penamaan yang cerdas untuk sebuah kafe dengan tujuan menarik pelanggan. Apalagi para wraiter perempuan di kafe itu bergaya noni dengan rambut dicatok dan disemir pirang. Juga kebanyakan berperilaku centil.
Pria itu duduk sendiri. Di sudut ruangan ia cuma melamun kemudian memandangi wraiters berkacamata yang mengantarkan ekspresso ke mejanya seraya menyunggingkan senyum manis. Ia menatap ekspresso dengan pandangan hambar. Sejujurnya ia bukan penikmat kopi. Bahkan ia tak bisa membedakan mana kopi robusta mana arabica.
Sedetik sebelum ia merapatkan bibirnya ke mulut gelas, terasa seseorang menepuk pundaknya.
“Maaf, Mas, sepertinya pesanan kita tertukar!” sergah seorang wanita. Ia menggunakan blus hitam dan rambut tergerai sebahu.
Pria itu bingung.
“Mas pesennya Ekspresso kan?” lanjut wanita itu.
“Benar, memangnya ini apa?” Si pria menatap cangkirnya bingung.
“Itu Americcano, Mas. Barangkali wraiters salah memberi pesanan,” kata wanita itu sambil tergelak. Lalu mengacungkan jempol untuk memberi kode pada wraiters bahwa kesalahpahaman dapat mereka atasi.
“Saya tak begitu mengerti mengenai kopi.”
“Kalau gitu, kita tukeran kopinya aja, Mas. Saya Diandra!” Wanita itu mengulurkan tangan kemudian disambut genggaman si pria yang memperkenalkan namanya.
Semenjak hari itu terjalin sebuah chemistry yang erat antara keduanya. Satu sama lain berusaha menyempatkan diri datang ke kafe hanya untuk sekadar berbincang tentang hobi, pekerjaan atau melepas penat.
Merekapun telah memiliki tempat favorit dalam tiap kunjungan ke kafe, yakni di meja paling pojok yang menghadap langsung ke jendela. Dari jendela tampil pemandangan hiruk pikuk kota.
Beruntung keduanya memiliki minat yang sama dalam hal seni sehingga sangat mudah dekat dan nyaman. Setidaknya sepekan dua kali mereka datang dan duduk di sana. Rabu dan Sabtu adalah kunjungan rutin mereka berdua.
Kehidupan berjalan semestinya. Si pria tampak tak mempermasalahkan Diandra masuk dan membangun tempat baru di hatinya. Apakah ia memiliki rasa? Ia masih belum mengerti. Yang pasti dia tak keberatan jika Diandra tahu mengenai asal usulnya. Misalnya tentang problematika keluarganya dimana ia harus tinggal berdua dengan ayahnya, tak lama setelah orang tuanya bercerai. Hal itu ia rasakan sejak kecil hingga membuat trauma yang membuatnya takut untuk kehilangan orang-orang berharga dalam hidupnya.
Entah Diandra mengerti atau tidak, barangkali karena datang dari keluarga yang lengkap dan sempurna membuatnya tak bisa merasakan empati. Diandra bercerita kalau ayahnya adalah seorang pelukis dan kakaknya adalah seniman jalanan, darah seni mengalir dalam gennya. Sungguh sangat cocok jika mau disandingkan dengan si pria yang ayahnya adalah kolektor seni.
Hingga setahun setelah mereka berkenalan si pria berinisiatif untuk mengajak berkunjung kerumahnya. Hanya kunjungan biasa. Sekaligus mengenalkan Diandra pada ayahnya. Namun langkah ini adalah kesalahan terbesarnya.
Pada mulanya ketika memasuki rumah si pria, Diandra dibuat takjub dengan selera arsitektur rumah itu. Rumah besar itu tak kurang dari separuh hektar. Nampak glamour dengan perabot dan furnitur klasik di dalamnya.
Diandra terpaku memandangi lukisan di muka dinding. Tampak dingin dan tajam. Sementara si pria memandang Diandra dengan tatapan tak biasa. Waktu memporak-porandakan semua. Sudah semenjak beberapa bulan ini jantungnya seperti habis diajak marathon keliling Jogja tatkala melihat Diandra. Diandra menjadi sumber dari segala debarnya. Pandangannya tak bisa dia alihkan pada selain Diandra.
Ia bahkan mencuri waktu di sela kesibukan di luar jadwal rutin kunjungan ke kafe hanya demi bertemu dengan Diandra. Malam-malamnya kini menjelma puisi yang begitu indah. Begitu pula kehidupannya sebagai budak korporat di kantor terasa lebih ringan juga menyenangkan. Yup, lagi lagi karena cinta.
“Siapa gadis manis ini?” Suara berat itu datang dari tangga. Suara pria paruh baya dengan badan tegap dan rahang simetris yang kemudian mendekati mereka berdua. Ayah si pria.
“Saya Diandra, Om.” Gadis itu malu-malu.
“Pacar atau teman?” tembak ayah si pria.
“Hanya teman,” jawab Diandra, lalu dibalas dengan tatapan sang ayah yang sulit diartikan.
“Diandra senang dengan lukisan? Mau saya ajak berkeliling lihat-lihat?”
Diandra mengangguk membuntuti sang ayah yang telah melangkah menyusuri ruang tengah, meninggalkan si pria sendirian.
——
“Tunggu-, kejadian itu pemicunya atau ada bagian lain yang belum kauceritakan?” Ted, si kucing persia bertanya.
“Itu pemicunya. Semenjak hari aku mengajaknya ke rumahku si jalang itu terus menempel ke ayahku. Bahkan menjalin hubungan dengannya. Dia tahu saja kalau ayahku meninggalkan warisan yang cukup banyak. Ditambah lagi ia direktur perusahaan besar. Dasar wanita matre!”
“Kau tak pernah bicara benar-benar dengan ayahmu?” Ted menyelidik lagi.
“Buat apa? Sekarang semua telah terlambat. Sepekan lagi mereka akan menikah. Dan aku akan terus tersiksa karena selalu bersamanya, bukan sebagai seorang kekasih. Namun sebagai orang tua dan anak!”
Kali ini si pri pria benar-benar telah menuangkan sianida ke dalam Americcano. Ia mengaduknya selagi masih hangat.
“Kau benar-benar sudah gila!”
“Kau pikir berbicara dengan seekor kucing sepertimu adalah hal yang waras?”
Di tengah percakapan, ponsel pria itu berdering. Terpampang nama Diandra di sana.
“Ah, sialan!” umpat si pria.
Ia tahu Diandra pasti mencarinya. Sudah lebih dari sepekan ia tak pulang ke rumah. Ia tak menghiraukan panggilan tersebut. Tangannya bergetar memegangi cangkir. Ingin segera menenggaknya dan mengakhiri huru-hara ini.
Tepat saat mulut cangkir hampir menyentuh bibir, seseorang menepuk pundaknya. Seorang wanita dengaan sweater hijau dan rok warna senada. Wajahnya tirus dan bersih namun ada tahi lalat sangat kecil di bawah matanya.Rambutnya dibiarkan tergerai.
Tangan pria itu merosot dan hampir menumpahkan minumannya. Jantungnya serasa dipompa lebih kencang. Ia menatap wanita itu tanpa berkata-kata. Semua musik harmonis berkelebat mendramatisir momentum ini. Segala ibarat dan frasa yang muncul dalam pikirannya hanya bermuara pada satu kata: indah.
“Mas, sepertinya minuman kita tertukar. Mas pesan americcano kan? Ini punya, Mas. Kalau ini ekspresso saya,” kutur wanita itu lembut, seraya cekatan menukar cangkir mereka.
Si pria tampak termangu beberapa detik dan menyadari kelengahannya. Ia ingin bersuara namun kelu. Terlambat. Wanita itu menenggak minuman yang harusnya ia minum.
“Duh, matek aku!” kata si pria. [T]
- BACAcerpen laindi tatkala.co