PERIBAHASA “Adat Dunia Balas Berbalas, Adat Hidup Tolong Menolong” seolah menjadi cermin yang memantulkan kompleksitas hubungan internasional saat ini. Konsep ini mewakili interaksi antar negara yang kerap kali dilatari oleh prinsip timbal balik, baik dalam bentuk kerjasama maupun konfrontasi.
Dalam arena geopolitik global, kita mendapati bagaimana prinsip “balas berbalas” menjadi pola dominan, terutama dalam situasi konflik atau persaingan. Meski demikian, “tolong menolong” tetap penting dalam diplomasi dan upaya menjaga stabilitas global. Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai kasus, mulai dari krisis Rusia-Ukraina hingga ketegangan di Laut China Selatan, menunjukkan bahwa kearifan lokal ini memiliki resonansi universal dalam hubungan internasional.
Konsep “balas berbalas” dalam hubungan internasional seringkali dipahami melalui lensa teori Realisme, yang menekankan pada kepentingan nasional dan keseimbangan kekuatan. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa negara akan merespons tindakan negara lain dengan cara yang setara atau lebih keras untuk mempertahankan posisi dan kepentingannya.
Teori Permainan (Game Theory) dalam hubungan internasional juga menjelaskan bagaimana negara-negara berinteraksi dalam situasi yang membutuhkan strategi. Hasil akhirnya bergantung pada tindakan semua pihak yang terlibat.
Manifestasi ‘Balas Berbalas’
Perang Rusia-Ukraina merupakan contoh kontemporer yang jelas dari dinamika “balas berbalas”. Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 memicu respons keras dari komunitas internasional, terutama negara-negara Barat. Sebagai balasan atas tindakan Rusia, Amerika Serikat dan sekutunya memberlakukan serangkaian sanksi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sanksi-sanksi ini mencakup pembekuan aset, larangan transaksi dengan bank-bank Rusia utama, dan pembatasan ekspor teknologi.
Data dari DetikNews (03/2024) menunjukkan bahwa hingga Maret 2024, lebih dari 16.500 sanksi telah dijatuhkan terhadap Rusia, menjadikannya negara paling banyak terkena sanksi di dunia. Sebagai respons, Rusia membalas dengan membatasi ekspor gas ke Eropa dan meningkatkan kerjasama ekonomi dengan negara-negara seperti China dan India, mengilustrasikan bagaimana pola “balas berbalas” dapat mengubah lanskap geopolitik global.
Sementara itu, ketegangan di Laut China Selatan menyajikan contoh lain dari dinamika “balas berbalas” yang lebih kompleks dan multi-aktor. Klaim tumpang tindih atas wilayah maritim antara China dan beberapa negara Asia Tenggara telah menciptakan siklus aksi-reaksi yang terus-menerus. China, bahkan, telah membangun dan memilitarisasi pulau-pulau buatan di wilayah yang disengketakan.
Laporan Asia Maritime Transparency Initiative menunjukkan bahwa China telah membangun fasilitas militer (termasuk lapangan udara dan pos terdepan lainnya) setidaknya di tujuh fitur di Kepulauan Spratly. Sebagai respons, Amerika Serikat dan sekutunya telah meningkatkan operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations, FONOP) di wilayah tersebut yang menggambarkan eskalasi “balas berbalas” dalam bentuk demonstrasi kekuatan militer.
Perbandingan kedua kasus ini mengungkapkan pola “balas berbalas” yang berbeda namun saling terkait dalam dinamika geopolitik global. Di Ukraina, kita melihat konfrontasi langsung yang melibatkan tindakan militer dan sanksi ekonomi, sementara di Laut China Selatan, konflik lebih banyak bermanifestasi dalam bentuk postur militer dan klaim teritorial.
Namun, kedua kasus ini sama-sama menunjukkan bagaimana prinsip “balas berbalas” dapat mengakibatkan eskalasi ketegangan dan mempersulit resolusi konflik. Analisis dari International Crisis Group menunjukkan bahwa dalam kedua kasus, siklus aksi-reaksi telah menciptakan lingkungan yang semakin tidak stabil dan meningkatkan risiko konflik yang lebih luas.
Mencari Keseimbangan
Meski “balas berbalas” sering dominan, “tolong menolong” tetap berperan dalam menjaga stabilitas global. Pada krisis Ukraina, PBB terus mengupayakan resolusi damai, dengan dukungan mayoritas negara anggota mengecam invasi Rusia. Di Laut China Selatan, ASEAN berusaha menjadi mediator melalui negosiasi Code of Conduct. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa dalam konflik, komunitas internasional masih berupaya menerapkan prinsip “tolong menolong” untuk kepentingan bersama.
Dinamika “balas berbalas” dan “tolong menolong” dalam konflik-konflik ini memiliki implikasi signifikan bagi tatanan dunia. Kita menyaksikan pergeseran keseimbangan kekuatan global, dengan munculnya blok-blok baru dan realignment strategis. Sebagai contoh, laporan dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan peningkatan signifikan dalam pengeluaran militer global, mencapai USD 2,24 triliun pada 2022, dengan AS, China, dan Rusia sebagai tiga negara teratas.
Tren ini mengindikasikan bahwa prinsip “balas berbalas” sedang mendorong perlombaan senjata baru. Di sisi lain, krisis-krisis ini juga telah menguji efektivitas institusi multilateral seperti PBB dan ASEAN, menunjukkan perlunya reformasi dan penguatan mekanisme kerjasama internasional untuk lebih efektif dalam menangani konflik modern.
Refleksi atas relevansi peribahasa “Adat Dunia Balas Berbalas, Adat Hidup Tolong Menolong” dalam konteks geopolitik modern mengungkapkan baik kekuatan maupun keterbatasannya. Di satu sisi, peribahasa ini dengan akurat menangkap esensi interaksi antar negara yang sering didasari oleh prinsip timbal balik. Namun, penerapan yang terlalu kaku dari prinsip “balas berbalas” dapat mengakibatkan eskalasi konflik yang berbahaya.
Sebuah studi dari Harvard Belfer Center menunjukkan bahwa dalam 31% kasus krisis internasional sejak 1918 terjadi karena salah perhitungan atau reaksi berlebihan terhadap tindakan pihak lawan. Ini menunjukkan perlunya keseimbangan yang lebih baik antara “balas berbalas” dan “tolong menolong” dalam diplomasi modern.
Oleh sebab itu, kompleksitas geopolitik saat ini menuntut penerapan prinsip “balas berbalas” dan “tolong menolong” secara lebih bijak. Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang tindakan mereka dan mencari peluang kerjasama bahkan saat konflik.
Bagi akademisi dan peneliti, ada kebutuhan untuk mengembangkan kerangka teoretis yang lebih komprehensif yang dapat menjelaskan interaksi kompleks antara kompetisi dan kerjasama dalam hubungan internasional. Sementara itu, masyarakat umum perlu memahami bahwa dinamika global tidak selalu hitam-putih; solusi konflik sering membutuhkan keseimbangan antara ketegasan dan kompromi. [T]
Baca artikel lain dari penulis ELPENI FITRAH