PESTA Kesenian Bali (PKB) XLVI Tahun 2024 telah berakhir. Ada banyak momen dan kenangan manis yang terciptakan, juga berbagai cerita yang tak terlupakan.
Para seniman kembali ke kabupatennya masing-masing sambil mengurus Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ). Para penikmat seni mencari acara-acara lain agar mereka tetap bisa menikmati keindahan dan kekayaan budaya Bali.
Namun, di antara semua penampilan yang memukau, ada satu hal yang menarik untuk diceritakan, yakni tentang penampilan sekaa gong kebyar dari Yayasan Lilanjani Kerta Bumi, di atas panggung yang basah sehabis diguyur hujan seharian.
Yayasan Lilanjani Kerta Bumi, Banjar Belumbang Kaja, Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan tampil sebagai duta Kabupaten Tabanan pada Parade Gong Kebyar Dewasa.
Penampilan Yayasan Lilanjani Kerta Bumi di PKB XLVI Tahun 2024 di atas karpet yang masih basah | Foto: Tim Dokumentasi GKD Tabanan 2024
Mereka tampil pada 3 Juli 2024 pada pukul 19.00 WITA. Mereka tampil bersama alias mebarung dengan gong kebyar duta dari Kabupaten Jembrana, yakni Paguyuban Seniman Muda (PSM) Jembrana, Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo.
Pada malam 3 Juli itu, di waktu mereka seharusnya sudah menabuh dan menari di Panggung Terbuka Ardha Chandra, Taman Budaya Provinsi Bali, hujan masih turun tipis-tipis dari atas langit.
Karena hujan, penampilan mereka harus ditunda untuk sementara waktu. Syukurlah, setelah kurang lebih sejam menanti, hujan benar-benar reda. Mereka pun akhirnya naik ke atas panggung dan menyajikan penampilan terbaik yang sudah mereka persiapkan.
Namun apa daya. Hujan memang sudah reda. Namun panggung masih basah. Tempat duduk penabuh juga masih basah. Namun, begitu penampilan mereka tetap memukau.
Usai pentas, muncul cerita-cerita menggelikan dari mereka. Tentu saja cerita tentang panggung yang basah, rasa kedinginan, dan lain-lain, tapi mereka harus tetap tampil sempurna. Ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi saat itu.
Itulah yang diceritakan oleh I Gede Putu Resky Gita Adi Pratista, S.Sn., M.Sn, komposer sekaligus pimpinan produksi pementasan dari Yayasan Lilanjani Kerta Bumi. Di hari mereka pentas, hujan yang turun sdari pagi menjadikan pangggung tempat pementasan menjadi seperti genangan air. Meskipun akhirnya hujan berhenti, tak langsung menjadikan panggung kering.
Para panitia dan stage crew sudah melakukan hal yang terbaik untuk menghilangkan genangan air, termasuk menguras air yang menyerap masuk ke dalam karpet merah yang menutupi keseluruhan panggung. Sayangnya, panggung tetap basah dan licin. Para penampil tidak punya pilihan lain selain tetap melanjutkan pementasan.
Panggung yang basah itu kemudian menghadirkan tantangan-tantangan baru, baik bagi penabuh dan penari. Panggung yang basah bukanlah panggung dengan kondisi ideal. Menabuh di atas panggung yang basah berdampak signifikan terhadap ketahanan fisik para penabuh. Ketahanan fisik benar-benar diuji malam itu.
Duduk bersila di atas panggung yang basah dan dingin bukan tidak mungkin membuat mereka menggigil. Air yang semula meresap di atas karpet seketika berpindah tempat, meresap ke dalam kostum, seperti kamen dan saput yang mereka kenakan saat itu. Bahkan, ada juga yang meresap sampai ke dalam-dalamnya, membuat bawahan atau pakaian dalam mereka terasa seperti terendam air.
Para penari mengangkat kamen yang basah saat pementasan tari kekebyaran “Raga Sidhi” | Foto: Tim Dokumentasi GKD Tabanan 2024
Usai pentas terdengar komentar bernada jenaka dari penabuh: “Sekaa gong butuh kembang!” Artinya, kelompok penabuh dengan (maaf) alat kelamin yang pucat.
Tentu saja komentar itu hanya guyonan. Namun, bisa dimaklumi, karena duduk di karpet yang basah, maka pakaian dalam mereka ikut basah, sehingga “barang berharga” mereka juga ikut kedinginan.
Kondisi itu diakui membuat mereka merasa tidak nyaman, namun bagaimana pun mereka harus tetap menjaga fokus dan ritme permainan di atas panggung. Dalam kondisi seperti itu, mereka jadi rentan masuk angin, terlebih mereka tampil di panggung terbuka.
Kelelahan dan kedinginan bisa menurunkan kondisi fisik kapan saja. Tantangan-tantangan yang mereka hadapi di atas panggung itu membuat fisik mereka harus bekerja lebih keras dibanding persiapan yang mereka jalani.
“Ditambah lagi intrumen yang dimainkan pasti terganggu kualitas bunyinya, karena memang tidak ada gamelan yang didesain untuk dimaikan saat turun hujan,” ujar Resky.
Menurutnya, para penari juga menghadapi tantangan yang sama. Selain daya tahan tubuh yang harus benar-benar dijaga dengan baik, mereka juga harus menyesuaikan diri dengan cepat terhadap kondisi panggung yang basah. Meski sudah beralaskan karpet, tidak menuutp kemungkinan panggung tidak terasa licin. Mereka harus hati-hati dalam setiap gerakan agar tidak terpeleset atau terjatuh, namun tetap terlihat anggun dan eskresif.
Di samping itu, gerak mereka juga terganggu karena bobot kostum mereka bertambah berat akibat air yang menyerap ke dalam kain.
Hal tersebut terlihat jelas saat penampilan tari Kekebyaran “Raga Sidhi” dipentaskan. Terlihat jelas air meresap ke dalam area bawah kamen yang dikenakan oleh para penari, menjadikan area kamen yang basah berwarna lebih gelap dari warna aslinya.
Fragmentari “Jayaning Singasana” dari Yayasan lilanjani Kerta Bumi | Foto: Tim Dokumentasi GKD Tabanan 2024
Selain ketahanan fisik, ketahanan mental juga diuji malam itu. Panggung yang basah menciptakan kekhawatiran akan kemungkinan tergelincir atau jatuh terpleset. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat, dan setiap gerakan harus dilakukan dengan eskra hati-hati.
Begitu pula dengan para penabuh, ketahanan mental datang dari keharusan tetap berkonsentrasi penuh meskipun kondisi panggung tidak mendukung. Mereka harus menjaga irama dan harmoni, memastikan setiap tabuhan tetap presisi meski merasa kedinginan dan tidak nyaman. Mereka harus tetap tenang dan tidak membiarkan rasa lelah dan dingin membuyarkan fokus dan mengacaukan pementasan mereka.
Resky menceritakan, selama masa persiapan untuk Pesta Kesenian Bali XLVI Tahun 2024, para penabuh dan penari dari Yayasan Lilanjani Kerta Bumi menjalani latihan intensif untuk memastikan setiap gerakan dan tabuhan gamelan mereka sempurna. Namun satu hal yang tidak pernah mereka persiapkan adalah kemungkinan harus tampil di atas panggung yang basah akibat hujan.
Meskipun mereka telah berlatih keras berminggu-minggu dan berbulan-bulan, cuaca yang tak terduga memberikan tantangan tambahan yang benar-benar menguji penampilan mereka.
“Dan selama latihan, tidak ada proses mempersiapkan diri untuk tim ketika cuaca hujan. Jadi mreka dituntut untuk tetap tampil maksimal, sesuai persiapan karya, walau ada agenda tambahan yang tidak terduga, yakni genangan air,” kata Resky.
Meskipun tantangan genangan air dan panggung yang basah tidak pernah ada dalam skenario latihan mereka, para seniman muda dari Yayasan Lilanjani Kerta Bumi tersebut mampu tampil dengan sangat memukau. Mereka menunjukan bahwa persiapan yang matang dan semangat yang tinggi mampu mengatasi rintangan dan tantangan yang mereka hadapi.
Mereka tampil dengan maksimal meski ada faktor tambahan yang tak terduga, tidak serta merta membuat mereka gentar.
Para seniman dari Yayasan Lilanjani Kerta Bumi, Banjar Belumbang Kaja, Desa Belumbang, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, adalah salah satu contoh seniman Bali yang memiliki dedikasi dan semangat yang tinggi dalam berkesenian. Mereka memberikan penampilan yang tetap indah dan mengesankan di tengah kondisi yang tak terduga.
Fragmentari “Jayaning Singasana” dari Yayasan lilanjani Kerta Bumi | Foto: Tim Dokumentasi GKD Tabanan 2024
Secara keseluruhan pementasan Gong Kebyar Dewasa Yayasan Lilanjani Kerta Bumi berjalan dengan lancar. Barangkali penonton tidak tahu apa-apa saja yang mereka hadapi di atas panggung, termasuk menghadapi basahnya pakaian dalam mereka. Mereka tampil dengan sangat mengagumkan.
Seniman-seniman muda dari Tabanan itu menampilkan tabuh kreasi pepanggulan bertajuk “Sunar Genjong”, lalu tabuh kreasi kekebyaran dengan judul “Raga Sidhi” dan terakhir menampilkan Fragmentari “Jayaning Singasana” yang mengundang tepuk tangan meriah dari ribuan penonton.
Tabuh “Sunar Genjong” terdengar menarik karena dibuat untuk membaca dan memaknai kembali proses kreatif yang ada dalam dunia musik tradisional Bali, khususnya dalam memainkan intrumen gamelan, sekaligus menjadi penghormatan bagi setiap insan kreatif yang terus menerangi langkah dan melanjutkan kreativitas pada gamelan Bali, dari dulu hingga sekarang.
Fragmentari “Jayaning Singasana” dari Yayasan lilanjani Kerta Bumi | Foto: Tim Dokumentasi GKD Tabanan 2024
Sementara itu, Tari Kreasi Kekebyaran “Raga Sidhi” sukse menyajikan sisi feminin dan maskulin dalam tari Bali, pun mempresentasikan kemerdekaan dalam berkesenian. Para penari juga meminjam elemen-elemen tari yang diciptakan oleh I Ketut Marya dengan laku jongkoknya yang sangat fenomenal.
Fragmentari “Jayaning Singasana” juga tak kalah memikat. Mereka menyajikan sebuah karya yang menggambarkan sejarah tentang Sri Sri Magada Nata yang mimindahkan pusat pemerintahan dari Puri Pucangan ke wilayah Tabanan. Puri yang baru itu kemudian diberi nama Puri Agung Tabanan dengan kotanya yang disebut Kota Singasana. [T]
Reporter: Julio Saputra
Penulis: Julio Saputra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel tentangGONG KEBYARdan artikel lain dari penulisJULIO SAPUTRA