PRAMONO masih melanjutkan tugasnya sebagai kepala Pol PP, menggantikan seniornya, Samuji yang dicopot akibat ulahnya sendiri yang bejat. Dia kini jauh lebih tegas dan jauh lebih alim daripada awal bulan puasa. Semua telah dia lakukan untuk mencapai tingkat manusia setengah dewa. Selama sebulan penuh dia meluangkan waktunya di sela-sela bertugas dengan mengkhatamkan Al Quran 5-6 juz tiap bakda salat wajib. Kadang dia mengkhatamkan Al Quran 3 juz setelah salat Zhuhur maupun Ashar. Kalau biasanya dia tidak salat Dhuha, maka menjelang hari raya dia tampak rajin salat Dhuha dan salat-salat sunah lainnya. Dan yang jauh lebih mengagumkan dia kini telah memberanikan diri maju sebagai imam salat, memimpin para anggotanya. Tapi, yang membuat para anggotanya sungkan dan menundukkan kepalanya jika berpapasan dengan Pramono adalah saat lelaki itu memberikan tausiah singkat setelah melaksanakan salat.
“Wahai Saudaraku, sesungguhnya waktu yang kita miliki di dunia ini amat singkat. Sungguh sia-sia sekali jika waktu yang kita miliki ini bila diisi dengan hal-hal yang sama sekali tak berguna. Begitu juga selama kita melaksanakan ibadah puasa di bulan puasa ini, sungguh perbuatan sia-sia bila yang ada di dalam hati dan pikiran kita hanya perbuatan yang justru membuat kita semakin kotor dan berdosa,” kata Pramono ketika memberikan tausiah. “Jadi, marilah, Saudaraku. Mumpung kita masih diberikan kesempatan untuk bersua dengan bulan puasa, maka kita isi bulan suci ini dengan perbuatan-perbuatan yang mulia. Jangan membenci sesama, jangan mendengki, jangan mengghibah, jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan mengganggu orang-orang yang tengah berpuasa. Tingkatkan pula ketakwaan dan keimanan kita.”
Mendengar pesan-pesan indah yang menyentuh jiwa dari komandannya, para anggota yang menjadi makmum menetestkan air mata.
Begitu pun ketika diadakan apel pagi itu, semua anggota yang berbaris di lapangan tampak khusyuk dan berdiri tegap. Misalkan seperti pagi itu. Kurang dua minggu lagi lebaran akan tiba. Aroma bulan puasa tinggal sisanya saja. Apalagi aroma wangi itu kini bercampur dengan aroma busuk neraka yang diembuskan oleh manusia-manusia yang tak berakal budi. Meski mereka telah dilarang untuk makan di muka umum, namun mereka tetap saja membandel. Banyak warung makan yang buka secara terang-terangan. Sudah jarang orangtua yang melarang anaknya untuk tidak minum di depan orang yang sedang berpuasa. Menandakan sudah semakin menipisnya ketakwaan dan keimanan pada Tuhan. Ajaran Nabi Muhammad cuman tinggal dongeng belaka.
“Pada apel pagi ini, sekali lagi saya tekankan bahwa tugas kita tidak hanya menertibkan para pedagang kaki lima yang tetap membandel berjualan di atas trotoar jalan utama kota dan partisipan partai yang memaku banner partainya di pohon-pohon kota yang merusak keindahan kota, tapi lebih dari itu,” kata Pramono dengan mendekatkan mulutnya dekat mik. “Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, selama hampir sebulan ini tidak sedikit di antara kita yang telah menyaksikan umat Islam banyak yang tidak berpuasa. Saya kurang tahu apa penyebab mereka tidak puasa. Mungkin mereka sudah jenuh kali. Banyak warung-warung makan yang terang-terangan berjualan di siang bolong. Maka, pagi ini juga saya instruksikan kepada kalian untuk melakukan operasi.”
Seluruh anggotanya mendengarkan dengan saksama apa yang diperintahkan oleh komandan yang sangat mereka hormati.
“Selain itu, selama hampir sebulan ini saya banyak mendapatkan keluhan dari masyarakat bahwa di daerah Tretes masih banyak PSK yang beroperasi menjajakan goa hantunya. Kita telah benar-benar kecolongan. Jadi sekarang, mari kita ciptakan suasana yang bersih dan kondusif dari para wanita penyandang tuna susila ini.”
Maka, dalam kondisi berpuasa, para anggota Pol PP di bawah komando Pramono bergegas menyisiri setiap sudut kota. Sasarannya adalah warung-warung makan yang masih nekat buka, para tukang becak yang nekat merokok di siang bolong, dan pekerja dinas kebersihan yang tidak berpuasa. Mereka akan digelandang ke markas Pol PP jika ada yang ketahuan tidak berpuasa.
Setelah berpatroli di tengah kota, mereka meluncur ke Tretes yang selama ini menjadi tempat para PSK menjajakan lekuk tubuhnya. Walhasil dari operasi mendadak itu mereka sukses menangkap lima wanita PSK yang semuanya masih duduk di bangku SMA dan kuliah.
“Siapa nama kamu?” tanya Pramono saat menggelandang seorang gadis PSK menuju mobil truk.
“Melati, Pak.”
“Sekarang umurmu berapa?”
“19 tahun.”
“Masih kuliah?”
“Saya sudah drop out sejak kelas 2 Madrasah Aliyah, Pak.”
“Kenapa? Sering bolos?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Saya diperkosa sama kepala sekolah saya. Dia seorang kiai. Saya dipaksanya agar mau dijebolnya dengan iming-iming sekolah gratis. Akhirnya saya hamil dan kiai bejat itu tidak bertanggung jawab. Parahnya dia malah menuduh ayah saya hanya ingin memerasnya. Putus asa, akhirnya saya terjun ke pekerjaan ini,” jelas gadis itu.
Pramono merasa kasihan kepada gadis itu. Tak jarang mata gundunya selalu melihat ke arah dua gunung yang menonjol di balik kemeja putih transparan gadis itu.
“Kamu boleh beroperasi di wisma ini dengan catatan jangan sampai ketahuan anggota. Oh, iya. Apakah kamu bisa ….” Pramono membisikkan sesuatu di telinga gadis cantik itu.
“Berapa ronde?”
****
Tak terasa sudah tinggal dua hari lagi lebaran akan tiba. Malam itu, Pramono mengajak anak dan istrinya berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di kota kecil kami. Mereka membeli barang-barang keperluan dalam merayakan lebaran nanti. Kedua anak Pramono minta dibelikan baju lebaran. Istrinya minta dibelikan gamis mahal yang pernah diperagakan oleh salah satu model Ibu Kota. Pramono juga tak mau kalah. Dia berhasil membeli kemeja, jaket jins dan celana jins yang diperagakan oleh model di dalam banner depan toko. Setelah membeli pakaian, mereka memborong kue-kue, dan minuman sirup,
Rencananya pula lebaran tahun ini Pramono akan mengajak keluarganya mudik ke kota kelahiran istrinya. Sudah tiga tahun sejak Covid 19 melanda, dia tidak menjenguk orangtua dan keluarga istrinya.
“Sudah lama kita tidak mudik ke rumah bapak, Ma,” kata Pramono ketika mereka hendak membeli parsel lebaran.
“Apakah ayah tidak halal bi halal ke rumah keluarga ayah dulu sebelum kita mudik ke kota kelahiran Mama?”
“Ah, buat apa kita halal bi halal ke rumah mereka?”
“Kan mereka keluarga Ayah juga?”
“Keluarga sih keluarga. Tapi mereka akan menganggap ayah sebagai keponakan, sepupu, anak dan om jika mereka ada maunya. Kamu tahu sendiri kan bagaima kelakuan abang sepupuku? Apakah kamu masih belum kapok dipermalukan begitu? Aku sih bukan dendam atau tidak mau mencari saudara, namun mereka tidak menganggap aku sebagai saudaranya. Buat apa?”
Istrinya Pramono tahu apa penyebab suaminya itu tidak mau bersilaturrahmi ke rumah saudaranya.
“Sudahlah. Jangan membahas mereka lagi. Bosan. Mending kita pikirkan rencana mudik kita lusa.”
Pramono ringan tangan mengeluarkan uang gajiannya dari menjadi Kepala Pol PP untuk membelikan keluarga istrinya parsel lebaran. Sebab dia tahu persis bahwa betapa tak beruntungnya nasibnya sebelum ditakdirkan bekerja di Satpol PP.
Dulu, Pramono ingin sekali menjadi anggota polisi. Dengan tinggi tubuh yang sesuai dengan kriteria kepolisian dia sudah seharusnya mengenakan seragam perwira dengan lambang melati di pundak. Sayang, pria itu harus memadamkan cita-citanya ketika ayahnya harus mengakhiri hidupnya di atas rel kereta api. Gara-garanya adalah dua orang berjaket hitam datang untuk menagih utang kepada ayahnya. Padahal yang mengutang pada rentenir bukanlah ayahnya melainkan sepupu ayahnya yang saat itu sedang membutuhkan duit buat membayar angsuran rumah.
Ayahnya begitu mudah meminjami sepupunya itu surat akta tanah sebagai jaminan utang. Tapi sejak bulan itu sepupu ayahnya itu tidak mencicil utangnya. Lebih parahnya lagi, sepupu ayahnya memakai nama ayah Pramono sebagai peminjam sehingga debt collector menagih padanya. Karena tak mampu membayar, akhirnya surat akta tanah diambil oleh rentenir dan Pram sekeluarga diusir dari rumah mereka sendiri. Sampai detik ini Pram masih dendam dengan sepupu ayahnya itu. Atas saran dari ibunya, Pramono akhirnya mendaftar sebagai anggota Pol PP. Di sana dia menunjukkan bakat kepemimpinannya. Mungkin karena depresi berat, dua bulan setelah Pram diterima kerja, ayahnya bunuh diri.
“Sampai kapanpun aku tidak akan mengakui mereka sebagai keluarga. Sebab gara-gara mereka aku urung jadi bintara polisi.”
“Oh, iya, Yah. Besok kan malam terakhir buka puasa. Apakah Ayah bisa bukber dengan anak-anak di rumah?”
“Kayaknya Ayah bukber dengan anak buah di kantor, Ma.”
“Baiklah kalau Ayah bukber sama anggota.”
****
Sebelum Magrib, Pramono telah berangkat. Dia mengenakan jaket kulit dan pakaian necis. Tidak lupa telah menyemprot pakaiannya dengan parfum. Kepada istrinya, Pramono bilang akan bukber di salah satu kafe. Tanpa curiga istrinya merelakan kepergian suaminya.
Tapi, Pramono tidak pergi ke kafe seperti yang dikatakan kepada istrinya. Dia mengarahkan motornya ke daerah Tretes. Sampai di lokasi dekat wisma dia menghubungi seseorang.
“Aku sudah sampai di depan wisma.”
“Bapak masuk saja langsung ke wisma. Saya sudah menyewa kamar.”
“Kamarmu nomor berapa?”
“Sepuluh.”
Pramono pun pergi ke kamar itu. Di depan kamar dia mengetuk pintu. Lalu, tampak di depannya gadis bernama Melati dengan pakaian yang berbeda dan, mengundang. Keduanya pun masuk. Lalu, di malam takbiran itu Pramono mengulum bibir gadis itu dengan penuh nafsu. Dan gadis itu membalasnya dengan penuh gairah. Tidak hanya itu saja, pria paro baya itu juga melucuti tali bra gadis itu dengan mulutnya dan mulai menyosor ke benjolan di dadanya. Gunung itu pun memancarkan lava.
Terakhir, kedua setan jalang itu bergumul di atas ranjang. Berkali-kali gadis itu memekik ketika Pramono menghunjamkan keperkasaannya.
Di dunia ini, tidak seorang pun ahli ibadah yang sempurna dan benar-benar takut kepada Tuhan, setinggi apa pun ilmunya. Sebab yang mereka harapkan dari Tuhan hanyalah pahala dan dosa, surga dan neraka. (*)
Probolinggo, April 2024.
Cerpen ini untukmu yang ada di sini.
- BACAcerpen laindi tatkala.co