GONG kebyar belum dimainkan, tapi panggung sudah menyala. Di belakang panggung, Putu Ardiyasa menyandarkan tubuhnya di tembok, di sebuah sudut agak gelap, dekat dengan ruang rias penari. Mulutnya tak henti-henti mengunyah sesuatu.
“Ini ramuan sirih-pinang, dipadu dengan gambir dan pamor. Ini khusus dibuat ibu saya,” ujarnya.
Sembari tetap mengunyah, ia mengeluarkan sebuah kotak dari kantongnya. Isi kotak itu ternyata obat tolak angin pabrikan merk terkenal. “Saya juga bawa ramuan modern dalam kemasan sachet,” katanya sembari mencoba tertawa, tapi raut ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikan.
Putu Ardiyasa mengakui semua bagian tubuhnya memang terasa tegang, karena pada malam itulah ia untuk pertamakalinya memberanikan diri menjadi dalang fragmentari dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB).
“Ini pengalaman pertama, dan ini harus dilalui dengan baik,” kata Putu Ardiyasa yang akrab dipanggil Ardi itu.
Ardi menyiapkan diri dengan matang, termasuk ramuan tardisional agar suaranya tak hilang. “Jika suara sampai hilang, apalagi tumbang di atas panggung, itu cela tak terlupakan bagi seorang dalang,” ujarnya.
Fragmentari Ngerjasinga yang dipentaskan Sekaa Gong Dharma Pradangga, Desa Tukadmungga, Buleleng, pada parade gong kebyar dewasa PKB 2024 di Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu 22 Juni 2024 | Foto: Dokumentasi Sekaa Gong Dharma Pradangga
Malam itu, Sabtu, 22 Juni 2024, sesuai agenda parade gong kebar dewasa PKB XLVI-2024, bertemu dua sekaa gong kebyar dewasa, duta Gianyar dan duta Buleleng. Dari Gianyar tampil Sekaa Gong Batur Mahaswara, Desa Batuan. Dari Buleleng tampil Sekaa Gong Dharma Pradangga, Desa Tukadmungga. Mereka mebarung, beradu-padu, di panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Bali, Denpasar.
Ardi berperan sebagai dalang untuk fragmentari yang dimainkan Sekaa Gong Dharma Pradangga, Desa Tukadmungga. Ia lahir di Desa Selulung, Kintamani, Bangli. Sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja, ia tinggal di Buleleng.
“Saat ditunjuk jadi dalang, saya ragu. Kemudian saya meyakinkan diri, harus berani,” katanya.
Sesungguhnya Ardi bukanlah dalang kemarin sore, meski usianya baru 31 tahun. Ia belajar mendalang sejak kanak-kanak. Selain belajar secara otodidak, dan punya pengalaman mendalang di desa-desa, ia juga jebolan S1 program Studi Seni Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar tahun 2015, lalu tahun 2017 lulus Program Magister Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta.
Selain terbiasa mendalang untuk wayang kulit, ia mengaku kerap mendalang untuk pementasan fragmentari di Bangli atau di kampus tempatnya mengajar. Sejak kuliah ia memang punya mimpi jadi dalang fragmentari di PKB. Tahun 2024 ini mimpinya terwujud, tapi justru ia tegang, takut mengecewakan penonton.
Rasa cemas, kata Ardi, muncul ketika ia mengingat nama-nama dalang idolanya, seperti Dewa Ngakan Sayang, Ketut Kodi, dan Wayan Bawa. “Saya selalu merasa minder ketika mengingat nama-nama dalang idola saya itu,” katanya.
Namun, di tengah rasa minder itu, ia justru punya niat untuk membuktikan diri pada tokoh-tokoh dalang idolanya itu, bahwa ia bisa mengikuti jejak mereka. Selain berlatih dengan tekun, sejak menyatakan sanggup tampil di PKB, ia juga mengikuti pantangan makan. “Sebulan sebelum pentas, saya tidak minum es, tidak makan gorengan,” katanya.
Seluruh upaya yang dilakukan Ardi ternyata berhasil. Suara dan nyanyian yang ia lantunkan saat mendalang di atas panggung terdengar sempurna. Ia bisa mengantarkan cerita dengan baik, artikulatif, jenaka, dan dramatik. Fragmentari yang ditampilkan sekaa gong dari Desa Tukadmungga itu pun berhasil membuat penonton terpukau.
“Ramuan sirih buatan ibu saya sangat membantu. Itu ramuan ampuh bagi seorang dalang agar tenggorokan bebas dari virus atau apa pun yang membuat suara terganggu atau bisa hilang,” ujar Ardi yang sudah menjadi dalang sejak tahun 2013 itu.
Putu Ardiyasa (pegang mik, sudut kiri bawah) ) saat mendalang Fragmentari Ngerjasinga yang dipentaskan Sekaa Gong Dharma Pradangga, Desa Tukadmungga, Buleleng, pada parade gong kebyar dewasa PKB 2024 di Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu 22 Juni 2024 | Foto: Dokumentasi Sekaa Gong Dharma Pradangga
Fragmentari yang dimainkan di atas panggung itu berjudul “Ngerajasinga”, yakni kisah tentang perjalanan Ki Barak Panji Sakti dari Klungkung ke Denbukit atau Buleleng, yang kemudian menjadi raja besar di wilayah Bali pesisir utara itu.
Menurut Ardi, sesuai dengan tema Jana Kerti pada PKB tahun 2024 ini, fragmentari “Ngerajasinga” menceritakan tentang kemuliaan, harkat dan martabat manusia unggul, yakni Ni Luh Pasek, ibu dari Ki Barak Panji Sakti yang begitu tabah mendampingi anaknya. “Tentu kami juga menampilkan sosok unggul Ki Barak Panji yang berhasil membangun kerajaan besar di Buleleng,” ujarnya.
Ketika fragmentari itu dimulai, para penabuh memberi entakan dengan atraktif, keras, dan dengan tempo yang cepat, lalu sedikit melambat saat suara Ardi sebagai dalang mulai ambil bagian. Lalu cerita bergerak hingga akhirnya mendapatkan tepuk tangan meriah dari penonton.
Selain fragmentari, pada parade gong kebyar dewasa malam itu, sekaa gong duta Buleleng juga membawakan Tabuh Kreasi Pepanggulan Gagak Gora, dan Tari Wiranjaya.
“Saya lega, semua berjalan baik. Debut saya sebagai dalang di PKB bisa sukses,” kata Ardi lega. [T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole