14 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Festival Bedug PHBI Buleleng 2024: Eksperimen Itu Berwujud Alat Musik “Tak Bernama”

Agus Noval RivaldibyAgus Noval Rivaldi
June 17, 2024
inKhas
Festival Bedug PHBI Buleleng 2024: Eksperimen Itu Berwujud Alat Musik “Tak Bernama”

Panggung Festival Bedug PHBI Buleleng 2024 | Foto: Aguk

SUATU ketika saya bangun di siang hari dan bersiap untuk pulang ke kampung halaman—pulang ke kampung halaman kadang kala menjadi hal yang sangat membosankan. Minimnya kegiatan yang bisa saya lakukan di kampung halaman kadang membuat saya uring-uringan untuk melakukan suatu hal, karena mungkin biasa berhadapan dengan tempo pola hidup di ibu kota. Bagi saya, pulang ke kampung halaman hanyalah sebuah waktu untuk istirahat panjang, bersantai dengan teh hangat dan menikmati masakan rumahan.

Kampung saya berada di Kampung Kajanan, Singaraja, bagian pesisir paling utara Pulau Bali dan sangat berdekatan dengan Eks Pelabuhan Buleleng—pelabuhan yang dulunya dikenal terbesar dan menjadi dermaga tunggal di Bali. Pemerintah kolonial Belanda membangun pelabuhan ini dari tahun 1846 hingga 1939, memanfaatkan pantai utara yang strategis.

Suasana penonton di Festival Bedug PHBI Buleleng 2024 di Eks Pelabuhan Buleleng | Foto: Aguk

Dulu, dalam sejarah Bali, Kota Singaraja adalah ibu kota dari Provinsi Nusa Tenggara, itu mungkin sebab Eks Pelabuhan Buleleng menjadi satu-satunya dermaga di Bali. Eks Pelabuhan menjadi pusat perdagangan dan bongkar muat barang kapal pesiar asing dan juga menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Bali melawan penjajah Belanda.

Tapi saya tidak akan membahas sejarah panjang Eks Pelabuhan Buleleng atau Kota Singaraja. Saya menyinggung pelabuhan tua tersebut karena kebetulan saja pada Minggu, 16 Juni 2024, lokasi ini menjadi venue sebuah penyelenggaraan festival. Festival lomba bedug dan gema takbir Idul Adha 1445 H, yang diselenggarakan tiap tahun oleh Panitia Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) Kabupaten Buleleng.

Festival ini diikuti oleh 16 remaja masjid dari seluruh Kabupaten Buleleng, diselenggarakan dari pagi hari kemudian terpilih 8 kandidat finalis yang akan dilombakan kembali pada saat malam takbir hari raya Idul Adha.

Saya yang datang dari perantauan tidak membawa tendensi apa pun ketika mendatangi festival ini, hanya kegiatan rutin yang saya anggap sebagai hal yang datang tiap tahun. Kondisi Eks Pelabuhan malam itu sangat ramai didatangi oleh masyarakat yang antusias untuk menyaksikan lomba ini.

Lomba ini juga dihadiri oleh beberapa wakil dari pemerintahan Kabupaten Buleleng, tapi itu mungkin tidak penting bagi masyarakat karena terlihat beberapa orang lalu-lalang pada tenda-tenda makanan yang ada. Pidatonya juga mungkin sangat membosankan yang terkesan begitu formal pada suasana yang riuh gemuruh malam takbiran. Lupakan.

Dari 8 peserta finalis yang akan tampil saya sangat antusias menyaksikan mereka, mungkin karena ini juga salah satu ajang bergengsi bagi para remaja masjid. Saya tahu betul bagaimana perasaan bangga untuk bisa ikut tampil pada malam final lomba ini, karena dulu saya pernah beberapa kali ikut dan turut menjadi peserta perwakilan salah satu remaja masjid.

Kini lomba itu terus berkembang dari tahun ke tahun, entah dari kepananitiaan atau pun peran artistik seperti panggung, sound system, dan lighting yang membaik.

Beberapa peserta mulai tampil dengan sangat performatif dengan alat seadanya. Karena dari pihak panitia juga membatasi dalam penggunaan alat, peserta tidak dibolehkan menggunakan alat yang memiliki nada harmonis, alat elektronik dan juga alat tradisi. Dan juga pihak dari panitia hanya menyiapkan 4 buah alat musik, berupa bedug. Lomba ini juga dibatasi dari tingkat umur, peserta diwajibkan berumur 14 sampai 22 tahun yang boleh mengikuti lomba dan hanya berjumlah 10 orang.

Beberapa remaja masjid mulai tampil dengan menggunakan alat yang coba dibuat untuk meramaikan aransemen musikal mereka. Beberapa peserta ada yang mengganti perkusi dengan menggunakan kentongan dari bambu.

Seperti yang kita ketahui bahwa bedug dan kentongan adalah alat musik yang dulunya digunakan oleh masyarakat Cina untuk kebutuhan komunikasi saat perang. Berdasarkan legenda Cheng Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke tanah Jawa, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu.

Kemudian, ketika Cheng Ho hendak pergi, ia memberikan hadiah berupa bedug—yang kini tetap digunakan sebagai alat musik tradisional, baik dalam kegiataan keagamaan, ritual, dan politik.

Balik ke topik perlombaan. Saya yang setiap tahun selalu hadir menyaksikan lomba festival bedug ini merasa tidak memiliki harapan lebih terhadap lomba kali ini. Karena dari ke tahun ke tahun juaranya itu-itu saja dan secara musikal terkesan beragam, dengan tempo cepat yang begitu progresif.

Hingga pada satu penampilan peserta yang membuat saya tertegun, yaitu penampilan dari Remaja Masjid Nurul Amin, Kampung Kajanan. Penampilan mereka sangat perfomatif dan menarik membuat seluruh panca indra saya berpusat padanya sebentar.

Mereka tampil dengan beberapa alat musik yang asing tapi tidak juga begitu asing terdengar. Maksud saya, bebunyian itu pernah saya dengar pada alat musik tradisional dan mereka mencoba mewakili dengan cara yang lebih sederhana.

Alat alat musik yang digunakan remaja masjid, peserta Festival Bedug PHBI Buleleng 20224 | Foto: Aguk

Penampilan mereka yang membuat saya terpukau adalah bagaimana mereka berhasil melakukan penggabungan tiga elemen musik yang berbeda dari tiga etnik: Cina, Arab, dan Hindu Bali. Bedug yang menyimbolkan Cina, Arab yang diambil dari bebunyian rebana, dan ceng-ceng yang mewakili bebunyian dari Bali.

Seperti yang saya katakan di awal bahwa panitia membatasi penggunaan alat musik tradisi. Tapi alat musik ceng-ceng membuat menarik perhatian saat mereka perform. Ketika hal itu dibatasi oleh panitia, mereka mencoba mencari alternatif lain untuk menggantikannya. Dan tutup panci berhasil menjadi peran pengganti.

Perasaan kagum membuat saya berangkat ke belakang panggung usai lomba selesai guna untuk melihat-lihat sekaligus bertanya-tanya kepada peserta lomba. Di belakang panggung saya melihat langsung berbagai alat musik para peserta lomba. Ada kentongan dari bambu, krecek, simbal, kemudian beberapa set alat rumah tangga, seperti panci, kaleng bekas, dan ember.

Noval Chumaidi, salah satu pembina peserta lomba dari Masjid Nurul Amin saya temui di belakang panggung untuk wawancara singkat. “Kalau boleh tahu, alat apa saja yang dipakai?” tanya saya.

“Kalau dari kami—Remasna (Remaja Masjid Nurul Amin), ada bedug, rebana, ada ember tiga buah sama alat-alat dapur, tutup panci,” jawabnya.

“Itu terinspirasi dari mana?”

“Karena enggak boleh pakai alat tradisonal, makanya kami mencoba membuat ceng-ceng Bali dari tutup panci. Tutup panci itu kan menyerupai, jadi kami bereksperimen menggunakan itu,” lanjutnya.

“Jadi, sekalian angkat budaya, ya?” tanya saya lagi.

“Iya. Karena dari pinitia enggak dibolehin pakai alat yang isi tangga nada (do, re, mi, fa, so, la, si, dol), jadi kami pakai alat yang ada, kayak alat dapur,” tutur Noval.

***

“Eksperimen” adalah satu kata yang kemudian timbul di pikiran saya. Eksperimen adalah prosedur yang dilakukan untuk mendukung atau menyangkal hipotesis, atau menentukan kemanjuran atau kemungkinan sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya.

Eksperimen memberikan wawasan sebab-akibat dengan menunjukkan hasil apa yang terjadi ketika faktor tertentu dimanipulasi—fafifu wasweswos, ah pusing… Bagi saya, sederhananya adalah sebuah tindakan ujicoba hal lain untuk menggantikan suatu hal yang ada.

Alat alat musik yang digunakan remaja masjid, peserta Festival Bedug PHBI Buleleng 20224 | Foto: Aguk

Tutup panci yang mereka gunakan sebagai pengganti ceng-ceng adalah sebuah eksperimen yang coba mereka lakukan, termasuk juga penggunaan alat rumah tangga seperti ember dan kaleng bekas. Mereka mencoba memaksimalkan hal-hal yang ada untuk melakukan eksplorasi membentuk sebuah aransemen musik.

Dengan keterbatsan tersebut mereka melakukan eksperimentasi bagaimana artistik yang ada dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menghasilkan bunyi yang kompleks dan beragam.

Tindakan ini mungkin mereka lakukan tanpa sadar, tapi bagi saya ini adalah sebuah hal yang cukup menarik. Bagaimana ketika pengalaman saya menyaksikan musisi eksperimental, semacam Senyawa, misalnya. Pertanyaan pertama yang timbul saat itu adalah, “Alat musik apa itu?”.

Dalam hal ini eksperimen yang dilakukan oleh Remasna juga berhasil membuat saya bertanya ketika saya pertama kali menyaksikan Senyawa. Jika misalnya mereka ditanya, serangkaian set alat dapur yang mereka gunakan itu namanya apa? Mungkin mereka akan mencoba menjawab set drum, tapi jika dipertanyakan ulang sejatinya drum juga tidak begitu. Atau juga tutup panci yang mereka gunakan, itu namanya apa?

Berangkat dari pertanyaan itu saya mencoba berpikir sederhana bahwa eksperimen, kata kuncinya adalah eksplorasi. Eksperimen adalah sebuah tindakan penggalian ide mendalam, yang dilakukan untuk menyerupai hal yang ada sebelumnya. Bukan pembaharuan, karena bagi saya tidak ada yang baru di dunia ini. Tapi ini adalah upaya bentuk pengembangan.

Dalam artikel yang saya baca, yang ditulis oleh Rio Tantomo di media Pophariini berjudul “Binatangisme: Fabel Senggama Kuntari”. Rio menuliskan buku Pekak! Skena Eksperimental Noise di Asia Tenggara dan Jepang, penulisnya Indra Menus, noise merupakan penggabungan beragam gaya musik dan praktik inovatif berbasis suara sehingga membuat suara menjadi sebuah elemen yang penting.

Sedangkan komponen musik ekperimental menyatukan musik yang terkadang tidak jelas dan musisi menyajikan komposisi yang tak terduga, baik per bagian maupun keseluruhannya. Membedakan antara noise dan musik eksperimental, masih menurut Menus, mungkin sulit dilakukan karena sebagian besar dari keduanya terdiri dari unsur yang sama, salah satunya eksplorasi. Dan ‘eksplorasi’ buat saya adalah kata yang mesti distabilo, karena ‘tak ada yang tak boleh dilakukan di kancah eksperimental.’ 

Noval Chumaidi, pelatih salah satu dari remaja masjid | Foto: Aguk

Mengingat tulisan itu saya beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Remaja Masjid Nurul Amin adalah sebuah tindakan eksperimental. Meski mungkin sadar atau tidak yang mereka melakukan. Hanya saja mungkin karena koridornya lomba, eksperimentasi itu tidak terjadi lebih luas dan mendalam. Karena terikat oleh koridor lomba yang mengikat waktu dan mengejar hal yang terkesan indah.

Tapi saya cukup sangat merasa senang menyaksikan penampilan mereka, membuat saya sadar bahwa jangan-jangan artistik yang bisa kita gunakan untuk bereksperimen berada di sekitar kita. Tinggal sekarang bagaimana menggunakan kata eksplorasi di dalamnya untuk menemukan kemungkinan lain yang dianggap baru, dan tidak pernah berhenti untuk terus melakukan eksplorasi.

Ah sial, saya jadi teringat Senyawa lagi soal bagaimana wacana mereka ketika mengangkat eksperimen yang mereka lakukan.

Selain itu, juga apa yang dilakukan oleh Remaja Masjid Nurul Amin mengingatkan saya kepada sejarah panjang kejayaan Eks Pelabuhan dan daerah pesisir sekitarnya. Bagaimana kehidupan kenyataan kedekatan budaya antara Cina, Arab, dan Hindu begitu dekat. Itu bisa kita lihat langsung di Eks Pelabuhan Buleleng ini. Adanya pura, kelenteng, dan masjid adalah monumen dari gambaran peradaban yang berjalan di daerah tersebut.

Saya bengong beberapa detik saat usai menyaksikan penampilan dari Remaja Masjid Nurul Amin, saya seperti melihat bahwa musik dapat menembus ruang dan waktu untuk memberikan gambaran bagaimana peradaban terus berjalan mempengaruhi kebudayaan. Dan bahkan musik bisa melepaskan diri dari struktur agama.

Sepertinya saya pun harus dipaksa untuk terus melakukan eksplorasi mendalam soal bagaimana kaitan antara musik dengan kebudayaan di kampung saya. Untuk mencari tahu bagaimana sejarah tercipta.

Kepulangan saya ke kampung kali ini terasa tidak begitu buruk dan membosankan seperti yang saya katakan di paragraf awal tadi. Festival lomba bedug kali ini cukup memberi saya sesuatu.

Tulisan ini saya sudahi dulu sebelum semakin ngarul-ngidul ke sana-ke mari, nanti malah jadi buku. Haha. Waktu sudah siang—waktu yang cocok untuk tidur sambil mendengarkan album Alkisah dari Senyawa.[T]

Editor: Jaswanto

Masjid, dan Kemungkinan Lain di Dalamnya – [Catatan dari Kampung di Singaraja]
Masjid dan Gerakan Masyarakat di Sekelilingnya || Catatan dari Kampung di Singaraja
Hari Ibu di Masjid dan Hal yang Kemudian Kita Renungkan || Catatan dari Kampung di Singaraja
Warung Masjid dan 12.000 Porsi Makan Gratis | Catatan dari Kampung di Singaraja
Tags: Festival BedugFestival Bedug PHBI Buleleng 2024PHBI Buleleng
Previous Post

Pelembagaan dan Pembudayaan Bahasa Bali

Next Post

Workshop Inklusifitas Seni Komunitas Aghumi: Ikhtiar Menumbuhkan Ruang Kesenian bagi Masyarakat Difabel, Autism, dan Rentan

Agus Noval Rivaldi

Agus Noval Rivaldi

Adalah penulis yang suka menulis budaya dan musik dari tahun 2018. Tulisannya bisa dibaca di media seperti: Pop Hari Ini, Jurnal Musik, Tatkala dan Sudut Kantin Project. Beberapa tulisannya juga dimuat dalam bentuk zine dan dipublish oleh beberapa kolektif lokal di Bali.

Next Post
Workshop Inklusifitas Seni Komunitas Aghumi: Ikhtiar Menumbuhkan Ruang Kesenian bagi Masyarakat Difabel, Autism, dan Rentan

Workshop Inklusifitas Seni Komunitas Aghumi: Ikhtiar Menumbuhkan Ruang Kesenian bagi Masyarakat Difabel, Autism, dan Rentan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more

Refleksi Visual Made Sudana

by Hartanto
May 12, 2025
0
Refleksi Visual Made Sudana

JUDUL Segara Gunung karya Made Sudana ini memadukan dua elemen alam yang sangat ikonikal: lautan dan gunung. Dalam tradisi Bali,...

Read more

Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

by Sonhaji Abdullah
May 12, 2025
0
Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

DI Sekolah, fenomena bullying (dalam bahasa Indoneisa biasa ditulis membuli) sudah menjadi ancaman besar bagi dunia kanak-kanak, atau remaja yang...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co