SEBAGAI seorang yang sering menonton film dan mendengar lagu India, pada saat repertoar “Kelangensih” karya Desak Suarti Laksmi—salah satu komposer perempuan senior di Bali—dimainkan di atas panggung Festival Komponis Perempuan Wrdhi Cwaram di Sasana Budaya, Singaraja, saya mendengarkannya dengan khidmat.
Ornamentasi musikal “Kelangensih”, menurut awam saya, secara unison divariasikan dengan permainan vokal/instrumental solo, saling sahut menyahut, dan divariasikan dengan teknik olah vokal yang berbeda dalam frasa dan kalimat lagu yang saling bergelut dalam kesatuan harmoni.
Jika dilihat dari etimologi, kelangensih berasal dari dua kata, yakni kelangen (bahasa Bali) yang berarti larut-terbuai dalam suasana keindahan hati, dan asih-kasih yang memiliki nuansa ikatan kerinduan atau cinta.
“Kelangensih” diawali dengan tembang kidung Bali yang magis. Desak Suarti—yang juga dosen ISI Denpasar itu—melantunkan kidung Wilet Mayura—kidung yang bertutur tentang cinta kasih yang mempunyai melodi dan olahan nada yang unik—dengan teknik gregel, luk, dan cengkok yang khas.
“Kidung ini berbeda dengan jenis kidung-kidung lainnya,” ucap Desak menjelaskan seusai pementasan, Sabtu (1/6/2024) malam.
Tak berselang lama, seusai Desak mendendangkan kidung tersebut, Jyothi Devi Krishnanandayani—salah satu perempuan muda yang berperan dalam repertoar “Kelangensih”—melantunkan sebuah lagu India yang merdu sambil memainkan harmonium di pangkuannya.
Saat melihat dan mendengar Jyothi Devi melanggamkam lagu dengan teknik vokal India (alap) sekaligus memainkan alat musik gamit itu, saya teringat satu lagu berjudul “Tujhe Yaad Na Meri Aayee” dalam film Kahar Johar—yang terkenal (cengeng)—Kuch Kuch Hota Hai (1998).
(Lagu tersebut mengiringi Anjali Sharma (Kajol) yang sedang patah hati saat mendapati bahwa Rahul Khanna (Shah Rukh Khan), orang yang Anjali cintai, lebih memilih Tina Malhotra yang diperankan Rani Mukerji.)
Sama seperti Jyothi Devi, saat menyanyikan lagu Tujhe Yaad Na Meri, Alka Yagnik dan Manpreet Akhtar juga diiringi dengan suara harmonium—walaupun penguasaan alap Devi masih jauh jika dibandingkan dengan kedua penyanyi India tersebut.
Sekadar menyebut satu contoh, dalam vokal India, Lata Mangeshkar—salah satu penyanyi playback paling terkenal di India—menampilkan pendekatan alap yang unik dan sangat ekspresif saat membawakan lagu klasiknya.
Alap Mangeshkar dicirikan oleh kedalaman emosi dan keindahan lirisnya. Dia memiliki kemampuan luar biasa untuk menyampaikan berbagai macam emosi melalui vokalisasinya—dan itu membuat penampilan alap-nya sangat menyentuh dan menggugah.
Coba dengarkan lagu “Humko Humise Chura Lo” dan “Aankhein Khuli” dalam film Mohabbatein (2000), atau lagu-lagu dalam film Veer-Zaara (2004), atau lagu “Kabhi Khushi Kabhie Gham”, Anda akan merasakan berbagai emosi yang hidup dalam setiap nada dan suara yang keluar dari mulut Lata Mangeshkar.
Atau jika Anda alergi mendengarkan lagu India, Anda bisa mendengar alap Mageshkar dalam lagu “Sekuntum Mawar Merah”, “Orang Asing”, “Datang Untuk Pergi”, “Di Tepi Pantai”, “Wahai Pesona”, dan “Musim Cinta” dalam Album Khusus Soneta Volume 1-Lata Mangeshkar Ratu Dangdut Dunia yang berkolaborasi dengan sang Raja Dangdut, Rhoma Irama.
Namun, meski tak semerdu Alka dan Manpreet saat menyanyikan lagu sedih tersebut, malam itu, Devi cukup baik saat bernyanyi dengan teknik alap India—teknik vokal India dengan eksposisi improvisasi raga yang memukau dan meditatif.
Benar. “Kelangensih” merupakan sebuah garapan lintas budaya (kombinasi) yang bermula dari keinginan Desak Suarti untuk mengangkat teknik olah vokal Bali dan menggabungkannya dengan teknik olah vokal India—Desak menyebutnya karya musik inovatif.
Pola “Kelangensih” digarap dari karakteristik olah vokal Bali—sebuah kidung Wilet Mayura—dipadu dengan teknik olah vokal Hindustani “alap” dan diramu dengan musik chamber yang didominasi oleh instrumen alat gesek, tiup, dan perkusi.
Karya musik ini, menurut Desak, bertujuan untuk melestarikan kearifan lokal berupa kidung keagamaan dan mengangkatnya ke jenjang yang lebih tinggi dengan memadukan unsur-unsur musik yang berbeda dengan tradisi konvensional.
“Dengan karya inovasi ini, semoba bermanfaat membuka wawasan para seniman untuk selalu mencoba hal yang baru dan tidak terbelenggu dengan pola-pola tradisi sesuai dengan kebiasaannya,” ujarnya.
Di Bali, vokal pembuka dalam seni suara, kata Desak lagi, belum memiliki sebutan atau nama sekalipun orang Bali biasa menyanyikannya. Padahal, dalam seni karawitan-instrumental Bali, pembukaan dinamakan dengan “pangrangrang”—pada umumnya lebih banyak dilgunakan oleh instrumen seperti gender rambat, trompong, atau permainan lagu dalam suling. Sedangkan di India, bentuk vokal pembuka itu disebut “alap”.
Tak hanya memasukkan teknik vokal dan alat musik India (harmonium dan tabla), Desak juga memakai alat musik Barat seperti viola, gitar, flute, dan keyboard. Jadi, repertoar ini semacam “tempelan-tempelan” antara alap dan musik India, tembang Bali, dan alat musik Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan melodi, irama, ritme, dan dinamika lagu dengan pemakaian sukat (ukuran) dan tangga nada yang diinginkan.
Medium ungkap dari jenis instrumen tersebut memiliki fleksibilitas adaptif dan mampu membangun suasana hati yang tentram, penuh cinta kasih, sebagaimana tema sentral dari repertoar ini.
Sehingga, secara chorus dengan berbagai varian ornamentasi dan aransemenya, didukung dengan pemilihan jenis musik chamber sebagai medium garap instrumentalis pengiringnya, penyanyi seolah membawa pendengar ke alam tenang yang belum terjamah.
Di India, khususnya bagian utara, teknik vokal India(alap)—dalam hal ini lagu-lagu India tradisional—biasanya diiringi dengan alat musik seperti harmonium, tanpura, sitar, tabla, dan lainnya. Vokal atau musik klasik Hindustan adalah harta karun berupa teknik yang rumit. Inti dari tradisi musik India, menurut sebuah artikel di Serenade the Music of India, terletak pada alap, eksposisi improvisasi raga yang memukau dan meditatif.
Alap berfungsi sebagai pengenalan penting pada raga, mengatur suasana hati, dan menciptakan hubungan mendalam antara musisi, penonton, dan dewa (the divine). Selama berabad-abad, musisi klasik Hindustan yang legendaris telah mengembangkan gaya dan teknik alap yang berbeda, masing-masing ditandai dengan pendekatan unik dalam menyampaikan esensi raga dan melibatkan pendengar dalam perjalanan spiritual yang mendalam.
“Teknik olah vokal Hindustani dalam repertoar ini fokus pada teknik olah vokal gamaka, andolan, kana swar, murki, meend dan alap,” terang Desak.
Proses penciptaan “Kelangensih”, menurut Desak, diawali dengan meneliti berbagai jenis genre kidung dan hasil penelitiannya didokumentasikan menjadi sebuah buku berjudul “Imba Kidung Yadnya (Dharmagita)”. Sumber-sumber materi yang didapat lalu dituangkan ke dalam bentuk ide, gagasan, dan konsep garapan sesuai dengan kaidah-kaidah dalam penciptaan seni musik.
Selanjutnya dilakukan “ekplorasi” untuk mendapat gambaran dan kemungkinan-kemungkinan kesesuian frasa lagu yang dijajarkan pada komposisi seperti pada bagan komposisi yang telah dibahas di atas.
“Tahap berikutnya improvisasi. Sebuah tahapan berproses dengan mencari berbagai kemungkinan untuk mendapatkan frasa-frasa kalimat lagu, termasuk ornamentasinya. Ini membutuhkan proses panjang sebagai bagian inti sebuah kreativitas penciptaan,” ujar Desak.
Proses improvisasi, lanjut Desak, berjalan beriringan dengan para pelaku/penyaji, baik vokalis maupun para musisi instrumentalnya. Komposisi secara menyeluruh, ornamentasi detail, membangun dinamika, dan menentukan format akhir adalah merupakan bagian mengalir dari transisi akhir improvisasi menuju pembentukan (forming).
Apa yang dilakukan Desak dalam “Kelangensih” memang hanya sekadar menempel unsur-unsur Bali, India, dan Barat. Namun, terlepas dari semua itu, karya musik ini tetap bisa diapresiasi—karena modal materi tradisi yang dikembangkan secara kreatif dan inovatif, sekali lagi, bertujuan untuk melestarikan kearifan lokal berupa kidung keagamaan dan mengangkatnya ke jenjang yang lebih dari sekadar warisan masa silam.[T]