SETIAP tahunnya, Hari Lingkungan Hidup Sedunia memberikan kesempatan bagi manusia untuk merenungi pentingnya menjaga bumi. Setiap harinya, kita memiliki kesempatan untuk melakukan upaya-upaya kecil dalam menjaga bumi.
Sebagai bagian dari peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024, World Water Forum yang diadakan beberapa waktu lalu di Bali telah memberikan panggung yang penting untuk membahas tantangan dan peluang yang dihadapi dalam menjaga sumber mata air dunia. Esensi dari penyelenggaraan World Water Forum ini tidak hanya sebatas menjadi platform diskusi semata, tetapi juga sebagai momentum aksi nyata.
Melansir dari situs resmi Geneva Environment Network, peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2024 ini mengusung tema, “Restorasi lahan, pengguguran dan ketahanan terhadap kekeringan,” dengan slogan “Tanah Kita, Masa Depan Kita. #GenerationRestoration.”
Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2024 ini sejalan dengan fokus World Water Forum Bali yang menyoroti urgensi perlindungan air bersih. Ini adalah panggilan global untuk bertindak secara kolektif dalam menjaga ketersediaan dan aksesibilitas air bagi semua manusia, serta untuk melindungi ekosistem air yang rentan tercemar, mengalami kekeringan, bahkan penurunan jumlah debit air.
Penyelenggaraan World Water Forum yang ke-10 ini menjadi salah satu tonggak percepatan target nomor enam Sustainable Development Goals (SDGs), tentang “pemenuhan akses air bersih dan sanitasi layak bagi semua.” Namun pertanyaannya adalah, apa langkah nyata yang sudah dilakukan dalam mengatasi krisis lingkungan khususnya krisis air? Jika persoalan-persoalan lingkungan masih marak ditemui, lantas apakah penyelenggaraan World Water Forum hanya sebatas eksistensi dan bukan mengambil esensi?
Salah satu aspek yang muncul dari refleksi WWF ini adalah perlunya kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan sumber daya air. Tidak dapat disangkal bahwa tantangan krisis air memerlukan tanggapan yang holistik dan terkoordinasi dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas akademis. Kolaborasi semacam itu tidak hanya memungkinkan untuk pertukaran pengetahuan dan sumber daya, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari tindakan yang diambil.
Dalam menanggapi tantangan ini, sepatutnya para pemangku kepentingan memiliki peran penting untuk turut membantu menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah nyata dalam memperkuat regulasi dan kebijakan yang mendukung pengelolaan lingkungan khususnya air yang berkelanjutan, bukannya abai dalam menangani kasus demi kasus yang marak terjadi seperti tata kelola TPA, penebangan pohon demi pembangunan villa, bahkan membabat hutan adat demi keuntungan pribadi.
Pelaku bisnis juga memiliki tanggung jawab untuk mengadopsi praktik yang ramah lingkungan dan mengurangi jejak air mereka. Masyarakat sipil dapat berkontribusi melalui tindakan-tindakan sehari-hari, seperti penghematan air di rumah dan partisipasi dalam inisiatif lingkungan.
Dalam konteks Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, tantangan krisis air seringkali tidak terlihat jelas di negara-negara lain. Namun demikian, Indonesia tidak kebal terhadap dampak perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan populasi yang cepat. Oleh karena itu, langkah-langkah preventif dan proaktif harus segera diambil untuk mencegah terjadinya krisis air di masa depan.
Perlu juga diakui bahwa setiap langkah menuju keberlanjutan air harus memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi yang mungkin bisa timbul. Ini berarti melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan, memperkuat kapasitas mereka dalam pengelolaan air, dan memastikan bahwa akses terhadap air bersih adalah hak universal yang diakui dan dihormati. [T]